Siapa bilang enak menjadi pemimpin? Kalau soal fasilitas tentunya semua orang paham, tapi bagaimana jika soal keputusan? Bagian ini — mengambil keputusan — memang sering membuat seorang pemimpin bingung.
Hal ini tampak jelas dengan yang dialami Plt Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Ceritanya, ketika menyadari Pegawai Negeri Sipil (PNS) di jajaran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara atawa Pemprovsu banyak yang bolos kerja pada hari pertama setelah libur Lebaran dan cuti bersama, dia mengadukan PNS tersebut pada menteri. Tidak tanggung-tanggung, pengaduan diberikan pada dua menteri langsung yakni Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (Menpan RB) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Pengaduan itu pun tertuang dalam surat berkualifikasi penting No.800/17149/BKD/II/2012 tanggal 23 Agustus 2012.
Nah, ternyata, keputusan Gatot untuk mengadukan 89 PNS itu ternyata tidak pas. Atau bahasa kerennya, gak penting-penting banget! Pasalnya, pemerintah pusat kan tidak punya kewenangan menjatuhkan sanksi kepada PNS daerah. Dengan kata lain, soal PNS mangkir di lingkungan Pemprovsu adalah urusan Gatot sebagai pejabat pembina kepegawaian di lingkungan Pemprovsu. Gatot pun sejatinya memiliki wewenang untuk memberikan sanksi pada PNS tadi, jadi jangan begitu ada masalah langsung mengadu. “Tidak salah tapi pusat tidak bisa memberikan sanksi,” bela Humas BKN Aris Windiyanto.
Pertanyaannya, jika tidak diberi sanksi, maka laporan soal PNS tadi kan hanya sekadar gertak sambal. Ya, semacam menakuti bawahan agar lebih disiplin di lain waktu. Bah, menyedihkan sekali bukan?
Kasus ini mengingatkan saya pada masa kecil dulu. Ceritanya, saya memiliki musuh bebuyutan. Saya dan dia bersaing dalam beberapa hal. Menariknya, saya cenderung sering menang. Alasannya sederhana: saya lebih berani menggertaknya. Ya, saya unggul karena dikelilingi hal-hal ‘hebat’. Misalnya saya selalu rangking satu di kelas, sedangkan dia rangking dua; saya ketua kelas, dia tidak jadi apa-apa; saya ikut Pramuka, dia tidak; saya dekat dengan kepala sekolah, dia dekat dengan wali kelas; saya punya uang saku yang lebih banyak, dia tidak; dan saya punya sepeda BMX, sedangkan dia tidak punya.
Nah, dengan keunggulan itu, dia sering saya gertak hingga dia tertekan dan akhirnya mengalah. He he he. Pernah suatu hari, dia protes dengan acara gotong royong untuk membersihkan taman di depan kelas yang diperintahkan wali kelas. Katanya, dia malas datang pada agenda yang digelar pada hari Minggu itu. “Kan ada tukang kebun, kenapa kita masih harus bersihkan taman itu?” begitu alasannya.
Sebagai ketua kelas, saya harus mengatur ‘anak buah’ bukan? Jadi saya ancam dia, saya bilang kalau tidak datang gotong-royong akan saya laporkan pada kepala sekolah. Dia takut dan akhirnya ikut gotong royong. Bagaimana, sudah miripkan saya dengan Gatot? Ya, apa urusan kepala sekolah dengan agenda kelas? Harusnya, soal agenda itu kan hanya urusan wali kelas. Nah, apa urusan pusat, PNS daerah kan urusan pemerintah daerah. Fiuh. (*)