25.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Diduga Suspect Difteri, Warga Nias & Kisaran Dirawat

SUMUTPOS.CO – Pasien suspect difteri saat ini bertambah dua orang. Kedua pasien tersebut masing-masing rujukan asal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kisaran, Asahan dan juga RSUD Gunung Sitoli, Nias. Keduanya tengah dirawat di RSUP H Adam Malik Medan sejak Sabtu (5/10), kemarin.

Kassubag Humas RSUP H Adam Malik Medan, Rosario Dorothy Simanjuntak mengatakan, kedua pasien ini merupakan anak remaja berinisial R (16) asal Kisaran, dan dewasa berinisial JA (28) asal Gunung Sitoli. “Ada 2 pasien baru suspect difteri. Jadi, saat ini yang dirawat dengan penyakit yang sama. Jadi total pasien yang kita rawat ada 5 orang,” ujarnya.

Rosa menyebutkan, pasien R masuk ke RSUP H Adam Malik pada Jumat (4/10) sore. Sedangkan pasien JA pada Sabtu (5/10) siang. Keduanya, datang dengan keluhan demam dan nyeri menelan. Namun, demamnya sudah berhari-hari. “Kedua pasien yang baru masuk ini dirawat di ruang isolasi infeksi,” ucap Rosa.

Dia menambahkan, untuk pasien R selain demam dan nyeri menelan juga ada ditemui bercak putih keabuan pada tenggorokannya. Saat dilakukan swab, pada pasien itu juga mudah berdarah. Di samping itu, terdapat pembengkakan di lehernya.

Sebelumnya, RSUP H Adam Malik masih merawat 3 pasien suspect difteri lainnya. Ketiganya berinisial DE (3) dan RR (5) asal Medan, serta RH (3) asal Nias. Kini total pasien yang dirawat ada 5 orang.

Harus Vaksin dan PHBS

Dokter (dr) Restuti Hidayani Saragih SpPD selaku Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) pasien suspect difteri RSUP H Adam Malik mengatakan, apabila ada ditemukan pasien suspect difteri walaupun hanya satu orang saja di Medan maka secara program pemerintah seluruh masyarakat Medan seharusnya mendapatkan vaksin Outbreak Response Immunization (ORI). Vaksin tersebut dilakukan terhadap respon atas terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu penyakit difteri.

Namun, tentunya pemerintah tidak akan mungkin menanggung vaksin sekitar 3 juta jumlah Medan karena keterbatasan anggaran. Untuk itu, diharapkan kesadaran pada masyarakat guna imunisasi pencegahan bakteri difteri.

“Program vaksinasi difteri yang ditanggung pemerintah adalah untuk anak dan wanita usia subur. Namun, vaksin yang diberikan untuk anak dan dewasa berbeda,” ungkap dr Resturi yang juga tim KLB RSUP H Adam Malik ketika ditemui akhir pekan lalu.

Disebutkan dr Restuti, vaksin difteri yang diberikan untuk anak dengan usia di bawah 7 tahun yaitu DPT (difteri, pertusis, dan tetanus). Vaksin ini gratis atau ditanggung pemerintah, tapi hanya didapatkan di Puskemas.

“Vaksin DPT di Puskesmas tak perlu ragu dengan kualitasnya karena sudah teruji. Begitu juga dengan wanita usia subur, asalkan datang ke Puskemas bukan ke praktik dokter spesialis karena tidak ditanggung pemerintah,” paparnya.

Diutarakan dia, kepada para orangtua diingatkan untuk memeriksa Kartu Imunisasi Anak apakah sudah lengkap imunisasinya. Jika belum, maka harus dilengkapi dengan datang ke Puskemas. “Apabila sudah terlambat satu bulan atau bahkan satu tahun, jangan khawatir dan tetap datang ke Puskesmas. Nantinya, tetap dilakukan imunisasi tetapi masuk kategori menyusul (catch up) sampai anak usia 12 tahun. Sebab, lebih dari 12 tahun dianggap sudah remaja dan dewasa (lebih dari 18 tahun),” terang dr Restuti.

Ia menyebutkan, bagi usia dewasa diimbau ada atau tidak ada KLB melakukan imunisasi primer yaitu imunisasi awal untuk difteri. Dalam melakukan imunisasi primer ini dilakukan tiga kali tahapan, yaitu nol, satu, dan tujuh sampai tiga belas.

