MEDAN, SUMUTPOS.CO – Jumlah ternak babi yang mati di Sumatera Utara akibat wabah hog cholera atau kolera babi, meningkat tajam. Pada 22 November, tercatat masih 10.289 ekor ternak babi yang mati. Per Jumat (6/12), jumlah babi yang mati melesat hingga 22.985 ekor babi. Untuk mencegah penyebarluasan virus, Kementerian Pertanian menyalurkan bantuan desinfektan. Namun suplainya terbatas, hanya 450 liter saja.
“Saat ini semua upaya sudah dan sedang dilaksanakan. Kementerian juga sudah mendrop 450 liter desinfektan. Kemudian ada didrop lagi hand supplier. Jadi semua sedang bekerja. Orang pusat (tim dari kementerian) juga sedang di Sumut sampai sekarang,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Sumatera Utara, Azhar Harahap menjawab Sumut Pos, Jumat (6/12).
Hingga kini, ungkap Azhar, Kementerian Pertanian masih mengkaji secara mendalam mengenai penyebaran virus kolera babi di Sumut. Semua aspek dipertimbangkann
sebelum mengambil keputusan. “Nggak bisa secepat itu kementerian mengambil keputusan. Harus memikirkan dampak ekonomi, sosial, dan lainnya. Mengkaji ini ‘kan tidak bisa hanya kementerian. Tetapi mesti melibatkan berbagai pihak terkait,” katanya.
Pada prinsipnya, kata dia, pemerintah bertugas melindungi seluruh masyarakat. Oleh karenanya yang bisa dilakukan saat ini —mengingat status atas wabah kolera babi belum ditetapkan pemerintah—adalah dari sisi pengendalian dan pencegahan.
Salahsatu strategi pencegahan yang dilakukan bertujuan untuk menurunkan populasi kuman (bakteri, larva cacing, oosit, virus, jamur dan lain sebagainya) di areal kandang (bioskuriti), peningkatan kekebalan anak babi terhadap berbagai jenis penyakit (vaksinasi), serta membunuh kuman yang berhasil masuk ke dalam tubuh babi (medikasi).
“Pemerintah pusat juga punya pertimbangan khusus sesuai regulasi, sebelum menetapkan status wabah yang terjadi ini. Kita tidak bisa memaksa pusat menetapkan ini menjadi KLB. Kenapa itu harus kita permasalahkan? Yang kita pikirkan adalah bagaimana cara mengendalikan penyakitnya,” terangnya.
Ia menambahkan, jika nanti sudah ada ketetapan status soal wabah kolera babi di Sumut, kondisinya akan semakin menyulitkan masyarakat, terutama kalangan peternak. Sebab tidak boleh lagi perpindahan antarbabi dari satu tempat ke tempat lain.
“Makanya saya heran kenapa semua orang sibuk agar ini segera ditetapkan (status kejadian luar biasa/KLB)? Bahwa masyarakat bisa tambah menjerit kalau wabah ini nanti ditetapkan. Bukan lagi dimusnahkan, tetapi babinya tidak bisa keluar. Untuk itulah kajian ini masih terus dilakukan pemerintah pusat,” pungkasnya.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan DKPP Sumut, Mulkan Harahap, mengatakan sampai saat ini, kematian babi di Sumut positif karena hog cholera. “(ASF) kita masih tunggu dari Menteri Pertanian,” ujar Mulkan, Jumat.
Mulkan mengatakan, 22.985 babi yang mati tersebar di 16 kabupaten, yakni di Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Medan, Karo, Toba Samosir, Serdang Bedagai, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Tebing Tinggi, Siantar, dan Langkat.
Dari 16 kabupaten, Deli Serdang merupakan yang tertinggi dengan angka 6.997 ekor. Adapun yang tercatat kematian paling sedikit ada di Pematangsiantar sekitar 12 ekor. Sebelumnya, hanya 11 kabupaten yang kena wabah. Lima kabupaten lagi yang ikut kena adalah di Langkat, Tebing Tinggi, Siantar, Simalungun, Pakpak Bharat.
Asperba Minta Zonasi Ternak
Untuk mengatasi wabah virus hog cholera yang telah membunuh ribuan ekor ternak babi di Sumut, pengurus Asosiasi Peternak Babi (Asperba) Sumut, Hendri Duin, mengatakan pihaknya tidak terlalu ambil pusing dengan wabah virus hog cholera yang belum ada status di Sumut. Asperba lebih fokus untuk menetapkan zonasi ternak babi, agar virus tidak semakin meluas.
“Soal status no commentlah ya. Itu haknya pemerintah pusat. Saat ini kami justru sedang fokus berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi soal zonasi ternak babi di Sumut,” ucap Hendri yang juga anggota DPRD Medan ini, kepada Sumut Pos, Jumat (6/12).
