Hidup itu keras, kawan! Itulah yang dirasakan Maryamah Nasution. Betapa tidak, dari lima orang anaknya, 4 di antaranya menderita katarak. Ditambah lagi dirinya dan sang suami. Lengkaplah sudah. Tak heran, ibu muda ini kerap menangis siang maupun malam. ”Siang hari nangis diam-diam di sawah, malam nangis diam-diam di tempat tidur,” katanya.
————————
Dame Ambarita, Padangsidimpuan
————————
Maryamah baru berusia 42 tahun. Tetapi ia sudah memiliki lima orang anak. Tiga di antaranya perempuan, dua lainnya laki-laki. Pekerjaannya dan sang suami petani padi di Simangambat, Kecamatan Siabu, Kabupaten Mandailing Natal (Madina).
Yang membuatnya susah dan sedih bukan hanya kondisi ekonomi keluarga yang belum berkecukupan. Melainkan penyakit katarak yang seakan menimpa seluruh keluarganya. Yakni Sopiah Rini (21), Ilham (14), Ilman (11), dan Ana Mupida (9). Ditambah suaminya Batubara, dan dirinya sendiri.
”Saat lahir, kelima anak saya normal-normal saja. Tetapi begitu menginjak usia tiga tahun, empat anak saya semuanya kena katarak,” tuturnya di sela-sela operasi katarak gratis ’Buka Mata Lihat Indahnya Dunia’ yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di RS Tentara Padangsidimpuan, Senin (25/1/2016).
Ia menduga, kondisi katarak anak-anaknya menurun dari sang kakek dari pihak ayah yang juga menderita katarak. Suaminya sendiri baru belakangan menderita katarak, setelah matanya terkena bulir padi saat menampi padi yang baru panen di sawah. Sementara dirinya menyusul katarak sejak empat tahun terakhir.
”Marsak (susah, Red)! Bagaimanalah perasaan seorang ibu menyaksikan hampir semua anak-anaknya tidak jelas melihat, kan? Begitulah… saya sering nangis diam-diam saat kerja di sawah. Juga nangis diam-diam saat berbaring di tempat tidur. Susah rasanya… tak ada uang untuk membawa mereka berobat,” ungkapnya dalam bahasa Batak Mandailing.
Yang membuatnya bertambah sedih lagi, keempat anaknya yang terlihat seperti terus-terusan menyipitkan mata itu, sering dibully sekolah. ”Pernah anak saya paling besar dipermainkan kawannya dengan memalang kursi-kursi yang dibariskan dengan kayu. Maksud mereka biar anakku terjengkang dan jatuh. Dipikir mereka nggak nampak anakku palang itu. Pernah juga anakku yang lain dihina kawannya di sekolah, nangis-nangis dia pulang ke rumah,” kisahnya.
Sementara si kecil Ana Mupida sering digodai anak-anak laki-laki, terkait kondisi matanya yang katarak.
Karena tidak punya uang cukup, ia pernah membawa anak-anaknya ’berobat kampung’ ke ’orang pintar’ untuk menyembuhkan penyakit katarak yang mereka derita. Oleh si dukun, ia disuruh mengumpulkan air tujuh rupa, yakni air dari sumber berbeda. Ia pun mengumpulkan air hujan, air sumur, air sungai, air paya (genangan air, red), air yang diminta dari tetangga, mata air, dan air mineral.
”Setelah ditetes berkali-kali, ternyata tidak ada pengaruh,” katanya polos.
Menurutnya, meski keempat anaknya menderita katarak hingga tidak mampu membaca pelajaran di papan tulis, tetapi anaknya yang nomor dua, yakni Ilham, yang saat ini duduk di bangku kelas 2 SMP, juara di sekolah. Sedangkan di sulung hanya mampu tamat SMP. Setelah itu, memilih menikah muda dan saat ini sudah memiliki seorang anak.
Anaknya yang ketiga, Ilman (11), saat ini duduk di kelas 5 SD, sama dengan adiknya Ana Mupida (9), karena tinggal kelas dua kali. ”Kataraknya memang paling parah,” jelas sang ibu. Saat dilihat, mata Ilman memang menyipit paling parah dibanding saudara-saudaranya, seakan ia merasa sangat silau dengan cahaya apapun.
Maryamah yang mengaku datang ke rumah sakit didampingi sang suami, tetapi sang suami tak ikut operasi, mengatakan informasi mengenai operasi katarak gratis didengarnya lewat pengumuman di masjid di desanya.
”Mendengar ada operasi gratis, kami senang bukan kepalang. Kami disuruh mendaftar pemeriksaan dulu ke RS Siabu, baru mendaftar ke Koramil setempat. Selanjutnya, kami hanya membayar ongkos minyak untuk datang ke Padangsidimpuan ini,” cetusnya.
Ia mengaku sangat bersyukur pada Tuhan atas rezeki berupa operasi gratis, hingga kelima mereka bisa operasi sekaligus.
Nanti siapa yang merawat usai operasi?
”Ya suami… dibantu anak bapatua (abang ayah, Red),” katanya.
Satu per satu, keluarga Maryamah masuk ruang operasi. Mereka berjejer menunggu giliran tanpa disalip pasien lain, karena pendaftaran mereka juga berturut-turut.
Keesokan harinya usai masa pemulihan, mereka tampak sumringah saat pembukaan pertama dop (penutup mata dari bahan fiber plastik), untuk penetesan obat mata pertama.
Apa cita-cita kalian?
Sopiah Rini yang sudah menikah hanya tersenyum dan menjawab: mengurus keluarga kecilnya.
Sementara Ilham yang duduk di bangku kelas 2 SMP mengaku ingin menjadi ulama.
Ilman hanya cengengesan tak menjawab. Sedangkan Ana Mupida yang duduk di kelas 5 SD mengaku ingin ikut karnaval drumband di sekolah. ”Soalnya, saya pernah terpilih ikut karnaval drumband, tapi nggak dibolehin ama ayah, katanya takut saya jatuh. Kalau mata udah terang, tentu dibolehin,” cetusnya senang. (*)