30 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Orangutan Tapanuli Terancam Punah

Bayi orangutan Tapanuli diberi susu oleh salah satu dokter hewan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Keberadaan Orangutan Tapanuli, terancam punah. Sebab, ekosistem spesies kera yang berjumlah kurang dari 800 ekor di Kecamatan Batangtoru ini akan berubah fungsi menjadi lahan pertambangan.

“Orangutan dengan nama latinnya, Pongo Tapanuliensis saat ini berekosistem di Batangtoru yang meliputi hutan dataran tinggi di Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara, Sumatera Utara,” ujar Spesialis perlindungan landscape Batang Toru dari Yayasan Ekosistem Lestari, Graham Usher di Medan, Kamis (15/2) petang.

Namun, habitat orangutan ini bisa terancam dari berbagai faktor. Salah satu faktor alam tidak bersahabat adalah habitat yang sudah menjadi lokasi pertambangan.

Faktor ini sangat mengkhawatirkan bagi perkembangbiakan orangutan tersebut.

“Ada ancaman dari industri. Kalau yang wilayah tambang emas itu jelas sudah beberapa hektar yang tadinya habitat orangutan sudah hilang, dan malah ada rencana ekspansi. Jadi itu masih mengancam Orangutan Tapanuli,” ungkap Graham Usher.

Menurut pria asal Britania Raya ini, ancaman tersebut bukan hanya datang dari pertambangan. Tapi juga dari pemerintah sendiri yang melakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Lembah Batang Toru.

Menurut Graham Usher, sebelum memulai proyek harus mengkaji dampak lingkungan yang sangat membahayakan populasi orangutan. Sedangkan pemerintah berkewajiban melindungi Orangutan Tapanuli.

“Ada proyek PLTA di Lembah Batang Toru yang bisa memisahkan antara populasi orangutan yang di blok barat dengan yang ada di Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Kalau itu putus karena adanya pembangunan, berarti populasi yang di cagar alam untuk jangka panjang tidak akan bisa eksis, karena akan ada kerusakan turunan genetika. Itu salah satunya yang dikhawatirkan,” jelas Graham.

Selain dampak dari pembangunan industri di Batang Toru, ancaman juga berasal dari perambahan lahan yang dilakukan manusia. Itu bisa membuat populasi Orangutan Tapanuli semakin sedikit.

“Selama hutan masih terus dijaga dan utuh dia akan bisa hidup. Ancaman saat ini ada macam-macam. Ada pembukaan lahan oleh pendatang baru dan mulai mengikis wilayah habitat orangutan,” tutur pria yang telah 40 tahun bergelut di kegiatan konservasi alam.

Diketahui, saat ini kawasan ekosistem Batang Toru yang memiliki luas kurang lebih 150 ribu hektar itu terdiri dari tipe hutan yang berbeda-beda. Bahkan, 90 persen dari sisa kawasan yang ada merupakan dataran tinggi atau pegunungan.

“Berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya juga cukup banyak. Primadonanya adalah Orangutan Tapanuli yang memang hanya ada di kawasan hutan Batang Toru,” tandas Graham.(gus/ala)

 

Bayi orangutan Tapanuli diberi susu oleh salah satu dokter hewan, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Keberadaan Orangutan Tapanuli, terancam punah. Sebab, ekosistem spesies kera yang berjumlah kurang dari 800 ekor di Kecamatan Batangtoru ini akan berubah fungsi menjadi lahan pertambangan.

“Orangutan dengan nama latinnya, Pongo Tapanuliensis saat ini berekosistem di Batangtoru yang meliputi hutan dataran tinggi di Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara, Sumatera Utara,” ujar Spesialis perlindungan landscape Batang Toru dari Yayasan Ekosistem Lestari, Graham Usher di Medan, Kamis (15/2) petang.

Namun, habitat orangutan ini bisa terancam dari berbagai faktor. Salah satu faktor alam tidak bersahabat adalah habitat yang sudah menjadi lokasi pertambangan.

Faktor ini sangat mengkhawatirkan bagi perkembangbiakan orangutan tersebut.

“Ada ancaman dari industri. Kalau yang wilayah tambang emas itu jelas sudah beberapa hektar yang tadinya habitat orangutan sudah hilang, dan malah ada rencana ekspansi. Jadi itu masih mengancam Orangutan Tapanuli,” ungkap Graham Usher.

Menurut pria asal Britania Raya ini, ancaman tersebut bukan hanya datang dari pertambangan. Tapi juga dari pemerintah sendiri yang melakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Lembah Batang Toru.

Menurut Graham Usher, sebelum memulai proyek harus mengkaji dampak lingkungan yang sangat membahayakan populasi orangutan. Sedangkan pemerintah berkewajiban melindungi Orangutan Tapanuli.

“Ada proyek PLTA di Lembah Batang Toru yang bisa memisahkan antara populasi orangutan yang di blok barat dengan yang ada di Cagar Alam Dolok Sibual-buali. Kalau itu putus karena adanya pembangunan, berarti populasi yang di cagar alam untuk jangka panjang tidak akan bisa eksis, karena akan ada kerusakan turunan genetika. Itu salah satunya yang dikhawatirkan,” jelas Graham.

Selain dampak dari pembangunan industri di Batang Toru, ancaman juga berasal dari perambahan lahan yang dilakukan manusia. Itu bisa membuat populasi Orangutan Tapanuli semakin sedikit.

“Selama hutan masih terus dijaga dan utuh dia akan bisa hidup. Ancaman saat ini ada macam-macam. Ada pembukaan lahan oleh pendatang baru dan mulai mengikis wilayah habitat orangutan,” tutur pria yang telah 40 tahun bergelut di kegiatan konservasi alam.

Diketahui, saat ini kawasan ekosistem Batang Toru yang memiliki luas kurang lebih 150 ribu hektar itu terdiri dari tipe hutan yang berbeda-beda. Bahkan, 90 persen dari sisa kawasan yang ada merupakan dataran tinggi atau pegunungan.

“Berbagai keanekaragaman hayati di dalamnya juga cukup banyak. Primadonanya adalah Orangutan Tapanuli yang memang hanya ada di kawasan hutan Batang Toru,” tandas Graham.(gus/ala)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/