26.7 C
Medan
Tuesday, May 14, 2024

WALHI Sumut: Kejahatan Hutan Berlindung dalam Perhutanan Sosial

MEDAN, SUMUTPOS.CO – WALHI Sumatera Utara menilai, Program Perhutanan Sosial yang digadang Pemerintahan Jokowi sejak periode pertama pemerintahannya, masih ditemukan berbagai persoalan di lapangan. Diantaranya, tumpang tindih penguasaan hutan yang menimbulkan konflik antara pemegang izin perhutanan sosial (KTH–kelompok tani hutan) dengan oknum pengusaha/pemodal.

Manager Advokasi WALHI Sumut, Khairul Bukhari menjelaskan, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan. (P9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial).

“Di Sumatera Utara, izin-izin perhutanan sosial tersebut telah terbit, namun sampai saat ini masih ditemukan berbagai persoalan di lapangan,” kata Khairul Bukhari dalam temu pers yang digelar di Setia Kupie, Jalan Amaliun, Rabu (18/5/2022).

Disebutnya, dalam 2 tahun terakhir, WALHI Sumatera Utara menemukan ada 10 kasus konflik perhutanan sosial pasca izin di 6 kabupaten di Sumatera Utara yakni Langkat, Labura, Karo, Taput, Madina, Sergai, dengan luas areal mencapai ± 7.322 Ha. Corak konflik tenurial yang terjadi yaitu, pertama; tumpang tindih penguasaan hutan terjadi antara pemegang izin perhutanan sosial (KTH – kelompok tani hutan) dengan oknum pengusaha/pemodal.

“Akibatnya, KTH yang secara sah telah mendapatkan izin kelola hutan dan memanfaatkan hutan secara lestari harus berhadapan dengan praktik pengelolaan hutan yang merusak hutan; sawit, pertambakan, dan pengambilan kayu untuk kebutuhan industri arang) oleh oknum pengusaha/pemodal.
Kedua; kebijakan perhutanan sosial dimanfaatkan oleh oknum pengusaha/pemodal tertentu untuk mendapatkan akses kelola hutan secara sah dengan menggunakan identitas
masyarakat lokal sebagai pengurus dan anggota kelompok tani hutan,” beber aktivis yang akrab disapa Ari ini.

Menurutnya, petani sering dijadikan objek oleh oknum pemodal untuk menguasai sumber daya hutan. Lemahnya verifikasi teknis dalam proses pengusulan izin Perhutanan Sosial merupakan penyebabnya. “Di lapangan, proses tersebut dilakukan tanpa diketahui oleh petani yang namanya didaftarkan sebagai engusul izin Perhutanan Sosial. Akibatnya, setelah terbitnya izin, konflik antara masyarakat dengan pengusaha/pemodal pun terjadi,” ungkapnya.

Konflik ini, lanjut Ari, berakibat pada berbagai intimidasi dan kriminalisasi yang dialami masyarakat. “Contohnya kasus kriminalisasi 2 orang pengurus kelompok tani nipah di Desa Kuala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat pada 2021 lalu,” ungkapnya.

Terkait persoalan ini, WALHI Sumatera Utara mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Sumatera Utara, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera, GAKKUM KLHK wilayah Sumatera, dan DPRD Provinsi Sumatera Utara untuk menginventarisasi dan mengevaluasi izin-izin aktivitas ekstraktif yang di dalam kawasan hutan di Sumatera Utara. Menelusuri luasan (30%) kawasan hutan di Sumatera Utara dan kesesuaiannya dengan daya dukung lingkungan hidup antar generasi.

WALHI Sumut juga meminta dibentuk tim multistakeholder dalam rangka pencegahan kerusakan, penyelesaian konflik tenurial dan penegakan hukum di kawasan hutan. “Melakukan pendampingan pasca terbit izin perhutanan sosial dan melakukan evaluasi – proyeksi izin perhutanan sosial,” pungkasnya. (adz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – WALHI Sumatera Utara menilai, Program Perhutanan Sosial yang digadang Pemerintahan Jokowi sejak periode pertama pemerintahannya, masih ditemukan berbagai persoalan di lapangan. Diantaranya, tumpang tindih penguasaan hutan yang menimbulkan konflik antara pemegang izin perhutanan sosial (KTH–kelompok tani hutan) dengan oknum pengusaha/pemodal.

Manager Advokasi WALHI Sumut, Khairul Bukhari menjelaskan, Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan. (P9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial).

“Di Sumatera Utara, izin-izin perhutanan sosial tersebut telah terbit, namun sampai saat ini masih ditemukan berbagai persoalan di lapangan,” kata Khairul Bukhari dalam temu pers yang digelar di Setia Kupie, Jalan Amaliun, Rabu (18/5/2022).

Disebutnya, dalam 2 tahun terakhir, WALHI Sumatera Utara menemukan ada 10 kasus konflik perhutanan sosial pasca izin di 6 kabupaten di Sumatera Utara yakni Langkat, Labura, Karo, Taput, Madina, Sergai, dengan luas areal mencapai ± 7.322 Ha. Corak konflik tenurial yang terjadi yaitu, pertama; tumpang tindih penguasaan hutan terjadi antara pemegang izin perhutanan sosial (KTH – kelompok tani hutan) dengan oknum pengusaha/pemodal.

“Akibatnya, KTH yang secara sah telah mendapatkan izin kelola hutan dan memanfaatkan hutan secara lestari harus berhadapan dengan praktik pengelolaan hutan yang merusak hutan; sawit, pertambakan, dan pengambilan kayu untuk kebutuhan industri arang) oleh oknum pengusaha/pemodal.
Kedua; kebijakan perhutanan sosial dimanfaatkan oleh oknum pengusaha/pemodal tertentu untuk mendapatkan akses kelola hutan secara sah dengan menggunakan identitas
masyarakat lokal sebagai pengurus dan anggota kelompok tani hutan,” beber aktivis yang akrab disapa Ari ini.

Menurutnya, petani sering dijadikan objek oleh oknum pemodal untuk menguasai sumber daya hutan. Lemahnya verifikasi teknis dalam proses pengusulan izin Perhutanan Sosial merupakan penyebabnya. “Di lapangan, proses tersebut dilakukan tanpa diketahui oleh petani yang namanya didaftarkan sebagai engusul izin Perhutanan Sosial. Akibatnya, setelah terbitnya izin, konflik antara masyarakat dengan pengusaha/pemodal pun terjadi,” ungkapnya.

Konflik ini, lanjut Ari, berakibat pada berbagai intimidasi dan kriminalisasi yang dialami masyarakat. “Contohnya kasus kriminalisasi 2 orang pengurus kelompok tani nipah di Desa Kuala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat pada 2021 lalu,” ungkapnya.

Terkait persoalan ini, WALHI Sumatera Utara mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur Sumatera Utara, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera, GAKKUM KLHK wilayah Sumatera, dan DPRD Provinsi Sumatera Utara untuk menginventarisasi dan mengevaluasi izin-izin aktivitas ekstraktif yang di dalam kawasan hutan di Sumatera Utara. Menelusuri luasan (30%) kawasan hutan di Sumatera Utara dan kesesuaiannya dengan daya dukung lingkungan hidup antar generasi.

WALHI Sumut juga meminta dibentuk tim multistakeholder dalam rangka pencegahan kerusakan, penyelesaian konflik tenurial dan penegakan hukum di kawasan hutan. “Melakukan pendampingan pasca terbit izin perhutanan sosial dan melakukan evaluasi – proyeksi izin perhutanan sosial,” pungkasnya. (adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/