26.7 C
Medan
Sunday, May 5, 2024

Aktivis GMNI: Fakta Lapangan Beda dengan Isu di Medsos

Foto: Istimewa Manajer Pembibitan, Sukardi (Keempat dari kiri) memberikan penjelasan di kompleks nursery.
Foto: Istimewa
Manajer Pembibitan, Sukardi (Keempat dari kiri) memberikan penjelasan di kompleks nursery.

PARMAKSIAN, SUMUTPOS.CO – Belasan kader GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Sumut, untuk pertama kalinya mengunjungi industri pulp TPL di Parmaksian, Tobasamosir, Rabu (9/9/2015). Mereka ingin menyaksikan secara langsung apakah fakta-fakta di lapangan sesuai dengan sejumlah isu yang dilontarkan para pengeritik melalui media massa, media sosial dan aksi unjuk rasa. Kata mereka, fakta di lapangan berbeda dengan isu negatif yang dilontarkan.

Aanak-anak muda pergerakan yang dipimpin Koordinator Daerah (Korda) Sumut, Turedo Sitindaon SH itu, untuk mengkonfirmasi kebenaran isu-isu negatif yang beredar, juga ingin mengetahui seberapa besar dampak kehadiran perusahaan PMA ini terhadap ekonomi negara dan masyarakat lokal.

Turedo, mahasiswa S-2 USU, melukiskan posisi organisasinya terhadap TPL –dan juga institusi bisnis lainnya– adalah “kritis independen.” Kritis berarti tidak lekas percaya pada informasi apapun kecuali memenuhi prinsip-prinsip akademik atau obyektivitas, dan karena itu mereka melakukan observasi langsung ke lapangan. Independen berarti bebas dalam berpikir, bersikap dan bertindak.

Tentang TPL (PT Toba Pulp Lestari,Tbk), hampir semua rekan Turedo ternyata mengaku pernah memperoleh informasi negatif terutama dalam dua hal, yakni: mencemari lingkungan karena limbah pabriknya, serta merampas hak-hak masyarakat dalam pembangunan HTI (hutan tanaman industri) sebagai sumber bahan baku.

Di kompleks pabrik, manajer CSR (corporate social responsibility) TPL Jasmin Parhusip dan beberapa staf, di antaranya Jerry Tobing dan Sukardi, mengajak rombongan menyaksikan pusat pembibitan, lingkungan pabrik serta instalasi pengolahan limbah. Di central nursery rombongan menyaksikan tangan-tangan terampil perempuan desa menghasilkan 2,1 juta bibit ekaliptus (Eucalyptus sp) unggul per bulan untuk ditanam di HTI. Juga ada pembibitan sekitar 1.000 bibit kemenyan (haminjon) untuk ditanam bersama masyarakat petani serta dibagi-bagikan secara gratis untuk ditanam di lahan milik termasuk pekarangan rumah. Pembibitan mengadopsi teknologi kloning (clone).

Ekaliptus dapat dipanen pada usia antara 5 – 6 tahun. HTI itu dibangun di konsesi berstatus kawasan hutan register berfungsi HP (hutan produksi tetap) berdasarkan izin Pemerintah (Kementerian Kehutanan). Logikanya, kawasan hutan register dikuasai Negara dan karena itu bebas dari pembebanan hak. Tetapi sebagian hutan register inilah yang diklaim oleh segelintir pihak sebagai hutan atau tanah adat.

Di lingkungan pabrik, rombongan diberitahu proses pemasakan (perebusan) bahan baku kayu menjadi bubur kertas (lazim juga dinamai: bubur kayu). Setelah diputihkan, bubur itu kemudian dikeringkan hingga mirip karton. Lalu dipotong-potong dan dikemas untuk memudahkan pengangkutan dari pabrik ke pelabuhan Belawan. Sebagian besar produksi diekspor untuk menghasilkan devisa.

Para aktivis kemudian diberitahu proses pengolahan limbah. Mereka menyaksikan scrubber dan incinerator dua alat penangkap partikel debu dari udara (limbah gas) untuk kemudian dibakar. Adapun limbah cair diolah dalam suatu instalasi deeptank cukup modern untuk memisahkan padatan dari cairan, injeksi oksigen serta kontrol pH (keasaman). Sedangkan limbah padat disimpan di tempat aman, yang konstruksinya berdasarkan rekomendasi Kemeneg Lingkungan Hidup.

