Kejadian itu terus berulang setiap pihak eksekutif mengajukan pengesahan LPJP APBD maupun pengesahan perubahan APBD, dan pengesahan APBD Sumut mulai dari tahun 2012 hingga 2015.
Dalam kesaksiannya, Gatot membantah pernah membahas APBD maupun LPJ dengan anggota DPRD. Dia mengaku hanya hadir saat rapat paripurna dan saat pembahasan anggaran bersama DPRD, eksekutif waktu itu menurutnya diwakili Ketua TAPD yaitu Sekda. Gatot pun berkilah dia tahu ada uang ketok palu setelah kasus ini dibawa ke persidangan.
Gatot juga mengaku tak pernah mendapat laporan terkait permintaan uang dari anggota maupun pimpinan DPRD tersebut. Sekda, kata dia, hanya melapor saat pembahasan KUA/PPAS. “Di awal saja (melapor) terkait dengan KUA/PPAS,” kata Gatot.
JPU kemudian mengkonfrontir Gatot dengan BAP-nya saat dimintai keterangan penyidik. Dalam BAP nomor 8 tersebut, Gatot mengatakan, selama Gubernur Sumut periode
2013-2018, terdapat beberapa permintaan dari anggota DPRD 2009-2014 dan 2014-2019.
Permintaan-permintaan tersebut disampaikan dalam rapat antara TAPD yang beranggotakan Sekda, beberapa pejabat Pemprov dan Banggar DPRD Sumut. Dari rapat itu ada kesepakatan uang aspirasi, plafon anggaran untuk bansos dan uang ketok sidang.
Menjawab JPU, Gatot mengatakan tak membantah keterangan dalam BAP tersebut. Menurutnya mekanismenya memang seperti itu. “Keterangan saya tidak saya bantah. Tapi saya ingin menambahkan bahwa laporan dari saudara Sekda tidak pernah melaporkan itu. Tapi saya tahunya bahwa mekanismenya seperti itu,” jelasnya.
Dalam kasus ini, para anggota dewan didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.(bbs/adz)