25.6 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Stunting Sumut Terkendala dengan Budaya Hidup Sehat dan Bergizi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara terus melakukan upaya penekanan angka stunting di Sumut, dengan berbagai program dilakukan bersama dengan pihak-pihak terkait.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia tahun 2022, angka prevalensi stunting di Provinsi ini, turun 4,7 persen menjadi 21,1 persen dari sebelumnya 25,8 persen di tahun 2021.

“Turun lah 21,1% sudah diukur dari pusat itu untuk di Sumut. Sementara untuk nasional itu 21,6%. Alhamdulillah kita dibawah nasional. Kalau tahun sebelumnya kita di atas nasional. Jadi sudah lumayan,” ucap Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Sumut, Alwi Mujahit Hasibuan kepada wartawan, Rabu (12/7).

Disinggung apa menjadi masalah dalam penurunan stunting di Sumut. Alwi mengungkapkan terkait budaya hidup sehat, bergizi dan lingkungan asri di tengah masyarakat. Hal itu, tidak lepas dari penyebab terjadinya stunting.

“Apa menjadi kendala biasanya budaya. Saya sering cerita sama kawan-kawan itukan,” sebut Alwi.

Alwi mengungkapkan masih terdapat di tengah masyarakat, belum membiasakan memberikan air susu ibu (ASI) selama dua tahun, sesuai dengan anjuran WHO bagi bayi dalam proses menyusui.

“Disusukan 2 tahun ASI. Jadi ini, budaya ibu-ibu ini punya kenyakinan kalau dia menyusui anaknya pasti panyudaranya kendor. Itukan (Payudara) kalau tua kan kendor,” sebut Alwi.

Alwi mengungkapkan sesuai arahan WHO dan petunjuk Alquran, sudah jelas memerintahkan untuk memberikan ASI kepada bayinya selama dua tahun lamanya dari pasca melahirkan.

“ASI itu dirancang untuk perlindungan bayi dan WHO mengimbau 2 tahun. Dalam Alquran juga 2 tahun jadi sinkron,” sebut Alwi.

Alwi menjelaskan bahwa ibu-ibu muda, masih memilih memberikan asupan gizi bayinya dengan memberikan susu formula. Ketimbang ASI dimiliki secara alami. Hal itu, sangat berbanding terbalik dari kualitas gizi dan menambahkan biaya.

“Tapi, kita gak percaya ibu-ibu muda kita ini gak percaya dia. Lebih mau ngasi susu kaleng selain harga tinggi belum tentu sesuai. Kalau dia ASI itukan sudah menyesuaikan usia anaknya,” jelas Alwi.

“Waktu dia baru lahir ada ASI yang pertama kali itu. Tapi, dibuang karena dianggap ASI basi padahal itu berisi antibodi untuk imunnya. Pada saat baru lahir dikasi meningkatkan daya tahan tubuh seiring pertumbuhannya ASI itu menyesuaikan dengan anaknya karena dirancang sesuai usianya,” tandas Alwi.(gus)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara terus melakukan upaya penekanan angka stunting di Sumut, dengan berbagai program dilakukan bersama dengan pihak-pihak terkait.

Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia tahun 2022, angka prevalensi stunting di Provinsi ini, turun 4,7 persen menjadi 21,1 persen dari sebelumnya 25,8 persen di tahun 2021.

“Turun lah 21,1% sudah diukur dari pusat itu untuk di Sumut. Sementara untuk nasional itu 21,6%. Alhamdulillah kita dibawah nasional. Kalau tahun sebelumnya kita di atas nasional. Jadi sudah lumayan,” ucap Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Sumut, Alwi Mujahit Hasibuan kepada wartawan, Rabu (12/7).

Disinggung apa menjadi masalah dalam penurunan stunting di Sumut. Alwi mengungkapkan terkait budaya hidup sehat, bergizi dan lingkungan asri di tengah masyarakat. Hal itu, tidak lepas dari penyebab terjadinya stunting.

“Apa menjadi kendala biasanya budaya. Saya sering cerita sama kawan-kawan itukan,” sebut Alwi.

Alwi mengungkapkan masih terdapat di tengah masyarakat, belum membiasakan memberikan air susu ibu (ASI) selama dua tahun, sesuai dengan anjuran WHO bagi bayi dalam proses menyusui.

“Disusukan 2 tahun ASI. Jadi ini, budaya ibu-ibu ini punya kenyakinan kalau dia menyusui anaknya pasti panyudaranya kendor. Itukan (Payudara) kalau tua kan kendor,” sebut Alwi.

Alwi mengungkapkan sesuai arahan WHO dan petunjuk Alquran, sudah jelas memerintahkan untuk memberikan ASI kepada bayinya selama dua tahun lamanya dari pasca melahirkan.

“ASI itu dirancang untuk perlindungan bayi dan WHO mengimbau 2 tahun. Dalam Alquran juga 2 tahun jadi sinkron,” sebut Alwi.

Alwi menjelaskan bahwa ibu-ibu muda, masih memilih memberikan asupan gizi bayinya dengan memberikan susu formula. Ketimbang ASI dimiliki secara alami. Hal itu, sangat berbanding terbalik dari kualitas gizi dan menambahkan biaya.

“Tapi, kita gak percaya ibu-ibu muda kita ini gak percaya dia. Lebih mau ngasi susu kaleng selain harga tinggi belum tentu sesuai. Kalau dia ASI itukan sudah menyesuaikan usia anaknya,” jelas Alwi.

“Waktu dia baru lahir ada ASI yang pertama kali itu. Tapi, dibuang karena dianggap ASI basi padahal itu berisi antibodi untuk imunnya. Pada saat baru lahir dikasi meningkatkan daya tahan tubuh seiring pertumbuhannya ASI itu menyesuaikan dengan anaknya karena dirancang sesuai usianya,” tandas Alwi.(gus)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/