MEDAN, SUMUTPOS.CO – Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba saat ini menjamur. Saat ini jumlahnya sekitar 10 ribu KJA, tersebar di berbagai kawasan perairan Danau Toba. Selain mengganggu keindahan danau, daya dukung air danau dan kualitas air akibat banyaknya aktivitas budidaya perikanan di Danau Toba, juga menurun.
“Danau Toba adalah salahsatu anugerah Tuhan yang perlu dijaga dan dilestarikan oleh seluruh pihak di dearah ini. Banyak masyarakat yang sumber kehidupannya bergantung pada Danau Toba. Untuk itu, perlu dijaga sehingga bisa digunakan hingga anak cucu kita nanti,” kata Wakil Gubernur (Wagub)n
Sumatera Utara (Sumut), Musa Rajekshah, saat membahas penanganan keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba dengan Dewan Riset Daerah (DRD) Sumut di Aula Balitbang Provinsi Sumatera Utara, Jalan Sisingamangaraja Medan, Rabu (7/10).
Pembahasan untuk meminta masukan dari para akademisi DRD Sumut, menjadi rekomendasi bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut maupun Kementerian terkait untuk menangani KJA yang saat ini menjamur di Danau Toba.
Selain masukan, Pemprov Sumut juga akan bersinergi dengan pemerintah kabupaten/kota di sekitar kawasan Danau Toba, serta kementerian terkait. Hal itu dilakukan untuk menyamakan persepsi mengenai penanganan KJA di Danau Toba.
Wakil Ketua II DRD Sumut, Tohar Suhartono, memaparkan beberapa permasalahan KJA yang telah dibahas DRD. Antara lain, jumlah produksi KJA telah melebihi standar yang ditetapkan Pemprov Sumut melalui SK Gubernur Nomor 188.4/213/KPTS/2017 tentang daya tampung beban pencemaran dan daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan yakni sebesar 10.000 ton per tahun.
Menurutnya, banyaknya aktivitas budidaya perikanan di Danau Toba, serta budidaya KJA yang telah berkembang di luar zona yang telah ditentukan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Danau Toba dan Sekitarnya, menyebabkan daya dukung air danau dan kualitas air menurun.
“Juga mengganggu fungsi dan keindahan Danau Toba sebagai daerah pariwisata. Serta sumber air masyarakat lokal yang masih mengonsumsi langsung air Danau Toba,” ujar Tohar.
Untuk itu, menurutnya, ada beberapa rekomendasi solusi penanganan yang sudah dibahas DRD. Pertama, aktivitas budidaya KJA harus ramah lingkungan, serta memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang Baik dan Benar (CBIB) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maupun Lembaga Internasional, serta disesuaikan dengan kualitas air yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah.
Selanjutnya, penetapan lokasi KJA sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perairan Danau Toba oleh masing-masing 7 kabupaten sekitar Danau Toba. Sosialisasi peningkatan dan pemahaman masyarakat nelayan terhadap aspek manfaat dan kerugian KJA, serta memperkenalkan alternatif kegiatan lain yang tidak kalah manfaatnya sebagai pengganti KJA.
“Selain itu perlu ada konsistensi dan ketegasan dari setiap peraturan yang ada, baik itu masalah lingkungan maupun pariwisata. Jangan ada peraturan yang tumpang tindih,” kata Tohar.
Koordinator DRD Bidang Pertanian dan Kehutanan, Basyarudin, menambahkan permasalahan KJA menyangkut banyak pihak. Mulai dari masyarakat, pengusaha hingga pemerintah setempat. Untuk itu, penanganannya harus terintegrasi. “Barangkali kita perlu penelitian sosial dan budaya masyarakatnya sebelum mengambil tindakan,” kata Basyarudin.
Turut hadir pada kesempatan tersebut anggota Dewan Riset Daerah dan OPD Pemprov Sumut. (rel/prn)