“Nemu pasien rewel itu sering. Ada yang meludah begitu saja di kamar operasi. Ada yang tidak koperatif, ada yang pikun. Ada yang mengalami katarak komplikasi. Tapi yang paling susah adalah saat pasiennya tak bisa diam di meja operasi hingga penyayatan lapisan katarak sulit dilakukan,” tuturnya sembari tertawa.
Begitupun, semua dilakoni dengan senang hati.
Dokter Wulan sendiri belajar teknik operasi katarak ala Profesor Sarduk Ruit di Nepal. Menurutnya, teknik Ruit cocok diterapkan pada operasi katarak massal. Karena tekniknya cepat, efisien, dan murah. Meski kecepatan mengoperasi katarak juga dipengaruhi ‘jam terbang’ seorang dokter.
Mengapa ia lebih memilih jadi spesialis mata?
Menurut Dokter Wulan, indra mata memengaruhi kualitas hidup seseorang hingga 80 persen, dibanding indra lain. Dan di Indonesia, persentase penderita kataraknya nomor dua terbanyak di dunia setelah Etiopia. “Sekarang bahkan mungkin nomor satu terbanyak, katanya.
Penderita katarak kebanyakan di atas usia 40 tahun, meski juga ada yang masih bayi dan anak-anak. Bayi kena katarak biasanya bawaan lahir, atau kena virus rubella. Untuk mengatasi penyakit katarak di Indonesia, semua pihak seharusnya bekerja sama.
“Dokter tak bisa sendirian mencari pasien. Harus ada yang memanaje mobilisasi massa. Terima kasih untuk Tambang Emas Martabe yang sudah menggelar operasi katarak ini. Tapi masih banyak yang harus dikerjakan. Perusahaan lain diharapkan juga menggelar kegiatan CSR serupa. Sebab dibanding jumlah penderita katarak, jumlah baksos katarak sebenarnya masih kurang. Ini tanggung jawab semua pihak. Termasuk Perdami, pemerintah pusat, pemda, media, pihak swasta, dsb,” harapnya.
Melibatkan TNI untuk memobilisasi massa ikut baksos, menurutnya sangat baik. Karena mobilisasi massa bisa lebih luas dan lebih sistematis. “Kita harapkan perusahaan lain melakukan baksos untuk kesehatan mata,” pintanya mengakhiri. (mea)