26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Konflik Tanah di Labura-Labuhanbatu akibat Lemahnya Aparat

LABUHANBATU-Konfli tanah yang terjadi d iwilayah Sumatera Utara disebabkan akibat lemahnya aparat terkait melihat dan menyelesaikan kasus yang akhirnya sangat merugikan masyarakat kelas bawah. Demikian dikatakan Johan Merdeka selaku Ketua Persatuan Politik Rakyat Miskin Sumut dan juru bicara Komite Tani Menggugat saat menjawab Sumut Pos, Selasa (7/8) terkait sengketa tanah yang ada di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) dan Labuhanbatu.

Dibeberkannya, jika memang pemerintah dan pihak DPRD setempat memiliki keinginan membela kepentingan masyarakat, sengketa yang berujung ke meja hijau tidak akan pernah terjadi. “Kita melihat pemerintah dan DPRD bermain mata, apalagi tentang ijin prinsip maupun HGU yang tanpa melihat historis tentang tanah,” duganya.

Dicontohkannya, antara kelompok tani dengan PT Sawita Leidong Jaya (SLJ) Kabupaten Labura yang kini menyisakan cerita kepedihan 17 warga ditahan hingga kini berawal dari kehadiran perusahaan dtahun 2007, sementara masyarakat sudah menduduki lahan sejak tahun 1996. Akibat terjadi konflik, warga yang tidak memiliki kekuatan apapun terpaksa mengikuti ‘giringan’ pihak kepolisian. “Padahal sudah dijanjikan akan ditangguhkan penahanan warga jika kita siapkan administrasi. Nyatanya diserahkan juga ke kejaksaan,” kenangnya yang mengaku sedang berada di Medan, Sumut. Begitu juga terjadi antara masyarakat dengan PT Smart Padang Halaban, Labura. Dengan tuduhan pengrusakan dan pencurian, 10 orang anggota kelompok tani pun kini sedang menunggu persidangan. “Permasalahan sudah puluhan tahun. Sekitar 1923 sudah ada penduduk disana, tetapi mengapa tahun 1968 muncul perusahaan dan wargapun tergusur,” kata Johan menceritakan.

Begitu juga dengan masyarakat di Desa Seisiarti. Memang diakui Johan Merdeka, pengusaha sudah dimenangkan di tingkat pengadilan. Tetapi jika ingin melihat historis, diprediksinya tidak akan terjadi persengketaan lahan. “Harapannya segerakan penyelesaian kasus ini. Kita minta polisi beretika baik. Mengapa laporan masyarakat terkait pengrusakan lahannya tidak pernah digubris. Janganlah fungsi social dijadikan sebagai ajang komersil,” Johan Merdeka selaku pinta perwakilan kelompok tani yang bersengketa tersebut.

Tudingan lemahnya aparat sehingga menyengsarakan warga diperkuat dengan sengketa antara kelompok tani Bersama dengan pengusaha diwilayah Kecamatan Bilah Barat, Kabupaten Labuhanbatu. Walau pihak BPN melalui plottingnya menetapkan posisi wilayah tanah tersebut, namun pemerintah tidak mampu bersikap tegas. Akibatnya, Sater Simamora selaku ketua kelompok itu terpaksa mendekam dan kini tinggal menunggu giliran dipersidangkan dengan tuduhan pengrusakan pagar yang sebelumnya tidak pernah dibangun diareal yang bersengketa.

“Pertemuan terakhir DPRD meminta kepada Pemkab Labuhanbatu serta penegak hukum lebih serius dalam menganalisa kesepakatan. Tapi hingga kini rekomendasi dewan 27 Juli 2012 tidak berjalan. Kasihan masyarakat selalu dijadikan bahan mencari keuntungan,” kata T Ritonga pengurus di Koptan Bersama itu. Asisten Pemerintahan Pemkab Labuhanbatu Sarbaini, saat dimintai Sumut Pos tanggapannya, Selasa (7/8) terkait tidak selesainya sengketa tanah yang ada bahkan merambah keranah hukum, menjelaskan bukti kepemilikan masyarakat tidak pernah lengkap.

