30 C
Medan
Saturday, December 7, 2024
spot_img

Fake dan Chinese Whispers

Fake dan Chinese Whispers
Fake dan Chinese Whispers

Kalau buku adalah jendela dunia, berarti layar hape dan komputer kita jendela apa?

***

Entah berapa kali saya menyatakan ini kepada orang. Pembaca setia Happy Wednesday mungkin juga sudah mengetahuinya. Bahwa saya ini tergolong manusia offline. Nyaris tidak aktif di media sosial.

Alasannya sangat pribadi, silakan kilas balik di Happy Wednesday edisi XXX (link-nya: xxxxx).

Tentu ini bukan berarti saya benar-benar off the grid. Sesekali tentu saya masih membuka atau memantau, khususnya bila ada teman yang merekomendasikan sesuatu.

Tidak semua teman saya turuti tentunya, karena tidak semua teman kita adalah sumber yang kredibel, bukan? Wkwkwkwkwk…

Belakangan, karena beberapa topik besar, saya agak lebih sering memantau. Apalagi, belakangan juga banyak rekan menanyai soal ini atau itu yang mereka baca di media sosial.

Alamaaak…

Membaca berbagai tulisan, rasanya kok hidup menjadi semakin tidak tenang. Ada banyak memang hal yang menyejukkan hati, menyenangkan hati. Tidak sedikit yang seolah-olah menandakan dunia ini akan segera kiamat.

Sebagai orang yang sejak kecil tidak jauh dari dunia media, dan kini berada di dunia itu (dan di beberapa dunia lain di muka bumi), tentu sensor-sensor saya lebih terlatih.

Mana yang kira-kira benar, mana yang jelas-jelas fake, mana yang melintir. Mana hal kecil yang sebenarnya tidak penting, kok tiba-tiba menjadi sebuah monster yang begitu mengerikan.

Ada orang bilang, dunia itu berputar. Jadi, segalanya pernah di atas, di bawah, di samping kiri, atau di samping kanan.

Dan saya punya kesimpulan, sejarah kadang tidak berarti apa-apa. Karena orang atau generasi baru belum tentu kenal sejarah, belajar sejarah, menghargai sejarah, lalu menggunakan sejarah untuk menghindari kesalahan sejarah, atau bahkan membuat sejarah baru (learn history, use history, make history).

Jadi, kesalahan bisa selalu berulang, dengan era dan platform yang berbeda.

Sudah nonton Captain America The First Avenger? Zaman dulu film atau pertunjukan panggung dijadikan alat untuk propaganda dan menyampaikan ”kabar”.

Orang semakin pintar, dan kemudian ada alternatif-alternatifnya.

Kebebasan media di mana-mana juga ada proses belajarnya, karena dulu media cetak berebut menampilkan judul yang ”semenarik mungkin” untuk memikat pembeli.

Orang semakin pintar, dan bisa memfilter lebih baik. Media-media yang dulu bombastis semakin terkikis. Hanya mereka yang konsisten menjaga diri dan kualitas yang bertahan.

Bukan berarti yang bertahan itu sempurna. Tapi sudah puluhan tahun menjaga konsistensi dan puluhan tahun pula menjaga kepercayaan konsumennya.

Roda yang sama sekarang berputar di medsos. Apalagi, ”ekonomi online” menuntut banyak-banyakan klik. Kembalilah jualan judul, berlomba berebut klik (clickbait).

Eh ternyata, konsumennya tidak belajar dari era jualan judul sebelumnya. Mungkin karena konsumennya memang sudah berbeda dengan yang dulu.

Hanya saja, konsekuensinya tetap bisa mengerikan. Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Di Amerika saja –yang seharusnya jauh lebih berpendidikan dan kritis– masih banyak orang tertipu dan bahkan berdampak violent.

Baru-baru ini, gara-gara fake news, seorang pria menembakkan senjata di dalam sebuah restoran pizza di Washington DC. Itu gara-gara dia membaca ”berita” bahwa restoran itu juga beroperasi sebagai rumah bordil.

Di Indonesia? Entah berapa banyak kejadian yang disebabkan hoax atau fake news itu.

Karena roda berputar, untuk jangka panjang saya tidak khawatir. Orang bakal menjadi semakin pintar, regulasi semakin pintar, jari-jemari orang akan semakin bertanggung jawab –menyambung dengan hati nuraninya– sebelum menyentuh keypad.

Sambil menunggunya itu yang mengkhawatirkan…

Lalu bagaimana mengatasinya?

