25.6 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Boyong Istri Bimtek ke Bali, Kades se-Karo Terancam Diproses Hukum

KARO, SUMUTPOS.CO – Kegiatan Bimtek Kepala Desa dan istri se-Kabupaten Karo, di Kabupaten Badung Bali, beberapa waktu lalu, terus menuai polemik. Selain dinilai pemborosan dan menghambur-hamburkan miliaran uang rakyat, bimtek ini juga berpotensi masuk ke ranah hukum.

Pasalnya, biaya yang ditampung dalam APBDesa tahun 2019 hanya untuk peningkatan kapasitas kepala desa, tidak termasuk istri atau pun anggota keluarga lainnya. Namun pada kenyataanya, bak bulan madu, dalam Bimtek ini, rata-rata kepala desa yang berangkat turut memboyong sang istri ke Pulau Dewata.

Lalu dari mana biaya sang istri kepala desa diambil? Jika dana tersebut turut ditampung di APBDesa, barang tentu sang kepala desa telah melanggar hukum. Data yang dihimpun kru koran ini dari beberapa desa, dana yang dianggarkan dalam poin peningkatan kapasitas kepala desa rata-rata hanya berkisar Rp15 juta.

Sementara biaya yang dihabiskan para kepala desa dan istrinya dalam Bimtek ini mencapai Rp26 juta. Meliputi tiket pesawat dan biaya inap di hotel. Lalu dari mana sisa dana diambil? Dananya harus sudah dianggarkan di APBdesa masing-masing. Hal ini ditegaskan Kepala Dinas PMD Karo, Abel Tarawih saat dikonfirmasi di kantornya, Kamis (7/11) sore.

“Dananya sudah harus ditampung di APBDesa,” katanya. Jika belum ditampung, dananya tidak boleh diambil dari APBDesa. Jika dana yang telah dianggarkan tidak mencukupi, maka kepala desa harus menutupi kekurangan dananya dengan uang pribadi sendiri. “Jika tak diganti

“Misalkan dana yang dianggarkan dalam peningkatan kapasitas kepala desa hanya Rp15 juta. Namun biaya yang dihabiskan lebih besar, maka selisihnya harus diganti dengan uang pribadi,” tegas Abel. Jika dananya tetap diambil dari APBDesa, maka sang kepala desa bisa terjerat masalah hukum.

“Kita sudah berkordinasi dengan pihak Inspektorat Karo untuk mengoreksi dan memeriksa APBDesa agar tak terjadi penyelewengan. Jika sebelumnya tak dianggarkan, biaya istri kepala desa yang ikut tak boleh diambil dari APBDesa,” ungkapnya.

Selain harus mengembalikan kelebihan dananya, Abel juga menegaskan para kepala desa yang ikut Bimtek ini harus mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya di desa masing-masing.

“Saya perintahkan para kepala desa ini menerapkan dan memaparkan ilmu yang diperolehnya selama Bimtek ini ke desanya. Para kepala desa ini akan tetap kita awasi,” tegas Abel. Bagaimana dengan PJ Kepala Desa yang jabatannya berakhir dalam hitungan hari, namun tetap ikut berangkat bersama istrinya? Abel mengaku akan lebih dulu melihat aturan yang ada. “Pokoknya semua kegiatan harus berpedoman pada APBDesa,” katanya.

Lalu kenapa Bimtek ini dilakukan di Bali? Abel berdalih Kebupaten Badung, Bali merupakan daerah yang berhasil mengelola pariwisatanya melalui Bumdes.

“Sebenarnya kita ingin para kepala desa mencontoh, menjadikan dan menggali wisata di desa masing-masing seperti beberapa desa di Kabupaten Badung Bali,”tandasnya.

Sementara Azis mewakili Lembaga Pelatihan Manajemen Atministrasi Pemerintahan (LPMAP) mengaku hanya sebagai penyelenggara Bimtek. “LPMAP tidak pernah memberangkatkan para kepala desa. Kami hanya mengundang, tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun.