Diakuinya pihaknya selaku perpanjangan tangan bupati tidak bisa menyelesaikan, masalahnya karena bukti kepemilikan masyarakat jarang didapat.
Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Labuhanbatu Indra David Siahaan mengakui sudah ada rekomendasi terkait sengketa tanah di Kecamatan Bilah Barat. Dikarenakan mereka bukan lembaga pemutus, pihaknya tidak dapat berbuat banyak. (mag-16)

LABUHANBATU-Konfli tanah yang terjadi d iwilayah Sumatera Utara disebabkan akibat lemahnya aparat terkait melihat dan menyelesaikan kasus yang akhirnya sangat merugikan masyarakat kelas bawah. Demikian dikatakan Johan Merdeka selaku Ketua Persatuan Politik Rakyat Miskin Sumut dan juru bicara Komite Tani Menggugat saat menjawab Sumut Pos, Selasa (7/8) terkait sengketa tanah yang ada di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) dan Labuhanbatu.

Dibeberkannya, jika memang pemerintah dan pihak DPRD setempat memiliki keinginan membela kepentingan masyarakat, sengketa yang berujung ke meja hijau tidak akan pernah terjadi. “Kita melihat pemerintah dan DPRD bermain mata, apalagi tentang ijin prinsip maupun HGU yang tanpa melihat historis tentang tanah,” duganya.

Dicontohkannya, antara kelompok tani dengan PT Sawita Leidong Jaya (SLJ) Kabupaten Labura yang kini menyisakan cerita kepedihan 17 warga ditahan hingga kini berawal dari kehadiran perusahaan dtahun 2007, sementara masyarakat sudah menduduki lahan sejak tahun 1996. Akibat terjadi konflik, warga yang tidak memiliki kekuatan apapun terpaksa mengikuti ‘giringan’ pihak kepolisian. “Padahal sudah dijanjikan akan ditangguhkan penahanan warga jika kita siapkan administrasi. Nyatanya diserahkan juga ke kejaksaan,” kenangnya yang mengaku sedang berada di Medan, Sumut. Begitu juga terjadi antara masyarakat dengan PT Smart Padang Halaban, Labura. Dengan tuduhan pengrusakan dan pencurian, 10 orang anggota kelompok tani pun kini sedang menunggu persidangan. “Permasalahan sudah puluhan tahun. Sekitar 1923 sudah ada penduduk disana, tetapi mengapa tahun 1968 muncul perusahaan dan wargapun tergusur,” kata Johan menceritakan.

Begitu juga dengan masyarakat di Desa Seisiarti. Memang diakui Johan Merdeka, pengusaha sudah dimenangkan di tingkat pengadilan. Tetapi jika ingin melihat historis, diprediksinya tidak akan terjadi persengketaan lahan. “Harapannya segerakan penyelesaian kasus ini. Kita minta polisi beretika baik. Mengapa laporan masyarakat terkait pengrusakan lahannya tidak pernah digubris. Janganlah fungsi social dijadikan sebagai ajang komersil,” Johan Merdeka selaku pinta perwakilan kelompok tani yang bersengketa tersebut.

Tudingan lemahnya aparat sehingga menyengsarakan warga diperkuat dengan sengketa antara kelompok tani Bersama dengan pengusaha diwilayah Kecamatan Bilah Barat, Kabupaten Labuhanbatu. Walau pihak BPN melalui plottingnya menetapkan posisi wilayah tanah tersebut, namun pemerintah tidak mampu bersikap tegas. Akibatnya, Sater Simamora selaku ketua kelompok itu terpaksa mendekam dan kini tinggal menunggu giliran dipersidangkan dengan tuduhan pengrusakan pagar yang sebelumnya tidak pernah dibangun diareal yang bersengketa.

“Pertemuan terakhir DPRD meminta kepada Pemkab Labuhanbatu serta penegak hukum lebih serius dalam menganalisa kesepakatan. Tapi hingga kini rekomendasi dewan 27 Juli 2012 tidak berjalan. Kasihan masyarakat selalu dijadikan bahan mencari keuntungan,” kata T Ritonga pengurus di Koptan Bersama itu. Asisten Pemerintahan Pemkab Labuhanbatu Sarbaini, saat dimintai Sumut Pos tanggapannya, Selasa (7/8) terkait tidak selesainya sengketa tanah yang ada bahkan merambah keranah hukum, menjelaskan bukti kepemilikan masyarakat tidak pernah lengkap.

Diakuinya pihaknya selaku perpanjangan tangan bupati tidak bisa menyelesaikan, masalahnya karena bukti kepemilikan masyarakat jarang didapat.
Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Labuhanbatu Indra David Siahaan mengakui sudah ada rekomendasi terkait sengketa tanah di Kecamatan Bilah Barat. Dikarenakan mereka bukan lembaga pemutus, pihaknya tidak dapat berbuat banyak. (mag-16)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/