Nias identik dengan atraksi Lompat Batu (hombo batu)…. atraksi Lompat Batu identik dengan Nias. Tetapi tahukah tuan/puan? Ternyata atraksi unik ini hanya ada di lima desa di seluruh Kepulauan Nias. Dan kelima desa itu seluruhnya berada di Nias Selatan. Salahsatunya di Desa Orahili Fau, desa tertua kedua di Nias –setelah Desa Gomo–. Desa ini juga desa asli asal Tari Perang yang mencekam itu.
——————————–
Dame Ambarita, Nias
——————————–
Akhir pekan lalu, Sumut Pos bersama rombongan Indonesian Trip Advisors berkunjung ke Desa Orahili Fau. Dari Bandara Binaka Gunungsitoli ke desa ini bisa ditempuh dengan waktu 2,5 hingga 3 jam perjalanan naik mobil. Mobil bisa dirental dari bandara.
Desa Orahili Fau berada di Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Sumut. Desa ini terletak persis di bawah Desa Bawomataluo –yang sudah lebih dahulu terkenal di kalangan wisatawan sebagai Desa Adat di Nias–, meski sebenarnya Orahili Fau lebih tua dibanding Bawomataluo. Nenek moyang warga kedua desa ini awalnya adalah ’kakak beradik’ marga Fau.
Desa Orahili Fau berada di dataran sekitar tiga meter di atas jalan lintas antar desa. Gerbangnya bisa ditemukan setelah kita menaiki sejumlah anak tangga.
Saat rombongan tiba pukul 10 pagi –setelah sehari sebelumnya bermalam di Pantai Sorake yang indah–, Desa Orahili Fau tampak meriah dengan kegiatan puluhan warganya. Mereka sedang bersiap untuk pertunjukan atraksi tari perang dan lompat batu, yang akan ditampilkan khusus bagi rombongan trip.
Saat rombongan lewat, warga desa memasang wajah ramah dan murah senyum. ”Yahowuuuu… (selamat),” sapa mereka dengan senyum mengembang.
Rombongan trip pun kontan membalas semangat: ”Yahowuuu…!”
Saat Sumut Pos melewati gerbang desa, suasana perkampungan megalitik Nias langsung meresap di hati. Bebatuan di depan rumah menjadi pemandangan pertama yang terekam. Bebatuan lebar dan panjang dengan bentuk berbeda-beda itu, disusun berderet di depan rumah-rumah. Letaknya sejajar membentuk garis lurus mengikuti barisan rumah. Fungsinya sebagai tempat duduk.
Puluhan rumah adat berbaris di kiri kanan. Dan di ujung –berhadap-hadapan dengan pintu gerbang desa–, barisan rumah berbelok ke kiri dan ke kanan (panjangnya tidak sama) hingga membentuk lanscape huruf T tidak sempurna.
Sebagian besar rumah memiliki ciri khas berupa dua tiang bulat sebesar pelukan anak remaja, membentuk huruf V di depan tiang-tiang penopang rumah. Di tengah huruf V itu kita bisa duduk santai menikmati suasana sore.
Rumah adat dibangun dari bahan kayu, aslinya beratap sejenis rumbia. Hanya saja saat ini sebagian besar sudah diganti seng. Konon trauma dengan ancaman kebakaran.
Di setiap atap rumah, ada bukaan berukuran sekitar panjang 2 meter lebar 1 meter, yang bisa dibuka-tutup. Nama bukaan ini ’lawa-lawa’. Fungsinya sebagai ruang udara dan cahaya.. dan juga tempat memantau desa. Rumah adat ini tembus satu sama lain, dihubungkan semacam gang antarrumah.
Di tengah desa, ada Omo Oahua alias Balai Pertemuan. Dan di dekatnya terletak Hombo Batu, ciri khas desa adat di Nisel. Tingginya 2,15 meter. Ini merupakan hombo batu tertinggi di Nias. Tinggi itu masih bisa ditambah lagi saat atraksi lompat batu, dengan meminta seorang prajurit berbaring di atas hombo batu untuk dilompati rekan-rekannya, atau menambah kotak kayu.
”Desa kami ini adalah desa tertua kedua di Nias setelah Desa Gomo. Nenek moyang kami konon datang dari kaki pegunungan Himalaya. Makanya kami ada kemiripan dengan orang Tibet,” kata Kepala Suku di Orahili Fau, Miliar Fau yang memiliki gelar Tuha Ilawa Nia alias King of The King, saat berbincang-bincang dengan Sumut Pos.
Lima penghulu adat ikut mendampinginya, yakni Sukaramai Fau, Utusan Fodegedawa Fau, Fake Jisiwa Faum, Okhedei Fau, dan Bahala Manao.
Miliar menuturkan, setelah dua kali kebakaran yang melanda desa mereka, pertama dibakar Belanda tahun 1863 yang menghanguskan Rumah Adat besar, disusul kebakaran tahun 1944 akibat api dari dapur salahsatu rumah, kini hanya sebagian rumah yang dibangun berarsitektur rumah adat asli.
Untuk membangun sebuah desa adat di Nias Selatan, ada 7 syarat yang harus dipenuhi. Syarat pertama, adanya Taneme Wahe, yakni pusat desa. Bentuknya seperti galian tanah berbentuk bulat seperti sumur di tengah desa. Pusat desa ini diisi tumbal. Konon, tumbal itu berupa kepala manusia, babi putih, dan ayam putih. Jumlah tumbal kepala manusia yang dimasukkan ke dalam Taneme Wahe bisa mencapai belasan kepala. Saat diperlihatkan pada Sumut Pos, Taneme Wahe itu ditutupi semen.
”Tumbal manusia bisa dibunuh di mana pun di seluruh Nias. Prajurit yang membawa tumbal dihargai 6 pon emas saat ini,” kata Miliar Fau, diamini Sukaramai Fau dan para penatua adat lainnya.
Syarat kedua, adanya Iri Newali Pakai Tali alias garis tengah halaman desa. Tamu desa yang dihormati diwajibkan berjalan mengikuti garis tengah ini, sehingga bisa berjalan lurus sesuai tuntutan adat. Konon, jarak rumah antara sisi kiri dan sisi kanan sama persis jika dihitung dari garis tengah desa.
Syarat ketiga, Ndrolo Nomo, yakni semacam teras rumah yang sisinya sama lebar kiri kanan.
Syarat keempat, adanya permandian umum yang disebut Hele Mbanua. Pemandian ini dibuat dua unit, yakni untuk laki-laki dan untuk perempuan. Pemandian ini sekaligus sebagai sumber air untuk keperluan desa.
Syarat kelima, adanya pintu gerbang desa alias Bawagoli Mbanua. Gerbang desa ini menjadi satu-satunya pintu masuk desa yang diketahui tamu.
Syarat keenam, adanya Omo Oahua alias Balai Pertemuan. Di balai inilah berlangsung rapat-rapat adat, rapat desa, dan sebagainya.
Dan syarat ketujuh, adanya Hombo Batu. Dengan adanya hombo batu, sebuah desa lengkap menjadi sebuah desa adat di Nisel. Apa saja syarat mendirikan Hombo Batu, dan syarat melompatinya? (*/bersambung)