29.3 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Efendi Sirait Calon Bos Inalum

Effendi Sirait
Effendi Sirait

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pada Senin (9/12) PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) resmi 100 persen menjadi milik Indonesia. Di mana dalam penandatangannya Pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian selaku Ketua Tim Perundingan, sedangkan dari pihak Jepang diwakili oleh Chairman NAA Jepang Mr Yoshihiko Okamoto, serta para direktur dari PT Inalum dan pihak JICA.

Mengenai siapa yang orang yang akan menjadi nakhoda untuk menunggangi PT Inalum pun santer dipertanyakann
Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat tidak menutup kemungkinan bahwa nama Effendi Sirait, selaku Ketua Otoritas Asahan bisa saja masuk dalam kandidat direktur utama PT Inalum.

“Kandidatnya Effendi Sirait, mungkin dia masuk nominasi,” jelas Hidayat di Kantornya, Jakarta, Senin (9/12).

Terkait rencana pembagian saham kepemilikan Inalum dengan pemerintah daerah, Hidayat mengakui jangan terlalu cepat untuk membahasnya. Dirinya memastikan, pembagian besaran saham sudah ingin berjalan.

“Saham daerah sudah mau jalan. Biar dia jalan dulu, pernah ditetapkan 70-30 tapi tak usah diwacanakan sekarang,” katanya.

Hidayat mengatakan pemerintah Indonesia dan Jepang telah mencapai kata sepakat terkait nilai kompensasi pengambilalihan PT Inalum sebesar 556,7 juta dolar AS atau sekitar Rp5,56 triliun.

Setelah kesepakatan penghentian (termination agreement) ditandatangani, dilanjutkan dengan pengambilalihan saham Inalum yang membutuhkan waktu sekitar 10 hari untuk prosesnya.

Setelah beberapa kali berunding, pada 27 November 2013 tim Indonesia dan dari pihak Jepang akhirnya mencapai kesepakatan bahwa harga kompensasi atas proyek asahan yang akan diterima oleh PT Nippon Asahan Aluminium (NAA) sebesar 556,7 juta dolar AS.

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah pekerja mengangkat batangan alumunium yang telah tercetak untuk selanjutnya di lakukan pengeringan di pabrik pencetakan Inalum, Tanjung Gading, Batubara, Sumut, Indonesia, Kamis (16/5).
TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah pekerja mengangkat batangan alumunium yang telah tercetak untuk selanjutnya di lakukan pengeringan di pabrik pencetakan Inalum, Tanjung Gading, Batubara, Sumut, Indonesia, Kamis (16/5).

Adapun tim Indonesia terdiri dari Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kemenperin, Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu, Deputi PIP Bidang Perekonomian BPKP dan Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Kemenkeu. Sedangkan dari pihak Jepang dihadairi oleh Ketua Tim Delegasi NAA bersama anggotanya serta perwakilan dari ministry of economy, Trade and Industry (METI).

“Dengan ditandatanganinya Deeds of Share, pihak NAA menyerahkan seluruh sahamnya kepada Indonesia, sehingga terhitung tanggal tersebut PT Inalum menjadi 100 persen milik Indonesia,” kata Hidayat saat penanganan penyelesaian proyek Asahan di Kemenperin, Jakarta, Senin (9/12).

Dalam penyampaian kepada wartawan seusai menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu lalu, Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait, mengatakan pemerintah tidak perlu membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru untuk mengambil-alih PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Sebab, dengan dikuasainya sepenuhnya sahamnya oleh Pemerintah, PT Inalum telah otomatis menjadi BUMN.

“Kalau sebuah perusahaan sahamnya sudah diatas 51 persen dimiliki Pemerintah, itu sudah BUMN. Apalagi di Inalum nanti 100 persen saham dimiliki Pemerintah, Itu otomatis sudah jadi BUMN,” katanya.

Menurut Effendi, dari pembicaraannya dengan  Menteri Perindustrian, M.S. Hidayat selaku koordinator tim perunding Pemerintah RI dengan Jepang, opsi yang akan diambil adalah mengubah Inalum menjadi BUMN.

“Jadi sebetulnya  tidak perlu entitas baru. Tinggal mentransformasikan saja (Inalum)  menjadi BUMN,” dia menguatkan.

Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari Nippon Asahan Aluminium Ltd (NAA) harus menjadi pelajaran bagi pemerintah Republik Indonesia.

“Pengalaman dari pengambialihan PT Inalum ini harus jadi pelajaran bagi pemerintah untuk pengambilalihan perusahaan-perusahaan strategis lainnya bila masa kontraknya sudah selesai,” kata Bobby Adhityo Rizaldi. Menurut dia, hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sudah mampu mengelola sendiri tanpa harus bergantung kepada pihak asing.

Ia juga mengemukakan, tuntasnya pengambilalihan Inalum harus jadi pelajaran dan modal untuk digunakan sebagai upaya yang sama pada masa mendatang.