Yang namanya mengundang yang boleh saja datang, bisa juga tidak. Sebagai penyelenggara kita hanya memberikan fasilitas sesuai dengan harapan menjadi output yang dpaat dibawa ke desa masing-masing. Banyak juga kepala desa yang tidak menghadiri,” elaknya.

Seperti diketahui kegiatan Bimtek para kepala desa se-Kabupaten Karo ke Kabupaten Badung Bali, dinilai hanya buang-buang anggaran dan jadi ajang cari untung. Apalagi kegiatan ini menghabiskan dana sekitar Rp7 miliar Warga kian apatis karena kegiatan serupa yang digelar dua tahun sebelumnya juga tidak menghasilkan terobosan apapun bagi kemajuan desa mereka.

Alhasil, Bimtek yang tengah berlangsung ini ditenggarai modus untuk pelesiran. Tahun 2017 dan 2018 lalu, para kepala desa di Karo juga menggelar kunjungan ke luar kota, baik ke Jogjakarta dan Jakarta.

Alasan mereka sama, study banding, Bimtek dan lain sebagainya. “Tapi hasilnya apa? Pengelolaan dana desa tetap monoton,” kritik Rianto Ginting, salah seorang warga Kabanjahe. Kunjungan ke Bali yang dilakukan secara bertahap ini diyakini juga, tidak akan memberi manfaat apapun bagi kemajuan desa di Kabupaten Karo.

Sementara dana yang digunakan tidak sedikit mencapai puluhan juta/kades. Selain buang-buang anggaran, kegiatan ini juga dinilai tak nyambung.

Karena jika ditilik dari sisi manapun, antara Bali dan Karo jauh berbeda bak langit dan bumi. Bali dikenal sebagai daerah wisata maju berkelas internasional. Sedang Kabupaten Karo merupakan dataran tinggi yang hampir 80 persen warganya bekerja sebagai petani. (deo/han)

KARO, SUMUTPOS.CO – Kegiatan Bimtek Kepala Desa dan istri se-Kabupaten Karo, di Kabupaten Badung Bali, beberapa waktu lalu, terus menuai polemik. Selain dinilai pemborosan dan menghambur-hamburkan miliaran uang rakyat, bimtek ini juga berpotensi masuk ke ranah hukum.

Pasalnya, biaya yang ditampung dalam APBDesa tahun 2019 hanya untuk peningkatan kapasitas kepala desa, tidak termasuk istri atau pun anggota keluarga lainnya. Namun pada kenyataanya, bak bulan madu, dalam Bimtek ini, rata-rata kepala desa yang berangkat turut memboyong sang istri ke Pulau Dewata.

Lalu dari mana biaya sang istri kepala desa diambil? Jika dana tersebut turut ditampung di APBDesa, barang tentu sang kepala desa telah melanggar hukum. Data yang dihimpun kru koran ini dari beberapa desa, dana yang dianggarkan dalam poin peningkatan kapasitas kepala desa rata-rata hanya berkisar Rp15 juta.

Sementara biaya yang dihabiskan para kepala desa dan istrinya dalam Bimtek ini mencapai Rp26 juta. Meliputi tiket pesawat dan biaya inap di hotel. Lalu dari mana sisa dana diambil? Dananya harus sudah dianggarkan di APBdesa masing-masing. Hal ini ditegaskan Kepala Dinas PMD Karo, Abel Tarawih saat dikonfirmasi di kantornya, Kamis (7/11) sore.

“Dananya sudah harus ditampung di APBDesa,” katanya. Jika belum ditampung, dananya tidak boleh diambil dari APBDesa. Jika dana yang telah dianggarkan tidak mencukupi, maka kepala desa harus menutupi kekurangan dananya dengan uang pribadi sendiri. “Jika tak diganti

“Misalkan dana yang dianggarkan dalam peningkatan kapasitas kepala desa hanya Rp15 juta. Namun biaya yang dihabiskan lebih besar, maka selisihnya harus diganti dengan uang pribadi,” tegas Abel. Jika dananya tetap diambil dari APBDesa, maka sang kepala desa bisa terjerat masalah hukum.

