MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pernyataan pedas yang dilontarkan anggota Senat Akademik Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Ediwarman, memancing reaksi keras dari kubu mantan Rektor USU Prof Chairuddin P Lubis atau sering disebut CPL.
Junaidi Matondang yang dipercaya sebagai kuasa hukum CPL, meminta Prof Ediwarman dari kubu Rektor USU saat ini Prof Syahril Pasaribu tak spekulatif menganalisis dugaan tindak pidana korupsi di USU.
“APBN-P sebesar Rp30 miliar itu ‘kan bukan di zaman beliau (CPL, Red). Tak ada campur tangan dia di situ. Makanya bisa berbahaya pernyataan yang menyesatkan secara hukum,” ujarnya.
Junaidi menyebutkan, dalam dana Rp30 miliar yang bersumber dari APBN-P yang menjadi pangkal proyek bermasalah di USU, pihak Kejagung menemukan adanya penggelembungan anggaran proyek (mark-up).
“Jadi kalau bicara waktu atau tahun kejadian itu adalah masa rektor lama. Tentu yang perlu dilihat lagi pelaku materilnya siapa. Ini selalu berkaitan dengan hukum kausalitas (sebab akibat),” tukasnya. Peran mantan rektor maupun rektor saat ini bermula dari permohonan proposal dari semua fakultas.
”Apakah pengajuan proposal merupakan perbuatan melanggar hukum? Saya kira justru sebaliknya. Tinggal penanggungjawab atas pelaksana proposal itu menjalankannya seperti apa,” katanya.
Pernyataan Junaidi merujuk ucapan Guru Besar Fakultas Hukum USU Prof Ediwarman, Kamis (11/12), yang memberikan pandangan hukumnya bahwa dugaan korupsi di USU akan berakhir pada tanggungjawab siapa yang melakukan, dan bukan tanggungjawab institusi.
Prof Ediwarman berkomentar tak mungkin CPL tidak terlibat dalam kasus korupsi USU lantaran proyek tersebut berlangsung saat transisi kepemimpinan dari CPL selaku rektor lama ke Syahril Pasaribu sebagai rektor yang baru, atau tepatnya 31 Maret 2010. “Tapi di masa peralihan itu, pak Syahril kan masih dibayangi oleh CPL,” ujar Ediwarman, kemarin.
Merespons itu pula, Junaidi menyebutkan, pernyataan Ediwarman yang mengaitkan kedekatan CPL dengan Dekan Farmasi Prof Sumadio Hardisaputra yang kini ditetapkan sebagai tersangka, tidak relevan dalam perspektif hukum.
“Itu bukan bicara hukum, tapi politik. Ini analoginya kalau menteri korupsi maka presiden juga terlibat korupsi. Apakah orang yang dipercaya duduk sebagai dekan dan melakukan korupsi, maka rektor yang mengangkatnya juga ikut korupsi? Kan tidak. Keliru sekali sudut pandang seperti itu,” sergahnya.
Kendati demikian, Junaidi mengapresiasi pendapat hukum yang dilontarkan Prof Ediwarman. “Saya tetap menghargai pandangannya. Tetapi pendapat hukum tentunya harus murni hukum. Jangan lompat jadi pendapat politik atau malah jadi penyidik,” katanya dengan nada menyindir.
Junaidi menyebutkan, Pendapat yang menyatakan CPL terlibat korupsi di USU karena proposal proyek diajukan saat CPL menjabat rektor adalah pendapat yang dangkal dan tak berdasarkan fakta-fakta hukum.
“Apakah mengajukan proposal itu melanggar hukum? Justru proposal itu dievalusi dan dianalisis pihak kementerian. Berbeda jika Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atas persetujuan rektor. Itu kan sudah ada Unit Layanan Pengadaan (ULP) di sana. Mungkin ULP bilang saya ditekan-tekan sama CPL ya, itu lain cerita. Ini kan tidak. Ini murni mark-up dan tak sesuai spek,” urainya.
Junaidi yakin kliennya tak turut serta dalam HPS saat pengajuan proposal tersebut. “Lantas apa yang mau dilibatkan kepada dia secara pidana?” sebutnya seraya menambahkan CPL sudah diperiksa oleh Kejagung.