Pengolahan semua limbah itu dilakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku-mutu. Secara alami juga ada indikator yang memastikan pengolahan limbah itu oke. Berbagai makhluk hidup seperti unggas (merpati, balam), tanaman (cabe, semangka) dan ikan dapat hidup normal dengan memanfaatkan air limbah yang sudah diolah sebagai ransum atau media hidup.

KOMENTAR-KOMENTAR
Usai menyaksikan kondisi lapangan, para aktivis menuliskan beragam komentar. Sebelum berkunjung mereka umumnya sudah lebih dulu menerima informasi negatif tentang TPL.

Ady May Simanjuntak, misalnya, memberitahu sempat memandang negatif TPL karena isu pencemaran dan perusakan. Alex Mulandar Manalu (Padangbulan – wakil komisaris bagian politik) menambahkan ada cerita pemukulan terhadap masyarakat, tidak berpihak pada alam, jadi musuh masyarakat karena merampas hak-hak masyarakat.

Brenda Bukti Sahat P Sihite (Medan Selayang) menyebut perusahaan tidak memiliki tanggungjawab sosial dan lingkungan. Maslon Ambarita (Jalan Jamin Gintings) mendapat informasi TPL merambah hutan, mengkriminalisasi warga, serta mengambil hutan adat masyarakat. Sa’ban Hutagaol (Balige), menerima catatan hitam berupa perampasan tanah adat, tidak membayar kompensasi layak, limbah (cair) dibuang ke Danau Toba, banyak masyarakat ditangkapi, distribusi dana CSR tidak jelas, tidak transparan.

Tamado Donmes (Martubung) mendapat info menebang hutan secara liar.

Usai melakukan peninjauan Alex Mulandar Manalu menyatakan isu miring berbanding fakta, beda. TPL ternyata sangat membantu masyarakat, mendukung Indonesia lebih maju (melalui produksi dan hasil devisa), serta menjaga kelestarian lingkungan.

Ardi Sianipar menyatakannya dengan kalimat lebih tegas, “yang dengar selama ini salah… isu itu hanya atas dasar pemaparan kiri-kanan tanpa lihat praktik lapangan… nyatanya TPL tetap pelihara lingkungan dan banyak bantu warga.”
Bill Clinton Simanjuntak menulis, “(kini) teranglah apa sebenarnya terjadi… (jadi) muncul penilaian lebih positif.” Brenda Bukti Sahat P Sihite mencatat, “sistem pengolahan dan pembuangan limbah yang ‘dipertanyakan’ akhirnya terjawab… sistem pengolahan dan pembuangan limbah dibangun (secara) sistematis dan terintegrasi sehingga dampak pencemaran terminimalisir sangat baik… TPL juga memiliki komitmen turut membangun Indonesia… juga memberdayakan ekonomi msayarakat.” Bahkan, Maslon Ambarita berani mencatat TPL (sudah) mengarah go green corporate, dan Pir Maruli Tua Silaban menilai TPL “sangat mengayomi masyarakat (melalui kemitraan-usaha dan program CSR).. bertanggungjawab terhadap lingkungan, tidak merusak lingkungan bahkan memiliki lingkungan yang sehat di pabrik dibuktikan adanya tumbuhan dan hewan yang hidupnya sehat.”
Secara lebih spesifik Sa’ban Hutagaol memastikan, “pengelolaan limbah cair dan padat (sudah) menggunakan teknologi mumpuni, limbah cair diolah menjadi tidak berbahaya dan tidak terbuang ke Danau Toba, penangkapan masyarakat (oleh Polisi terjadi) karena memang (mereka) melakukan tindak pidana.” Suend RH Saragih melukiskan perasaannya, “saya (kini) lega karena (mengetahui) berita miring di media sesungguhnya tidak benar.” Ia bahkan tidak ragu-ragu menyatakan “bangga (menyaksikan ada) industri di Indonesia mampu memberi (menghasilkan produksi) kualitas ekspor.” (rel)

Foto: Istimewa Manajer Pembibitan, Sukardi (Keempat dari kiri) memberikan penjelasan di kompleks nursery.
Foto: Istimewa
Manajer Pembibitan, Sukardi (Keempat dari kiri) memberikan penjelasan di kompleks nursery.