“Kami mengapresiasi upaya pemerintah, terutama Kementerian Perindustrian yang menuntaskan proses pengambilalihan ini, termasuk negosiasi harga dan pengambialihan saham yang secara resmi menjadi milik Indonesia pada 19 Desember 2013,” katanya.

Sebelumnya, Komisi XI DPR RI menyetujui proses pencairan dana untuk pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari Nippon Asahan Aluminium Ltd (NAA) yang telah disepakati senilai 556,7 juta dolar AS.

“Kami menyepakati nilai pengambilalihan Inalum untuk besaran 556,7 juta dolar AS, sebagaimana diusulkan pemerintah,” kata Ketua Komisi XI DPR RI Olly Dondokambey dalam rapat kerja dengan pemerintah di Jakarta, Selasa (4/12) lalu.

Sebagai informasi, berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kontrak kerjasama pengelolaan Inalum berakhir 31 Oktober 2013. Selama ini, komposisi pemilikan saham PT Inalum adalah 41,13 persen saham oleh pemerintah Indonesia, dan 58,87 persen saham oleh Jepang.

Saham Jepang tersebut dikelola oleh konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA) yang terdiri dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang dengan porsi 50 persen dan sisanya milik 12 perusahaan swasta negeri Sakura itu.

Olly menambahkan Komisi XI DPR RI memberikan persetujuan karena nilai kesepakatan tersebut lebih rendah dari nilai audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan per 31 Oktober 2013 yaitu sebesar 578 juta-580 juta dolar AS.

Diketahui, proyek Asahan merupakan proyek kerjasama persahabatan antara pihak Jepang dan Pemerintah Indonesia guna mengembangkan Pembangkit Listri Tenaga Air (PLTA) di Kabupaten Toba Samosir dan Pabrik Peleburan Alumunium (PPA) di Kualatanjung, Kabupaten Batubara.

Ada pun perjanjian tersebut diatur dalam Master Agreement for the Asahan Hydroelectric and Alumunium Project yang dimulai sejak 7 Juli 1975. Sejak 1 November 1983, Inalum sebagai perusahaan yang menangani proyek asahan secara resmi beroperasi komersial. Masa operasi Inalum adalah selama 30 tahun sesuai dengan Master Agreement proyek Asahan, terhitung 1 November 1983 sampai dengan 31 Oktober 2013.  (bbs/jpnn)

Effendi Sirait
Effendi Sirait

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pada Senin (9/12) PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) resmi 100 persen menjadi milik Indonesia. Di mana dalam penandatangannya Pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian selaku Ketua Tim Perundingan, sedangkan dari pihak Jepang diwakili oleh Chairman NAA Jepang Mr Yoshihiko Okamoto, serta para direktur dari PT Inalum dan pihak JICA.

Mengenai siapa yang orang yang akan menjadi nakhoda untuk menunggangi PT Inalum pun santer dipertanyakann
Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat tidak menutup kemungkinan bahwa nama Effendi Sirait, selaku Ketua Otoritas Asahan bisa saja masuk dalam kandidat direktur utama PT Inalum.

“Kandidatnya Effendi Sirait, mungkin dia masuk nominasi,” jelas Hidayat di Kantornya, Jakarta, Senin (9/12).

Terkait rencana pembagian saham kepemilikan Inalum dengan pemerintah daerah, Hidayat mengakui jangan terlalu cepat untuk membahasnya. Dirinya memastikan, pembagian besaran saham sudah ingin berjalan.

“Saham daerah sudah mau jalan. Biar dia jalan dulu, pernah ditetapkan 70-30 tapi tak usah diwacanakan sekarang,” katanya.

Hidayat mengatakan pemerintah Indonesia dan Jepang telah mencapai kata sepakat terkait nilai kompensasi pengambilalihan PT Inalum sebesar 556,7 juta dolar AS atau sekitar Rp5,56 triliun.

Setelah kesepakatan penghentian (termination agreement) ditandatangani, dilanjutkan dengan pengambilalihan saham Inalum yang membutuhkan waktu sekitar 10 hari untuk prosesnya.

Setelah beberapa kali berunding, pada 27 November 2013 tim Indonesia dan dari pihak Jepang akhirnya mencapai kesepakatan bahwa harga kompensasi atas proyek asahan yang akan diterima oleh PT Nippon Asahan Aluminium (NAA) sebesar 556,7 juta dolar AS.

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah pekerja mengangkat batangan alumunium yang telah tercetak untuk selanjutnya di lakukan pengeringan di pabrik pencetakan Inalum, Tanjung Gading, Batubara, Sumut, Indonesia, Kamis (16/5).
TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah pekerja mengangkat batangan alumunium yang telah tercetak untuk selanjutnya di lakukan pengeringan di pabrik pencetakan Inalum, Tanjung Gading, Batubara, Sumut, Indonesia, Kamis (16/5).