Disinggung adanya informasi dari Kejagung yang sudah menetapkan CPL sebagai tersangka, Junaidi mengaku tak tahu. “Saya belum dapat infonya,” elaknya.
Hanya saja, Sumut Pos belum mendapatkan penjelasan dari Suhardi selaku unsur pimpinan ULP USU. Dikontak kemarin, Suhardi tak bersedia mengangkat telepon selulernya. Begitu pula pesan singkat yang dikirimkan tidak mendapat respons. Menurut Humas USU, Bisru Haffi, Suhardi kemungkinan berada di luar kota. “Mungkin masih di luar kota. Coba nanti saya bantu untuk hubungi ya,” ujarnya.
Sementara itu, berkas perkara milik Abdul Hadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan peralatan farmasi di Fakultas Farmasi USU tahun 2010 sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Medan. Pelimpah berkas langsung disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Netty Silaen ke Pengadilan Tipikor Medan, Jumat (12/12) petang.
“Ini saya mau limpahkan berkas perkara milik Abdul Hadi kasus korupsi USU ke Pengadilan Tipikor,” ungkap Netty sembari menunjukkan dua bundel besar berisi berkas perkara korupsi USU kepada Sumut Pos di depan gedung Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Tak banyak komentar yang bisa dikorek dari Jaksa Netty. Dia lebih memilih berlalu sembari masuk ke gedung PN Medan.”Selengkapnya tanya Kasi Pidsus ya, saya cuma jaksa. Minta keterangan yang lebih rinci soal kasus ini,” sarannya.
Pernyataan serupa juga disampaikan Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumut, Chandra Purnama. Chandra mengatakan, berkas Abdul Hadi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam dugaan korupsi USU dilimpahkan oleh penyidik Kejati Sumut setelah dinyatakan lengkap atau P-21.
“Hari ini dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Medan dan diterima bagian panitera,” kata Chandra saat dikonfirmasi wartawan, kemarin.
Dijelaskan dia, saat ini Abdul Hadi ditahan di Rutan Tanjung Gusta Medan sebagai tahanan kejaksaan. Abdul Hadi ditahan di Rutan Tanjung Gusta Medan sejak 10 November lalu setelah pelimpahan berkas tahap pertama dari Kejagung. Dalam persidangan nanti, kata Chandra, pihaknya menjerat Abdul Hadi dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Terpisah, Jubir PN Medan, Nelson Japasar Marbun mengatakan, berkas Abdul Hadi diterima bagian panitera pidana khusus. Berkas segera diserahkan kepada Ketua PN Medan untuk diteliti dan selanjutnya menunjuk majelis hakim yang mengadili. “Nanti ditetapkan jadwal sidangnya,” kata Nelson.
Sekadar diketahui, kasus ini ditangani oleh Kejagung sebagai penyidik awal. Abdul Hadi ditetapkan menjadi tersangka berdasarkan surat perintah penahanan yang diteken Direktur Penyidikan Kejagung berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor print 14/F.2/Fd.1/08/2014.
Sebelum ditahan di Rutan Tanjung Gusta, Abdul Hadi telah menjalani penahanan di Rutan Salemba oleh Kejagung selama 20 hari, terhitung sejak 14 Agustus lalu. Pria yang berprofesi sebagai PNS itu ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan korupsi saat menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kegiatan pengadaan peralatan farmasi di Fakultas Farmasi USU tahun 2010 silam. Anggaran proyek tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010 dengan pagu Rp25 miliar.
Pelaksana proyek pengadaan peralatan farmasi itu adalah PT Exatech Technologi Utama dengan nilai kontrak Rp24,35 miliar. Masa pelaksanaan proyek berlangsung selama 120 hari, terhitung 1 April hingga 30 Juli 2010. Abdul Hadi diduga mengemplang uang negara hingga Rp7.116.436.425.
Selain itu, Abdul Hadi juga diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan peralatan farmasi lanjutan di Fakultas Farmasi USU tahun 2010. Proyek ini dikerjakan oleh PT Sean Hulbert Jaya dengan nilai anggaran Rp14.770.184.000. Pada proyek ini, penyidik Kejagung menemukan adanya indikasi korupsi dengan kerugian negara Rp7.308.200.921. Total kerugian negara dalam dua proyek itu mencapai Rp14 miliar. (prn/gus/val)