PARMAKSIAN, SUMUTPOS.CO – Belasan kader GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Sumut, untuk pertama kalinya mengunjungi industri pulp TPL di Parmaksian, Tobasamosir, Rabu (9/9/2015). Mereka ingin menyaksikan secara langsung apakah fakta-fakta di lapangan sesuai dengan sejumlah isu yang dilontarkan para pengeritik melalui media massa, media sosial dan aksi unjuk rasa. Kata mereka, fakta di lapangan berbeda dengan isu negatif yang dilontarkan.

Aanak-anak muda pergerakan yang dipimpin Koordinator Daerah (Korda) Sumut, Turedo Sitindaon SH itu, untuk mengkonfirmasi kebenaran isu-isu negatif yang beredar, juga ingin mengetahui seberapa besar dampak kehadiran perusahaan PMA ini terhadap ekonomi negara dan masyarakat lokal.

Turedo, mahasiswa S-2 USU, melukiskan posisi organisasinya terhadap TPL –dan juga institusi bisnis lainnya– adalah “kritis independen.” Kritis berarti tidak lekas percaya pada informasi apapun kecuali memenuhi prinsip-prinsip akademik atau obyektivitas, dan karena itu mereka melakukan observasi langsung ke lapangan. Independen berarti bebas dalam berpikir, bersikap dan bertindak.

Tentang TPL (PT Toba Pulp Lestari,Tbk), hampir semua rekan Turedo ternyata mengaku pernah memperoleh informasi negatif terutama dalam dua hal, yakni: mencemari lingkungan karena limbah pabriknya, serta merampas hak-hak masyarakat dalam pembangunan HTI (hutan tanaman industri) sebagai sumber bahan baku.

Di kompleks pabrik, manajer CSR (corporate social responsibility) TPL Jasmin Parhusip dan beberapa staf, di antaranya Jerry Tobing dan Sukardi, mengajak rombongan menyaksikan pusat pembibitan, lingkungan pabrik serta instalasi pengolahan limbah. Di central nursery rombongan menyaksikan tangan-tangan terampil perempuan desa menghasilkan 2,1 juta bibit ekaliptus (Eucalyptus sp) unggul per bulan untuk ditanam di HTI. Juga ada pembibitan sekitar 1.000 bibit kemenyan (haminjon) untuk ditanam bersama masyarakat petani serta dibagi-bagikan secara gratis untuk ditanam di lahan milik termasuk pekarangan rumah. Pembibitan mengadopsi teknologi kloning (clone).

Ekaliptus dapat dipanen pada usia antara 5 – 6 tahun. HTI itu dibangun di konsesi berstatus kawasan hutan register berfungsi HP (hutan produksi tetap) berdasarkan izin Pemerintah (Kementerian Kehutanan). Logikanya, kawasan hutan register dikuasai Negara dan karena itu bebas dari pembebanan hak. Tetapi sebagian hutan register inilah yang diklaim oleh segelintir pihak sebagai hutan atau tanah adat.

Di lingkungan pabrik, rombongan diberitahu proses pemasakan (perebusan) bahan baku kayu menjadi bubur kertas (lazim juga dinamai: bubur kayu). Setelah diputihkan, bubur itu kemudian dikeringkan hingga mirip karton. Lalu dipotong-potong dan dikemas untuk memudahkan pengangkutan dari pabrik ke pelabuhan Belawan. Sebagian besar produksi diekspor untuk menghasilkan devisa.

Para aktivis kemudian diberitahu proses pengolahan limbah. Mereka menyaksikan scrubber dan incinerator dua alat penangkap partikel debu dari udara (limbah gas) untuk kemudian dibakar. Adapun limbah cair diolah dalam suatu instalasi deeptank cukup modern untuk memisahkan padatan dari cairan, injeksi oksigen serta kontrol pH (keasaman). Sedangkan limbah padat disimpan di tempat aman, yang konstruksinya berdasarkan rekomendasi Kemeneg Lingkungan Hidup.