Fake dan Chinese Whispers
Fake dan Chinese Whispers

Kalau buku adalah jendela dunia, berarti layar hape dan komputer kita jendela apa?

***

Entah berapa kali saya menyatakan ini kepada orang. Pembaca setia Happy Wednesday mungkin juga sudah mengetahuinya. Bahwa saya ini tergolong manusia offline. Nyaris tidak aktif di media sosial.

Alasannya sangat pribadi, silakan kilas balik di Happy Wednesday edisi XXX (link-nya: xxxxx).

Tentu ini bukan berarti saya benar-benar off the grid. Sesekali tentu saya masih membuka atau memantau, khususnya bila ada teman yang merekomendasikan sesuatu.

Tidak semua teman saya turuti tentunya, karena tidak semua teman kita adalah sumber yang kredibel, bukan? Wkwkwkwkwk…

Belakangan, karena beberapa topik besar, saya agak lebih sering memantau. Apalagi, belakangan juga banyak rekan menanyai soal ini atau itu yang mereka baca di media sosial.

Alamaaak…

Membaca berbagai tulisan, rasanya kok hidup menjadi semakin tidak tenang. Ada banyak memang hal yang menyejukkan hati, menyenangkan hati. Tidak sedikit yang seolah-olah menandakan dunia ini akan segera kiamat.

Sebagai orang yang sejak kecil tidak jauh dari dunia media, dan kini berada di dunia itu (dan di beberapa dunia lain di muka bumi), tentu sensor-sensor saya lebih terlatih.

Mana yang kira-kira benar, mana yang jelas-jelas fake, mana yang melintir. Mana hal kecil yang sebenarnya tidak penting, kok tiba-tiba menjadi sebuah monster yang begitu mengerikan.

Ada orang bilang, dunia itu berputar. Jadi, segalanya pernah di atas, di bawah, di samping kiri, atau di samping kanan.

Dan saya punya kesimpulan, sejarah kadang tidak berarti apa-apa. Karena orang atau generasi baru belum tentu kenal sejarah, belajar sejarah, menghargai sejarah, lalu menggunakan sejarah untuk menghindari kesalahan sejarah, atau bahkan membuat sejarah baru (learn history, use history, make history).

Jadi, kesalahan bisa selalu berulang, dengan era dan platform yang berbeda.

Sudah nonton Captain America The First Avenger? Zaman dulu film atau pertunjukan panggung dijadikan alat untuk propaganda dan menyampaikan ”kabar”.

Orang semakin pintar, dan kemudian ada alternatif-alternatifnya.

Kebebasan media di mana-mana juga ada proses belajarnya, karena dulu media cetak berebut menampilkan judul yang ”semenarik mungkin” untuk memikat pembeli.

Orang semakin pintar, dan bisa memfilter lebih baik. Media-media yang dulu bombastis semakin terkikis. Hanya mereka yang konsisten menjaga diri dan kualitas yang bertahan.

Bukan berarti yang bertahan itu sempurna. Tapi sudah puluhan tahun menjaga konsistensi dan puluhan tahun pula menjaga kepercayaan konsumennya.

Roda yang sama sekarang berputar di medsos. Apalagi, ”ekonomi online” menuntut banyak-banyakan klik. Kembalilah jualan judul, berlomba berebut klik (clickbait).

Eh ternyata, konsumennya tidak belajar dari era jualan judul sebelumnya. Mungkin karena konsumennya memang sudah berbeda dengan yang dulu.

Hanya saja, konsekuensinya tetap bisa mengerikan. Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Di Amerika saja –yang seharusnya jauh lebih berpendidikan dan kritis– masih banyak orang tertipu dan bahkan berdampak violent.

Baru-baru ini, gara-gara fake news, seorang pria menembakkan senjata di dalam sebuah restoran pizza di Washington DC. Itu gara-gara dia membaca ”berita” bahwa restoran itu juga beroperasi sebagai rumah bordil.

Di Indonesia? Entah berapa banyak kejadian yang disebabkan hoax atau fake news itu.

Karena roda berputar, untuk jangka panjang saya tidak khawatir. Orang bakal menjadi semakin pintar, regulasi semakin pintar, jari-jemari orang akan semakin bertanggung jawab –menyambung dengan hati nuraninya– sebelum menyentuh keypad.

Sambil menunggunya itu yang mengkhawatirkan…

Lalu bagaimana mengatasinya?

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/