Puluhan tahun nyaris sendirian menghidupi dapur keluarga, Tibaria Zega hanya mampu berserah diri sepenuhnya pada Tuhan. Tapi sakit katarak yang dideritanya sejak dua tahun lalu, membuatnya dilanda sejumlah ketakutan. Takut digigit ular, takut digigit lipan, dan takut jatuh ke jurang saat menderes karet di kebun berlembah.
———————————
Dame Ambarita, Batangtoru
‐———————————
“Sejak menikah, saya diboyong suami dari Nias ke Batangtoru. Untuk penghidupan, saya dan suami mangguris (menderes karet) di kebun milik orang,” tutur Tibaria Zega (56), di sela-sela operasi katarak gratis yang digelar PT Agincourt Resources, di RS Bhayangkara Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Rabu (14/9/2022).
Namun sejak 22 tahun lalu, bisa dikatakan ibu 8 anak ini nyaris sendirian menghidupi keluarga. Pasalnya, sang suami, Bedali Laoli (63), makin jarang menderes karet karena sakit tua. Jika pun sekali-sekali pergi menderes, hasilnya dipakai sendiri untuk beli rokok dan minum kopi ke lapo (warkop). Biaya dapur rumah ditanggung sendirian oleh Tibaria, yang kerap dipanggil Mak Ester ini.
“Kerja Senin sampai Sabtu. Mulai jam 6 pagi sampai jam 5 sore. Kadang sampai jam 5.30 sore, tergantung cuaca. Untuk bekal, saya bawa nasi dari rumah. Kalau tak kerja, ya tak makan,” kata warga W4 Kampung Baru, Kecamatan Batangtoru ini dengan mata berkaca-kaca.
Kadang dibantu beberapa anaknya sepulang sekolah, per hari nenek 3 cucu ini bisa mengumpulkan getah karet 4-5 kg dari 100 pohon karet. Memperoleh hasil penjualan getah sebesar Rp35 ribu-40 ribu.
“Tapi dari jumlah itu, 1/3 adalah jatah pemilik kebun. Jadi saya hanya dapat uang mulai Rp25 ribu-30 ribu per hari. Uang itu dibayar per minggu,” katanya.
Dari jumlah itu, dia mesti menyisihkan uang untuk ongkos angkutan dua anaknya ke sekolah menengah atas, sebesar Rp12 ribu per hari. Jajan Rp1.000 per hari per orang untuk 3 anaknya (satu masih SMP). Total Rp15 ribu per hari untuk kebutuhan anaknya ke sekolah. Sisa Rp10 ribu-15 ribu untuk kebutuhan dapur keluarga. Tak cukup untuk ditabung.
“Sebenarnya, kondisi kami serba kekurangan. Kalau diingat-ingat, kadang pengen nangis. Suami… namanya laki-laki, ya cemmana ya. Dia memang tidak meminta uang. Tapi juga tidak memberi. Makan, ya tetap di rumah,” tuturnya dan mulai terisak.
Sambil merogoh tasnya mencari tisu untuk melap airmatanya, Tibaria melanjutkan, dua anaknya yang paling besar sudah menikah. Tiga orang lagi merantau dan sesekali mengirim uang membantu uang sekolah ketiga adik mereka.
“Puji Tuhan.. anak-anak saya baik-baik. Juara di sekolah. Rajin ibadah. Tidak melawan orangtua. Mau membantu pekerjaan rumah. Juga sepulang sekolah, mau membantu menderes karet ke kebun. Itulah penghiburan di tengah-tengah semua rasa sakit yang saya rasakan,” ucapnya dengan nada pelan.
Dua tahun lalu, pandangannya mulai rabun akibat katarak, khususnya di mata kirinya. “Mungkin akibat kena debu, asap, air getah karet, dan serpihan kayu karet yang masuk mata saat mengguris (menderes) pohon karet,” katanya menduga-duga.
