Dua tahun terakhir, ibu ini kerap ketar-ketir. Takut dipecat bosnya, pemilik usaha jual mie sarapan di Pajak Petisah Medan. Pasalnya ia kerap salah melayani pembeli: salah beri cabai, hingga salah memberi uang kembalian. “Saya berusaha keras agar bos tidak tahu saya menderita katarak.”
———————————–
Dame Ambarita, Medan
———————————–
Suaminya hanya penarik becak mesin. Kadang-kadang kalau ada rezeki, dapat job sebagai pekerja bangunan. Pendapatan tidak menentu.
Sebagai seorang istri yang ingin menjaga asap dapur di rumahnya di Jalan Papaya Medan, tetap bisa mengepul, Aryati Gaho (43), pun mencari pekerjaan. Beruntung ia diterima sebagai pelayan di sebuah usaha jual mie sarapan di Pajak Petisah.
Suaminya, Naso Sarumaha (55), mengizinkan sang istri bekerja, meski meminta agar sang istri jangan terlalu memorsir diri.
Namun dua tahun lalu, penglihatan ibu satu anak ini mulai buram. Meski demikian, ia berusaha tetap bekerja seperti biasa.
Naas… katarak di matanya semakin parah, hingga ia tidak bisa lagi membaca. “Mengenal wajah orang pun paling jauh hanya dua meter. Selebihnya, dari suara saja kalau sebelumnya sudah kenal baik,” ucapnya, saat diajak ngobrol di sela-sela operasi katarak gratis yang digelar Tambang Emas Martabe bekerja sama dengan A New Vision dan Kodam I Bukit Barisan, di Rumkit Putri Hijau Medan, Rabu (14/12/2016).
Mata rabun itu akhirnya benar-benar mengganggu pekerjaannya. Beberapa kali terjadi, ia salah memberi permintaan pembeli. “Pembeli minta cabai rawit segar, saya kasih batang sayur. Pembeli minta sendok, saya kasih garpu. Dan banyak lagi kesalahan seperti itu,” tuturnya dengan suara bergetar.
Hari berganti bulan, kataraknya semakin parah. Dari awalnya hanya satu mata, kini dua-duanya kena. Beberapa kali ia salah memberi kembalian kepada pembeli. Padahal uang termasuk perkara sensitif. Salah-salah, pembeli menyangkanya coba menipu uang kembalian. Di lain pihak, majikannya bisa-bisa menuduhnya melakukan penggelapan. “Sering sekali teman saya yang harus memperbaiki kesalahan pengembalian uang. Lama-lama, saya jadi takut dan tidak mau lagi melayani pembayaran sarapan. Saya minta teman saja mengurusnya,” katanya dengan nada rendah.
Masalah lainnya, ia tidak bisa melihat rambut yang jatuh ke makanan atau ke tangannya. Padahal dalam usaha makanan, helai rambut termasuk hal yang menjijikkan bagi pembeli
Selama ini, ia berhasil menyiasati agar majikannya tidak tau kelemahannya tersebut, dengan bantuan teman-temannya. “Tetapi saya semakin gelisah. Kalau ketahuan saya rabun, pastilah saya akan dipecat,” ungkapnya.
Selain di tempat kerja, ia juga kesulitan melakukan beberapa pekerjaan rumah. Ia tidak bisa lagi mengutip padi dari beras yang akan dimasak, karena tidak terlihat. Saat kataraknya kambuh, ia bahkan tak bisa mencuci piring yang adalah barang pecah belah. Untung suaminya bersedia mengambil alih pekerjaan itu.
Yang paling menyedihkan hatinya, ia tidak bisa lagi membaca Alkitab yang menjadi sandaran hidupnya. Padahal, membaca ayat-ayat Alkitab kerap memberi kekuatan bagi jiwanya, karena mengingatkannya untuk senantiasa berharap pada Tuhan.
Ia dan suaminya pernah mengupayakan pengobatan. Tapi biaya yang diminta dokter Rp5,7 juta, angka yang tampak jauh tak terjangkau. Apalagi biaya itu masih hanya untuk satu mata saja.
Ia pernah coba meneteskan air sirih ke matanya. Tetapi tidak mempan. Alhasil, ia hanya bisa berharap keajaiban datang padanya.