Pengolahan semua limbah itu dilakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku-mutu. Secara alami juga ada indikator yang memastikan pengolahan limbah itu oke. Berbagai makhluk hidup seperti unggas (merpati, balam), tanaman (cabe, semangka) dan ikan dapat hidup normal dengan memanfaatkan air limbah yang sudah diolah sebagai ransum atau media hidup.

KOMENTAR-KOMENTAR
Usai menyaksikan kondisi lapangan, para aktivis menuliskan beragam komentar. Sebelum berkunjung mereka umumnya sudah lebih dulu menerima informasi negatif tentang TPL.

Ady May Simanjuntak, misalnya, memberitahu sempat memandang negatif TPL karena isu pencemaran dan perusakan. Alex Mulandar Manalu (Padangbulan – wakil komisaris bagian politik) menambahkan ada cerita pemukulan terhadap masyarakat, tidak berpihak pada alam, jadi musuh masyarakat karena merampas hak-hak masyarakat.

Brenda Bukti Sahat P Sihite (Medan Selayang) menyebut perusahaan tidak memiliki tanggungjawab sosial dan lingkungan. Maslon Ambarita (Jalan Jamin Gintings) mendapat informasi TPL merambah hutan, mengkriminalisasi warga, serta mengambil hutan adat masyarakat. Sa’ban Hutagaol (Balige), menerima catatan hitam berupa perampasan tanah adat, tidak membayar kompensasi layak, limbah (cair) dibuang ke Danau Toba, banyak masyarakat ditangkapi, distribusi dana CSR tidak jelas, tidak transparan.

Tamado Donmes (Martubung) mendapat info menebang hutan secara liar.

Usai melakukan peninjauan Alex Mulandar Manalu menyatakan isu miring berbanding fakta, beda. TPL ternyata sangat membantu masyarakat, mendukung Indonesia lebih maju (melalui produksi dan hasil devisa), serta menjaga kelestarian lingkungan.

Ardi Sianipar menyatakannya dengan kalimat lebih tegas, “yang dengar selama ini salah… isu itu hanya atas dasar pemaparan kiri-kanan tanpa lihat praktik lapangan… nyatanya TPL tetap pelihara lingkungan dan banyak bantu warga.”
Bill Clinton Simanjuntak menulis, “(kini) teranglah apa sebenarnya terjadi… (jadi) muncul penilaian lebih positif.” Brenda Bukti Sahat P Sihite mencatat, “sistem pengolahan dan pembuangan limbah yang ‘dipertanyakan’ akhirnya terjawab… sistem pengolahan dan pembuangan limbah dibangun (secara) sistematis dan terintegrasi sehingga dampak pencemaran terminimalisir sangat baik… TPL juga memiliki komitmen turut membangun Indonesia… juga memberdayakan ekonomi msayarakat.” Bahkan, Maslon Ambarita berani mencatat TPL (sudah) mengarah go green corporate, dan Pir Maruli Tua Silaban menilai TPL “sangat mengayomi masyarakat (melalui kemitraan-usaha dan program CSR).. bertanggungjawab terhadap lingkungan, tidak merusak lingkungan bahkan memiliki lingkungan yang sehat di pabrik dibuktikan adanya tumbuhan dan hewan yang hidupnya sehat.”
Secara lebih spesifik Sa’ban Hutagaol memastikan, “pengelolaan limbah cair dan padat (sudah) menggunakan teknologi mumpuni, limbah cair diolah menjadi tidak berbahaya dan tidak terbuang ke Danau Toba, penangkapan masyarakat (oleh Polisi terjadi) karena memang (mereka) melakukan tindak pidana.” Suend RH Saragih melukiskan perasaannya, “saya (kini) lega karena (mengetahui) berita miring di media sesungguhnya tidak benar.” Ia bahkan tidak ragu-ragu menyatakan “bangga (menyaksikan ada) industri di Indonesia mampu memberi (menghasilkan produksi) kualitas ekspor.” (rel)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/