Pandangan yang berbayang bahkan terasa seperti memandang sarang laba-laba, membuatnya beberapa kali jatuh ke lubang di lahan kebun karet yang berbukit-bukit. “Takutnya, kalau pandangan makin kabur, bisa-bisa jatuh ke jurang saat menderes karet, dan tak ada yang tau,” ungkapnya.
Selama matanya kena katarak, ia ingin sekali operasi. Tapi biaya menjadi kendala. Beli kaca mata pun tak cukup uang. Pakai air rendaman daun katarak, pandangannya malah makin kabur. Alhasil selama dua tahun terakhir, ia hanya bisa memaksakan diri terus menderes, meski ‘dunia terasa berkabut’.
“Pagi saat berangkat kerja, kadang saya bawa tongkat. Pertama, untuk memukul-mukul jalan menjaga kalau-kalau ada ular. Juga menghalau kalau-kalau ada lipan,” ungkapnya.
Untungnya, selama puluhan tahun menderes karet di tempat yang sama, ia relatif sudah hafal denah kebun. Ia tetap bisa bekerja, meski beberapa kali jatuh ke lubang sedalam 70 cm.
“Kalau mau jujur, sebenarnya sakit kali kurasa kehidupanku ini. Tapi aku mesti kuat, agar anakku tetap bisa sekolah,” katanya.
Malam-malam, ia kerap tidak bisa tidur karena banyak pikiran. “Kalau suntuk, saya pilih marnapuran saja,” katanya seraya membuka maskernya untuk menunjukkan warna merah bekas makan sirih di mulutnya.
Karena itu, ia sangat bersyukur, rahun ini Tambang Emas Martabe kembali menggelar operasi katarak gratis untuk masyarakat. Informasi awal diketahui anaknya dari media sosial. “Begitu tau ada operasi gratis, saya langsung mau. Karena yang butuh ‘kan saya. Didampingi anak, kami langsung daftar ke RS Bhayangkara Batangtoru ini,” katanya berseri-seri.
Anaknya juga semangat mendampingi ibunya ikut operasi. Pasalnya, sudah berbulan-bulan mereka semua sedih melihat ibunya kesulitan bekerja karena rabun.
Ditanya apakah ada rasa khawatir hendak menjalani operasi? Tibaria menggeleng. “Yang butuh melihat ‘kan saya? Kalau saya buta, saya tidak bekerja. Trus, siapa yang akan menolong menyekolahkan anak saya?” sebutnya.
Ia menyebut sudah lama tidak lagi mengharap suami membantu perekonomian keluarga. “Asalkan dia ada kegiatan dan jangan di rumah aja, sudahlah itu. Tak bisa memberi.. ya paling tidak jangan meminta,” tuturnya pelan.
Namun mendengar bahwa seminggu setelah dioperasi, pasien diminta istirahat dulu di rumah, jangan kr mana-mana, mata jangan kena air, dan tetap memakai kacamata yamg disediakan, Tibaria mengaku agak bingung juga.
“Sawah tidak ada. Tabungan juga tidak ada. Kami makan apa ya? Semoga ada tetangga yang mau meminjam uang untuk makan seminggu, selama saya tidak bekerja,” harapnya.
Usai dioperasi, Tibaria pulang ke rumahnya yang juga di Batangtoru. Tim dokter dari RS Khusus Mata Mencirim Tujuh Tujuh memang mengizinkan pasien pulang. Tapi diminta hadir lagi keesokan harinya ke RS, untuk membuka perban mata dan meneteskan obat mata.
“Harapan setelah sembuh dari katarak, ya agar saya bisa kembali melihat tumbuh kembang anak, mengawasi sekolah dan pergaulan anak. Dan agar pekerjaan saya menderes karet bisa lancar kembali,” ujarnya.
Ia berharap mampu mendidik anaknya sesuai kehendak Tuhan, menjadi baik dan berguna bagi keluarga dan masyarakat. “Saya percaya Tuhan yang mencukupi. Harapan saya sederhana saja. Saya bisa tetap bekerja dan anak-anak mesti lulus sekolah. Dan kalau bisa… diterima bekerja di Tambang Emas Martabe,” doanya penuh harap. (Mea)