26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Saksi Bisu Pembantaian

Foto: Sopian/Sumut Pos
TUGU: Tugu 13 Desember 1945 berdiri megah di Jalan Pahlawan Kota Tebingtinggi tempatnya di kompleks Lapangan Merdeka Kota Tebingtinggi.

SUMUTPOS.CO – Sejarah pengorbanan demi merebut kemerdekaan Indonesia juga pernah terjadi Tebingtinggi Sumatera Utara. Awalnya dimulai dengan jatuhnya Jepang oleh bom Sekutu di Nagasaki dan Hirosima pada awal Agustus 1945.

Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia menyatakan menyerah pada Sekutu. Kekalahan Jepang atas Sekutu ini menjadi kesempatan bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dua peristiwa besar ini juga ikut memunculkan semangat patriotisme rakyat Tebingtinggi. Berita kekalahan Jepang yang secara resmi disampaikan Fukubusuncho (setingkat Bupati/ Walikota) pada tanggal 22 Agustus 1945 dan berita proklamasi kemerdekaan RI yang sampai di Tebingtinggi pada tanggal 16 September 1945 menjadi semangat munculnya kesatuan-kesatuan pemuda di wilayah kota Tebingtinggi dan daerah-daerah di sekitarnya.

Pasca tersebarnya kedua berita besar tersebut, muncul juga isu bahwa Belanda akan mencoba menjajah kembali dengan membonceng tentara Sekutu. Menanggapi isu tersebut, seluruh rakyat Tebingtinggi ikut memperlengkapi diri menghadapi serangan Sekutu dengan melucuti senjata tentara Jepang yang sedang menunggu kepulangan ke negaranya. Sedang tentara Jepang sebagai pihak yang kalah perang, diwajibkan menyerahkan senjata mereka kepada Sekutu.

Keadaan ini kemudian menimbulkan ketegangan antara tentara Jepang dan rakyat Indonesia di Tebingtinggi dalam merebut senjata. Menyikapi hal ini, Komando Tentara Jepang Mayjend. S. Sawamura mengadakan perundingan dengan pemerintah Tebingtinggi. Namun karena perbedaan kepentingan, perundingan yang terjadi tanggal 3 November 1945 di markas tentara Jepang di Kebun Bahilang tersebut tidak memberikan hasil sepakat.

Menyusul semakin meningkatnya insiden perebutan senjata, pada tanggal 12 Desember 1945 pihak Jepang kembali mengundang pimpinan pemerintahan Tebingtinggi dalam perundingan. Namun, pemuda yang curiga dengan kegagalan perundingan tersebut segera melakukan persiapan perang menghadapi tentara Jepang dengan memblokir seluruh akses jalan Kota Tebingtinggi.

Namun hingga pagi hari 13 Desember 1945, tak terlihat gerakan mencurigakan dari tentara Jepang, sehingga rakyat membuka seluruh blokade jalan dan para pemuda serta laskar meninggalkan pos-pos jaga mereka. Dan setelah suluruh blokade dibuka, pada pukul 14.30 hari itu, tentara Jepang segera mengepung Kota Tebingtinggi.

Dilengkapi sejumlah tank, tentara Jepang masuk dan menyusuri jalan-jalan Kota Tebingtinggi. Setiap warga yang dijumpai hari itu dibantai.

Kini, sejarah tersebut diabadikan di Tugu 13 Desember 1945 yang kini menjadi simbol Kota Tebingtinggi. Pendirian tugu tersebut berasal dari pemikiran seorang wartawan bernama Maruto Poniran.

Maruto kemudian menyampaikannnya kepada seorang perwira Distrik Militer-9 TI 2 bernama Kapten TM Sinulingga. Gagasan itu mendapat sambutan baik dan keduanya pun bekerjasama mewujudkan gagasan itu.

“Tugu 13 Desember 1945 yang berdiri anggun di sudut Lapangan Merdeka menjadi monumen kebanggaan Kota Tebingtinggi,” terang Sejarawan Muda Kota Tebingtinggi, Abdul Khalil MAP.

Ketika tugu itu masih dalam ide, para penggagasnya bermimpi, bangunan itu kelak bisa berusia hingga ratusan tahun. Tugu itu, akan menjadi saksi bisu bagi dinamika kehidupan Kota Tebingtinggi lintas generasi. Menjadi tonggak sejarah akan tekad generasi terdahulu dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (ian/bbs/yaa)

 

Foto: Sopian/Sumut Pos
TUGU: Tugu 13 Desember 1945 berdiri megah di Jalan Pahlawan Kota Tebingtinggi tempatnya di kompleks Lapangan Merdeka Kota Tebingtinggi.

