Foto: Dame/Sumut Pos Kabiro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan sengketa tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Tapanuli Selatan, di PN Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).
Tentang alat bukti nomor 3, yakni surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, Wikipedia menyebutkan, daerah swapraja adalah salah satu bentuk sistem administrasi daerah Indonesia yang diakui pada pemerintah kolonial Hindia Belanda dan mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan, kerajaan, dan keadipatian. Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya.
Tentang ketentuan swapraja, menurut Aslan Noor, hingga saat ini hanya dua tanah Swapraja yang diakui di Indonesia. “Yakni Grand Sultan Jogjakarta dan Grand Sultan Deliserdang. Pencatatan tanah di kedua kerajaan ini cukup lengkap. Kesultanan Jogjakarta paling lengkap. Tanah yang dikuasai kerajaan Jogjakarta terdaftar lengkap di Belanda. Sedangkan tanah milik raja yang diberikan kepada hamba atau orang luar, tercatat lengkap di administrasi Swapraja,” katanya.
Tanah-tanah Grand Sultan Deli di Deliserdang, wilayah yang diakui hanya di Medan, Binjai, dan Deliserdang. Surat Swapraja di kerajaan Jogjakarta dan Deliserdang, yang menyatakan menyerahkan tanah kepada hambanya atau pihak asing, diakui hukum Indonesia sebagai alas hak kepemilikan tanah. Pemiliknya bisa menuntut kepemilikan hak.
“Tetapi di daerah lain, jika ada pihak yang mengklaim memiliki tanah bekas kerajaan, harus tunduk pada ketentuan Swapraja, yakni tercatat, agar BPN bisa mengeluarkan sertifikat. Jika tidak, Hakimlah yang berhak menyatakan bukti itu sah atau tidak,” kata Noor. (mea)
Foto: Dame/Sumut Pos Kabiro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan sengketa tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Tapanuli Selatan, di PN Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).
Tentang alat bukti nomor 3, yakni surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, Wikipedia menyebutkan, daerah swapraja adalah salah satu bentuk sistem administrasi daerah Indonesia yang diakui pada pemerintah kolonial Hindia Belanda dan mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan, kerajaan, dan keadipatian. Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya.
Tentang ketentuan swapraja, menurut Aslan Noor, hingga saat ini hanya dua tanah Swapraja yang diakui di Indonesia. “Yakni Grand Sultan Jogjakarta dan Grand Sultan Deliserdang. Pencatatan tanah di kedua kerajaan ini cukup lengkap. Kesultanan Jogjakarta paling lengkap. Tanah yang dikuasai kerajaan Jogjakarta terdaftar lengkap di Belanda. Sedangkan tanah milik raja yang diberikan kepada hamba atau orang luar, tercatat lengkap di administrasi Swapraja,” katanya.
Tanah-tanah Grand Sultan Deli di Deliserdang, wilayah yang diakui hanya di Medan, Binjai, dan Deliserdang. Surat Swapraja di kerajaan Jogjakarta dan Deliserdang, yang menyatakan menyerahkan tanah kepada hambanya atau pihak asing, diakui hukum Indonesia sebagai alas hak kepemilikan tanah. Pemiliknya bisa menuntut kepemilikan hak.
“Tetapi di daerah lain, jika ada pihak yang mengklaim memiliki tanah bekas kerajaan, harus tunduk pada ketentuan Swapraja, yakni tercatat, agar BPN bisa mengeluarkan sertifikat. Jika tidak, Hakimlah yang berhak menyatakan bukti itu sah atau tidak,” kata Noor. (mea)