28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Terganjal Status Amran, JR-Amran Tak Bisa Dilantik

“Tidak benar kalau Mendagri mengatakan tak boleh melantik. Justru itu kewajiban, karena rezim hukum pidana tak bisa digabung dengan rezim pemilu yang notabene adalah administrasi. Intinya, kalau sudah juara dalam pilkada, ya harus diserahkan trofinya. Enggak ada alasan menahan-nahan,” ujar Hinca.

Menurut Hinca, proses pelantikan kepala daerah terpilih merupakan rangkaian tahapan paling ujung dari pelaksanaan pilkada. Karena itu kalau sudah ditetapkan pemenangnya dan tidak ada sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK), maka adalah kewajiban pemerintah untuk melakukan pelantikan. Kecuali ada pasal dari undang-undang yang menyatakan tidak boleh dilantik.

“Apalagi ini ’kan MA juga sebelumnya menyatakan mereka berhak menjadi pasangan calon. Saya rasa keputusan MA tersebut sudah menggambarkan bahwa akibat Amran berstatus sebagai terpidana, tak bisa lantas mengakibatkan hak JR menjadi hilang. Apalagi bukan JR pelaku pidananya. Karena itu hukum pidana mengalah dulu terhadap tahapan pilkada. Tapi bukan berarti status terpidana Amran menjadi hilang,” ujarnya.

Kalau pemerintah tetap bersikeras tak akan melantik JR-Amran, menurut Hinca, pemerintah telah melakukan kesalahan. Sebab pemenang harus menerima trofi. Bahwa kemudian Amran berstatus terpidana, tetap dapat dieksekusi.

“Memang kalau dipikir-pikir lucu, terpidana kok dilantik. Tapi itulah hukum kita. Nah, sekarang harus dipilah mana hukum pemilu dan mana hukum pidana. Jadi dia (Amran, Red) bisa dipinjam sebentar. Selesai dilantik, bisa dicari penggantinya. Dalam hal ini karena Demokrat yang mengusung, maka Demokrat yang akan mencari penggantinya (Amran,red),” ujar Hinca. (gir)

“Tidak benar kalau Mendagri mengatakan tak boleh melantik. Justru itu kewajiban, karena rezim hukum pidana tak bisa digabung dengan rezim pemilu yang notabene adalah administrasi. Intinya, kalau sudah juara dalam pilkada, ya harus diserahkan trofinya. Enggak ada alasan menahan-nahan,” ujar Hinca.

Menurut Hinca, proses pelantikan kepala daerah terpilih merupakan rangkaian tahapan paling ujung dari pelaksanaan pilkada. Karena itu kalau sudah ditetapkan pemenangnya dan tidak ada sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi (MK), maka adalah kewajiban pemerintah untuk melakukan pelantikan. Kecuali ada pasal dari undang-undang yang menyatakan tidak boleh dilantik.

“Apalagi ini ’kan MA juga sebelumnya menyatakan mereka berhak menjadi pasangan calon. Saya rasa keputusan MA tersebut sudah menggambarkan bahwa akibat Amran berstatus sebagai terpidana, tak bisa lantas mengakibatkan hak JR menjadi hilang. Apalagi bukan JR pelaku pidananya. Karena itu hukum pidana mengalah dulu terhadap tahapan pilkada. Tapi bukan berarti status terpidana Amran menjadi hilang,” ujarnya.

Kalau pemerintah tetap bersikeras tak akan melantik JR-Amran, menurut Hinca, pemerintah telah melakukan kesalahan. Sebab pemenang harus menerima trofi. Bahwa kemudian Amran berstatus terpidana, tetap dapat dieksekusi.

“Memang kalau dipikir-pikir lucu, terpidana kok dilantik. Tapi itulah hukum kita. Nah, sekarang harus dipilah mana hukum pemilu dan mana hukum pidana. Jadi dia (Amran, Red) bisa dipinjam sebentar. Selesai dilantik, bisa dicari penggantinya. Dalam hal ini karena Demokrat yang mengusung, maka Demokrat yang akan mencari penggantinya (Amran,red),” ujar Hinca. (gir)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/