Zonasi dimaksud, kata Hendri, adalah mempersempit ruang gerak distribusi ternak babi dari satu daerah ke daerah lain di Sumut. “Kalau awalnya kan Pemprov bilang, babi tidak boleh keluar ataupun masuk ke Sumut, sekarang kita persempit lagi zonasinya. Yakni ternak babi tidak boleh keluar dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya di Sumut. Ini akan lebih memperketat penyebaran virus hog cholera ini,” ujarnya.
Menurut Hendri, hingga saat ini hanya cara itu yang dapat dilakukan dalam mengatasi serangan virus hog cholera yang menyerang ternak babi. Sebab belum ditemukan obat melawan virus tersebut. “Cara paling realistis ya cuma mencegah penyebaran, agar tidak menjangkit ke ternak babi lainnya,” sebut Hendri.
Untuk itu, Hendri meminta agar pemerintah mau lebih serius untuk menangani masalah virus hog cholera tersebut. “Intinya ‘kan pengawasan dari pemerintah, agar distribusi babi tidak lagi keluar dari satu kabupaten/kota ke wilayah lainnya di Sumut. Kita juga harapkan agar pemerintah terus menyosialisasikan kepada masyarakat, agar tidak takut mengonsumsi daging babi. Sebab virus hog cholera tidak menjangkit ke manusia,” tandasnya.
Terpisah, peternak di Galang, Deliserdang, menilai pemerintah tidak peduli dengan wabah kolera babi yang merugikan masyarakat peternak babi. “Tak ada penjelasan tegas dari pemerintah soal vaksin dan penanganan wabah,” ungkap M Manurung, warga Desa Jahara B Kecamatan Galang, Jumat (6/12).
Meski ia menyebut ternak babinya tidak terjangkit virus hog cholera, tetapi ternak milik tetangganya banyak yang mati ternak. Dan ancaman virus terus menghantui peternak. “Hendaknya pemerintah memberikan bantuan berupa vaksin atau obat penangkal virus, sehingga tak makin banyak yang jadi korban,” Sebutnya.
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Pemkab Deliserdang, Ruslan P Simanjuntak, mengatakan pihaknya telah membuat laporan ke Dinas Peternakan Sumut, yang kemudian berkordinasi dengan Kementrian. “Kami tinggal menunggu petunjuk agar wabah ini dibuat statusnya. Apakah luar biasa atau apa,” sebutnya.
Distan juga sudah mengeluarkan maklumat kepada masyarakat peternak babi, agar melapor jika ada babi yang mati. “Jangan dibuang. Kita sudah menyediakan lobang untuk menguburnya,” ucapnya.
Evakuasi Bangkai Babi dari Sungai
Sementara itu di Tebingtinggi, seorang pencari cacing, Tulif (15) warga Lingkungan II Kelurahan Tanjung Marulak Hilir Kecamatan Rambutan Kota Tebingtinggi, mengevakuasi seekor bangkai babi ukuran besar yang tersangkut di Sungai Padang di Kelurahan Tanjung Marulak Hilir Kecamatan Rambutan Kota Tebingtinggi, Jumat (6/12).
Tulif mengaku, saat itu sedang mencari cacing di sungai. Lantas ia melihat bangkai babi tersangkut di tetumpukan sampah. Aroma menyengat dari bangkai yang diperkirakan sudah dibuang sejak empat hari lalu. “Penemuan ini langsung dikabarkan kepada masyarakat,” bilang Tulif.
Saat melakukan evakuasi bangkai babi dari tengah sungai, Tulif menggunakan sebatang bambu untuk mengikat, kemudian Tulif terjun ke dalam sungai dengan mengikuti arus sungai yang dalam dan berenang ke tepian sambil menarik bangkai babi. “Arus sungai sangat deras. Capek juga berenang menarik bangkai babi itu,” jelas Tulif.
Tulif menceritakan, selama dirinya mencari cacing untuk pakan ikan ternak lele di Sungai Padang, dirinya sering melihat bangkai babi membusuk melintas di arus Sungai Padang. “Ada puluhan, Pak,” bilangnya.
Kepling setempat, Khulil mengatakan setelah mendapat informasi dari pencari cacing, ia dan warga menguburkan bangkai babi di bantaran Sungai Padang. Warga berharap pemangku kepentingan menegur dinas terkait dalam hal ini.
Kematian babi akibat hog cholera pertama kali diketahui terjadi di Dairi pada 25 September lalu. Kematian ternak babi ini kemudian meresahkan masyarakat, karena bangkai babi dibuang sembarangan di sungai. Bangkai babi terlihat mengapung di antaranya di Sungai Bederah, Danau Siombak, beberapa sungai di Medan, Deliserdang, dan Serdang Bedagai. Bangkai babi juga dibuang oleh orang tidak bertanggung jawab di pinggir jalan. (prn/map/btr/ian)