“Nol maksudnya yaitu bulan ke nol terjadinya kasus suspect difteri, misalnya terjadi pada bulan Oktober maka warga Medan usia dewasa segera melakukan vaksin difteri di rumah sakit. Kemudian, satu yakni satu bulan kemudian setelah kasus terjadi yaitu pada November divaksin lagi. Selanjutnya, pada rentang tujuh bulan atau hingga tiga belas bulan berikutnya divaksin kembali,” paparnya.

Jika semua ini sudah dilakukan, lanjutnya, maka setiap 10 tahun sekali harus mengulang sekali saja. Hal ini bertujuan sebagai booster atau penguatan terhadap imunitas. Akan tetapi, imunisasi difteri bagi dewasa tidak ditanggung pemerintah melainkan biaya sendiri. Harga sekali vaksin difteri antara Rp30 ribu hingga Rp50 ribu.

“Ini bukan promosi ya tapi sebagai informasi yang harus disampaikan, bahwa masyarakat yang ingin imunisasi difteri bisa di (Rumah Sakit) Stella Maris, Columbia Asia dan Poliklinik Vaksinasi Biofarma (produsen vaksin untuk pemerintah) yang berada di Jalan Sei Batanghari. Vaksin difteri untuk dewasa yaitu Td atau Tdap,” bebernya.

Lebih lanjut dr Restuti mengatakan, untuk mencegah difteri tidak hanya mengandalkan vaksinasi saja tetapi juga harus menerapkan PHBS. Sebab, penyakit ini penularannya dari percikan ludah, kontak erat hingga kulit luka yang terbuka.

“Jadi, ketika hendak menyentuh makanan harus dibiasakan mencuci tangan. Namun, cuci tangan yang dilakukan harus diperhatikan dengan baik dan benar. Artinya, bukan sekadar basah saja kena air tetapi menggunakan sabun cuci tangan dan setelah itu dilap. Untuk itu, budaya cuci tangan ini harus dibiasakan sejak dini sehingga dewasa nanti sudah terbiasa,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, mahasiswi Fakultas Kedokteran (FK) USU, Nurul Arifah Ahmad Ali (20), meninggal dunia diduga diduga terserang bakteri difteri atau suspect difteri. (ris/ila)

SUMUTPOS.CO – Pasien suspect difteri saat ini bertambah dua orang. Kedua pasien tersebut masing-masing rujukan asal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kisaran, Asahan dan juga RSUD Gunung Sitoli, Nias. Keduanya tengah dirawat di RSUP H Adam Malik Medan sejak Sabtu (5/10), kemarin.

Kassubag Humas RSUP H Adam Malik Medan, Rosario Dorothy Simanjuntak mengatakan, kedua pasien ini merupakan anak remaja berinisial R (16) asal Kisaran, dan dewasa berinisial JA (28) asal Gunung Sitoli. “Ada 2 pasien baru suspect difteri. Jadi, saat ini yang dirawat dengan penyakit yang sama. Jadi total pasien yang kita rawat ada 5 orang,” ujarnya.

Rosa menyebutkan, pasien R masuk ke RSUP H Adam Malik pada Jumat (4/10) sore. Sedangkan pasien JA pada Sabtu (5/10) siang. Keduanya, datang dengan keluhan demam dan nyeri menelan. Namun, demamnya sudah berhari-hari. “Kedua pasien yang baru masuk ini dirawat di ruang isolasi infeksi,” ucap Rosa.

Dia menambahkan, untuk pasien R selain demam dan nyeri menelan juga ada ditemui bercak putih keabuan pada tenggorokannya. Saat dilakukan swab, pada pasien itu juga mudah berdarah. Di samping itu, terdapat pembengkakan di lehernya.

Sebelumnya, RSUP H Adam Malik masih merawat 3 pasien suspect difteri lainnya. Ketiganya berinisial DE (3) dan RR (5) asal Medan, serta RH (3) asal Nias. Kini total pasien yang dirawat ada 5 orang.

Harus Vaksin dan PHBS

Dokter (dr) Restuti Hidayani Saragih SpPD selaku Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) pasien suspect difteri RSUP H Adam Malik mengatakan, apabila ada ditemukan pasien suspect difteri walaupun hanya satu orang saja di Medan maka secara program pemerintah seluruh masyarakat Medan seharusnya mendapatkan vaksin Outbreak Response Immunization (ORI). Vaksin tersebut dilakukan terhadap respon atas terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu penyakit difteri.