Adapun tim Indonesia terdiri dari Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kemenperin, Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu, Deputi PIP Bidang Perekonomian BPKP dan Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Kemenkeu. Sedangkan dari pihak Jepang dihadairi oleh Ketua Tim Delegasi NAA bersama anggotanya serta perwakilan dari ministry of economy, Trade and Industry (METI).

“Dengan ditandatanganinya Deeds of Share, pihak NAA menyerahkan seluruh sahamnya kepada Indonesia, sehingga terhitung tanggal tersebut PT Inalum menjadi 100 persen milik Indonesia,” kata Hidayat saat penanganan penyelesaian proyek Asahan di Kemenperin, Jakarta, Senin (9/12).

Dalam penyampaian kepada wartawan seusai menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, beberapa waktu lalu, Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait, mengatakan pemerintah tidak perlu membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru untuk mengambil-alih PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Sebab, dengan dikuasainya sepenuhnya sahamnya oleh Pemerintah, PT Inalum telah otomatis menjadi BUMN.

“Kalau sebuah perusahaan sahamnya sudah diatas 51 persen dimiliki Pemerintah, itu sudah BUMN. Apalagi di Inalum nanti 100 persen saham dimiliki Pemerintah, Itu otomatis sudah jadi BUMN,” katanya.

Menurut Effendi, dari pembicaraannya dengan  Menteri Perindustrian, M.S. Hidayat selaku koordinator tim perunding Pemerintah RI dengan Jepang, opsi yang akan diambil adalah mengubah Inalum menjadi BUMN.

“Jadi sebetulnya  tidak perlu entitas baru. Tinggal mentransformasikan saja (Inalum)  menjadi BUMN,” dia menguatkan.

Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari Nippon Asahan Aluminium Ltd (NAA) harus menjadi pelajaran bagi pemerintah Republik Indonesia.

“Pengalaman dari pengambialihan PT Inalum ini harus jadi pelajaran bagi pemerintah untuk pengambilalihan perusahaan-perusahaan strategis lainnya bila masa kontraknya sudah selesai,” kata Bobby Adhityo Rizaldi. Menurut dia, hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sudah mampu mengelola sendiri tanpa harus bergantung kepada pihak asing.

Ia juga mengemukakan, tuntasnya pengambilalihan Inalum harus jadi pelajaran dan modal untuk digunakan sebagai upaya yang sama pada masa mendatang.

“Kami mengapresiasi upaya pemerintah, terutama Kementerian Perindustrian yang menuntaskan proses pengambilalihan ini, termasuk negosiasi harga dan pengambialihan saham yang secara resmi menjadi milik Indonesia pada 19 Desember 2013,” katanya.

Sebelumnya, Komisi XI DPR RI menyetujui proses pencairan dana untuk pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dari Nippon Asahan Aluminium Ltd (NAA) yang telah disepakati senilai 556,7 juta dolar AS.

“Kami menyepakati nilai pengambilalihan Inalum untuk besaran 556,7 juta dolar AS, sebagaimana diusulkan pemerintah,” kata Ketua Komisi XI DPR RI Olly Dondokambey dalam rapat kerja dengan pemerintah di Jakarta, Selasa (4/12) lalu.

Sebagai informasi, berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kontrak kerjasama pengelolaan Inalum berakhir 31 Oktober 2013. Selama ini, komposisi pemilikan saham PT Inalum adalah 41,13 persen saham oleh pemerintah Indonesia, dan 58,87 persen saham oleh Jepang.

Saham Jepang tersebut dikelola oleh konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA) yang terdiri dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang dengan porsi 50 persen dan sisanya milik 12 perusahaan swasta negeri Sakura itu.

Olly menambahkan Komisi XI DPR RI memberikan persetujuan karena nilai kesepakatan tersebut lebih rendah dari nilai audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan per 31 Oktober 2013 yaitu sebesar 578 juta-580 juta dolar AS.

Diketahui, proyek Asahan merupakan proyek kerjasama persahabatan antara pihak Jepang dan Pemerintah Indonesia guna mengembangkan Pembangkit Listri Tenaga Air (PLTA) di Kabupaten Toba Samosir dan Pabrik Peleburan Alumunium (PPA) di Kualatanjung, Kabupaten Batubara.

Ada pun perjanjian tersebut diatur dalam Master Agreement for the Asahan Hydroelectric and Alumunium Project yang dimulai sejak 7 Juli 1975. Sejak 1 November 1983, Inalum sebagai perusahaan yang menangani proyek asahan secara resmi beroperasi komersial. Masa operasi Inalum adalah selama 30 tahun sesuai dengan Master Agreement proyek Asahan, terhitung 1 November 1983 sampai dengan 31 Oktober 2013.  (bbs/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/