“Kita sudah berkordinasi dengan pihak Inspektorat Karo untuk mengoreksi dan memeriksa APBDesa agar tak terjadi penyelewengan. Jika sebelumnya tak dianggarkan, biaya istri kepala desa yang ikut tak boleh diambil dari APBDesa,” ungkapnya.

Selain harus mengembalikan kelebihan dananya, Abel juga menegaskan para kepala desa yang ikut Bimtek ini harus mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya di desa masing-masing.

“Saya perintahkan para kepala desa ini menerapkan dan memaparkan ilmu yang diperolehnya selama Bimtek ini ke desanya. Para kepala desa ini akan tetap kita awasi,” tegas Abel. Bagaimana dengan PJ Kepala Desa yang jabatannya berakhir dalam hitungan hari, namun tetap ikut berangkat bersama istrinya? Abel mengaku akan lebih dulu melihat aturan yang ada. “Pokoknya semua kegiatan harus berpedoman pada APBDesa,” katanya.

Lalu kenapa Bimtek ini dilakukan di Bali? Abel berdalih Kebupaten Badung, Bali merupakan daerah yang berhasil mengelola pariwisatanya melalui Bumdes.

“Sebenarnya kita ingin para kepala desa mencontoh, menjadikan dan menggali wisata di desa masing-masing seperti beberapa desa di Kabupaten Badung Bali,”tandasnya.

Sementara Azis mewakili Lembaga Pelatihan Manajemen Atministrasi Pemerintahan (LPMAP) mengaku hanya sebagai penyelenggara Bimtek. “LPMAP tidak pernah memberangkatkan para kepala desa. Kami hanya mengundang, tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun.

Yang namanya mengundang yang boleh saja datang, bisa juga tidak. Sebagai penyelenggara kita hanya memberikan fasilitas sesuai dengan harapan menjadi output yang dpaat dibawa ke desa masing-masing. Banyak juga kepala desa yang tidak menghadiri,” elaknya.

Seperti diketahui kegiatan Bimtek para kepala desa se-Kabupaten Karo ke Kabupaten Badung Bali, dinilai hanya buang-buang anggaran dan jadi ajang cari untung. Apalagi kegiatan ini menghabiskan dana sekitar Rp7 miliar Warga kian apatis karena kegiatan serupa yang digelar dua tahun sebelumnya juga tidak menghasilkan terobosan apapun bagi kemajuan desa mereka.

Alhasil, Bimtek yang tengah berlangsung ini ditenggarai modus untuk pelesiran. Tahun 2017 dan 2018 lalu, para kepala desa di Karo juga menggelar kunjungan ke luar kota, baik ke Jogjakarta dan Jakarta.

Alasan mereka sama, study banding, Bimtek dan lain sebagainya. “Tapi hasilnya apa? Pengelolaan dana desa tetap monoton,” kritik Rianto Ginting, salah seorang warga Kabanjahe. Kunjungan ke Bali yang dilakukan secara bertahap ini diyakini juga, tidak akan memberi manfaat apapun bagi kemajuan desa di Kabupaten Karo.

Sementara dana yang digunakan tidak sedikit mencapai puluhan juta/kades. Selain buang-buang anggaran, kegiatan ini juga dinilai tak nyambung.

Karena jika ditilik dari sisi manapun, antara Bali dan Karo jauh berbeda bak langit dan bumi. Bali dikenal sebagai daerah wisata maju berkelas internasional. Sedang Kabupaten Karo merupakan dataran tinggi yang hampir 80 persen warganya bekerja sebagai petani. (deo/han)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/