Namun, tentunya pemerintah tidak akan mungkin menanggung vaksin sekitar 3 juta jumlah Medan karena keterbatasan anggaran. Untuk itu, diharapkan kesadaran pada masyarakat guna imunisasi pencegahan bakteri difteri.

“Program vaksinasi difteri yang ditanggung pemerintah adalah untuk anak dan wanita usia subur. Namun, vaksin yang diberikan untuk anak dan dewasa berbeda,” ungkap dr Resturi yang juga tim KLB RSUP H Adam Malik ketika ditemui akhir pekan lalu.

Disebutkan dr Restuti, vaksin difteri yang diberikan untuk anak dengan usia di bawah 7 tahun yaitu DPT (difteri, pertusis, dan tetanus). Vaksin ini gratis atau ditanggung pemerintah, tapi hanya didapatkan di Puskemas.

“Vaksin DPT di Puskesmas tak perlu ragu dengan kualitasnya karena sudah teruji. Begitu juga dengan wanita usia subur, asalkan datang ke Puskemas bukan ke praktik dokter spesialis karena tidak ditanggung pemerintah,” paparnya.

Diutarakan dia, kepada para orangtua diingatkan untuk memeriksa Kartu Imunisasi Anak apakah sudah lengkap imunisasinya. Jika belum, maka harus dilengkapi dengan datang ke Puskemas. “Apabila sudah terlambat satu bulan atau bahkan satu tahun, jangan khawatir dan tetap datang ke Puskesmas. Nantinya, tetap dilakukan imunisasi tetapi masuk kategori menyusul (catch up) sampai anak usia 12 tahun. Sebab, lebih dari 12 tahun dianggap sudah remaja dan dewasa (lebih dari 18 tahun),” terang dr Restuti.

Ia menyebutkan, bagi usia dewasa diimbau ada atau tidak ada KLB melakukan imunisasi primer yaitu imunisasi awal untuk difteri. Dalam melakukan imunisasi primer ini dilakukan tiga kali tahapan, yaitu nol, satu, dan tujuh sampai tiga belas.

“Nol maksudnya yaitu bulan ke nol terjadinya kasus suspect difteri, misalnya terjadi pada bulan Oktober maka warga Medan usia dewasa segera melakukan vaksin difteri di rumah sakit. Kemudian, satu yakni satu bulan kemudian setelah kasus terjadi yaitu pada November divaksin lagi. Selanjutnya, pada rentang tujuh bulan atau hingga tiga belas bulan berikutnya divaksin kembali,” paparnya.

Jika semua ini sudah dilakukan, lanjutnya, maka setiap 10 tahun sekali harus mengulang sekali saja. Hal ini bertujuan sebagai booster atau penguatan terhadap imunitas. Akan tetapi, imunisasi difteri bagi dewasa tidak ditanggung pemerintah melainkan biaya sendiri. Harga sekali vaksin difteri antara Rp30 ribu hingga Rp50 ribu.

“Ini bukan promosi ya tapi sebagai informasi yang harus disampaikan, bahwa masyarakat yang ingin imunisasi difteri bisa di (Rumah Sakit) Stella Maris, Columbia Asia dan Poliklinik Vaksinasi Biofarma (produsen vaksin untuk pemerintah) yang berada di Jalan Sei Batanghari. Vaksin difteri untuk dewasa yaitu Td atau Tdap,” bebernya.

Lebih lanjut dr Restuti mengatakan, untuk mencegah difteri tidak hanya mengandalkan vaksinasi saja tetapi juga harus menerapkan PHBS. Sebab, penyakit ini penularannya dari percikan ludah, kontak erat hingga kulit luka yang terbuka.

“Jadi, ketika hendak menyentuh makanan harus dibiasakan mencuci tangan. Namun, cuci tangan yang dilakukan harus diperhatikan dengan baik dan benar. Artinya, bukan sekadar basah saja kena air tetapi menggunakan sabun cuci tangan dan setelah itu dilap. Untuk itu, budaya cuci tangan ini harus dibiasakan sejak dini sehingga dewasa nanti sudah terbiasa,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, mahasiswi Fakultas Kedokteran (FK) USU, Nurul Arifah Ahmad Ali (20), meninggal dunia diduga diduga terserang bakteri difteri atau suspect difteri. (ris/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/