30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Jadi Catatan Kejagung

Gito menambahkan, tekanan tersebut tak ayal mengakibatkan Pelaksana Tugas Direktur Utama RSUD Djoelham, dr Sugianto hingga para staff di bawahnya ikut lemas. Sebab, Kajari Victor dengan nada tegas mempertanyakan dokumen yang selip, diduga telah lenyap.

Gito melanjutkan, Kejari termasuk aparat penegak hukum yang minim melakukan penyelidikan maupun penyidikan perkara korupsi di Kota Rambutan. “Intinya publik perlu bukti kerja. Bukan action. Moment kemarin yang sempat heboh, diharap tidak sekedar gertak atau pencitraan untuk tujuan tertentu,” ujar.

Gito merasa heran dengan lambatnya penanganan kasus yang sedang dilidik oleh Kejari Binjai. Sebab, Kejari Binjai berdalih, lambannya kasus dugaan korupsi alkes RSUD Djoelham ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan itu karena menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Sumut yang juga telat menyebutkan hasilnya.

“Justru hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Apa dan bagaimana proses hukum yang dijalankan Kajari semasa di bawah kepemimpinan Wilmar Ambarita. Tentang batas waktu audit itu pun tentu ada toleran yang wajar,” ujarnya.

Terlebih, kata Gito, dasar kasus itu dilidik oleh penyidik adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2013 atas realisasi Tahun Anggaran 2012. “Nah, semua ini kita kembalikan saja kepada koridor hukum dan Standart Operasional Prosedur (SOP) penyidikan,” ujarnya.

Gito mencontohkan, BCW mengendus adanya dugaan korupsi pada swakelola yang diduga fiktif pengerjaannya. Temuan BCW menyatakan, kerugian negara mencapai Rp4,2 miliar. Oleh BCW, sambung Gito, temuan tersebut dilaporkan kepada Kejari Binjai pada awal 2011.

Gito menambahkan, temuan BCW yang menyatakan adanya penyimpanan juga diamini oleh BPKP Sumut. Kata Gito, audit BPKP Sumut dalam kasus dugaan pengerjaan fiktif proyek swakelola Binjai tahun anggaran 2010 itu juga menyebutkan adanya kerugian negara. Yakni senilai Rp3,7 miliar.

Sayang, temuan tersebut BCW yang dikuatkan dengan hasil audit BPKP Sumut tersebut, tak ditindaklanjuti oleh penyidik Kejaksaan.

Sekalipun itu (temuan) bukan BPK, dalam proses hukum, hasil audit yang diajukan penyidik Kejari Binjai terlalu lama amat. Ini menunjukkan proses hukumnya terindikasi tebang pilih dan putus mata rantai. Kembali ke soal alkes, semua ini dikembalikan kepada hati nurani oknum penyidik saja. Sebab, penyidik sangat menentukan arah dan capaian untuk sebuah perkara. Jadi mari kita tunggu dan lihat,” tegas Gito. (ted/ila)

Gito menambahkan, tekanan tersebut tak ayal mengakibatkan Pelaksana Tugas Direktur Utama RSUD Djoelham, dr Sugianto hingga para staff di bawahnya ikut lemas. Sebab, Kajari Victor dengan nada tegas mempertanyakan dokumen yang selip, diduga telah lenyap.

Gito melanjutkan, Kejari termasuk aparat penegak hukum yang minim melakukan penyelidikan maupun penyidikan perkara korupsi di Kota Rambutan. “Intinya publik perlu bukti kerja. Bukan action. Moment kemarin yang sempat heboh, diharap tidak sekedar gertak atau pencitraan untuk tujuan tertentu,” ujar.

Gito merasa heran dengan lambatnya penanganan kasus yang sedang dilidik oleh Kejari Binjai. Sebab, Kejari Binjai berdalih, lambannya kasus dugaan korupsi alkes RSUD Djoelham ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan itu karena menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Sumut yang juga telat menyebutkan hasilnya.

“Justru hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Apa dan bagaimana proses hukum yang dijalankan Kajari semasa di bawah kepemimpinan Wilmar Ambarita. Tentang batas waktu audit itu pun tentu ada toleran yang wajar,” ujarnya.

Terlebih, kata Gito, dasar kasus itu dilidik oleh penyidik adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan Tahun 2013 atas realisasi Tahun Anggaran 2012. “Nah, semua ini kita kembalikan saja kepada koridor hukum dan Standart Operasional Prosedur (SOP) penyidikan,” ujarnya.

Gito mencontohkan, BCW mengendus adanya dugaan korupsi pada swakelola yang diduga fiktif pengerjaannya. Temuan BCW menyatakan, kerugian negara mencapai Rp4,2 miliar. Oleh BCW, sambung Gito, temuan tersebut dilaporkan kepada Kejari Binjai pada awal 2011.

Gito menambahkan, temuan BCW yang menyatakan adanya penyimpanan juga diamini oleh BPKP Sumut. Kata Gito, audit BPKP Sumut dalam kasus dugaan pengerjaan fiktif proyek swakelola Binjai tahun anggaran 2010 itu juga menyebutkan adanya kerugian negara. Yakni senilai Rp3,7 miliar.

Sayang, temuan tersebut BCW yang dikuatkan dengan hasil audit BPKP Sumut tersebut, tak ditindaklanjuti oleh penyidik Kejaksaan.

Sekalipun itu (temuan) bukan BPK, dalam proses hukum, hasil audit yang diajukan penyidik Kejari Binjai terlalu lama amat. Ini menunjukkan proses hukumnya terindikasi tebang pilih dan putus mata rantai. Kembali ke soal alkes, semua ini dikembalikan kepada hati nurani oknum penyidik saja. Sebab, penyidik sangat menentukan arah dan capaian untuk sebuah perkara. Jadi mari kita tunggu dan lihat,” tegas Gito. (ted/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/