SUMUTPOS.CO – Sejarah pengorbanan demi merebut kemerdekaan Indonesia juga pernah terjadi Tebingtinggi Sumatera Utara. Awalnya dimulai dengan jatuhnya Jepang oleh bom Sekutu di Nagasaki dan Hirosima pada awal Agustus 1945.

Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia menyatakan menyerah pada Sekutu. Kekalahan Jepang atas Sekutu ini menjadi kesempatan bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dua peristiwa besar ini juga ikut memunculkan semangat patriotisme rakyat Tebingtinggi. Berita kekalahan Jepang yang secara resmi disampaikan Fukubusuncho (setingkat Bupati/ Walikota) pada tanggal 22 Agustus 1945 dan berita proklamasi kemerdekaan RI yang sampai di Tebingtinggi pada tanggal 16 September 1945 menjadi semangat munculnya kesatuan-kesatuan pemuda di wilayah kota Tebingtinggi dan daerah-daerah di sekitarnya.

Pasca tersebarnya kedua berita besar tersebut, muncul juga isu bahwa Belanda akan mencoba menjajah kembali dengan membonceng tentara Sekutu. Menanggapi isu tersebut, seluruh rakyat Tebingtinggi ikut memperlengkapi diri menghadapi serangan Sekutu dengan melucuti senjata tentara Jepang yang sedang menunggu kepulangan ke negaranya. Sedang tentara Jepang sebagai pihak yang kalah perang, diwajibkan menyerahkan senjata mereka kepada Sekutu.

Keadaan ini kemudian menimbulkan ketegangan antara tentara Jepang dan rakyat Indonesia di Tebingtinggi dalam merebut senjata. Menyikapi hal ini, Komando Tentara Jepang Mayjend. S. Sawamura mengadakan perundingan dengan pemerintah Tebingtinggi. Namun karena perbedaan kepentingan, perundingan yang terjadi tanggal 3 November 1945 di markas tentara Jepang di Kebun Bahilang tersebut tidak memberikan hasil sepakat.

Menyusul semakin meningkatnya insiden perebutan senjata, pada tanggal 12 Desember 1945 pihak Jepang kembali mengundang pimpinan pemerintahan Tebingtinggi dalam perundingan. Namun, pemuda yang curiga dengan kegagalan perundingan tersebut segera melakukan persiapan perang menghadapi tentara Jepang dengan memblokir seluruh akses jalan Kota Tebingtinggi.

Namun hingga pagi hari 13 Desember 1945, tak terlihat gerakan mencurigakan dari tentara Jepang, sehingga rakyat membuka seluruh blokade jalan dan para pemuda serta laskar meninggalkan pos-pos jaga mereka. Dan setelah suluruh blokade dibuka, pada pukul 14.30 hari itu, tentara Jepang segera mengepung Kota Tebingtinggi.

Dilengkapi sejumlah tank, tentara Jepang masuk dan menyusuri jalan-jalan Kota Tebingtinggi. Setiap warga yang dijumpai hari itu dibantai.

Kini, sejarah tersebut diabadikan di Tugu 13 Desember 1945 yang kini menjadi simbol Kota Tebingtinggi. Pendirian tugu tersebut berasal dari pemikiran seorang wartawan bernama Maruto Poniran.

Maruto kemudian menyampaikannnya kepada seorang perwira Distrik Militer-9 TI 2 bernama Kapten TM Sinulingga. Gagasan itu mendapat sambutan baik dan keduanya pun bekerjasama mewujudkan gagasan itu.

“Tugu 13 Desember 1945 yang berdiri anggun di sudut Lapangan Merdeka menjadi monumen kebanggaan Kota Tebingtinggi,” terang Sejarawan Muda Kota Tebingtinggi, Abdul Khalil MAP.

Ketika tugu itu masih dalam ide, para penggagasnya bermimpi, bangunan itu kelak bisa berusia hingga ratusan tahun. Tugu itu, akan menjadi saksi bisu bagi dinamika kehidupan Kota Tebingtinggi lintas generasi. Menjadi tonggak sejarah akan tekad generasi terdahulu dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (ian/bbs/yaa)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/