25.7 C
Medan
Sunday, January 19, 2025

Wawancara Razman: Saya Ngurusi Orang Kasmaran

T: Ada alasan lain lagi?
J: Saya merasa Ibu Evy itu terlalu masuk hal-hal teknis penanganan perkara yang menjadi porsinya kuasa hukum. Misal terlalu mengarahkan saya, jangan begini, jangan begitu. Sementara, Pak Gubernur hanya apa kata Ibu Evy. Itu yang membuat saya gerah, yang membuat anggota tim saya gerah.

T: Anda menyebut kedua klien Anda itu tidak terbuka, bisa dijelaskan?
J: Pak Gatot dan Ibu Evy belum semua mau terbuka. Kalau seperti itu sikapnya, bagaimana saya bisa mendapatkan informasi detil tentang kasus ini. Bagaimana saya bisa mengambil langkah konkrit. Setiap saya tanya, bilang tak terlibat, tak terlibat. Tapai bagaimana mungkin tak terlibat kalau kejaksaan agung sudah mengambil langkah sejauh itu. KPK juga sudah punya rekaman. Saya tak mau menggadaikan integritas saya pada upaya pemberantasan korupsi. Yang saya butuhkan sebagai pengacara, harus jujur. Jujur kalau memang tak ambil, jujur kalau memang ambil, tapi harus dengan argumen, bukan sekadar kata-kata saya tak terlibat, saya tak terlibat. Ini yang membuat saya kewalahan. Sudah puluhan kasus saya tangani, ini yang sulit buat saya.

T: Tapi sebagai pengacara kan memang harus mengikuti kemauan klien?
J: Saya katakan mereka kurang terbuka. Saya harus bagaimana? Terakhir mulai mengarahkan saya, jangan bicara ke media, jangan begini, begini. Tidak bisa saya serta merta mengikuti kemauan klien, bahaya saya. Saya harus dengar keluhan-keluhan mereka, iya. Tapi kalau ngotot saya tak terlibat, saya tak terlibat, ya gak bisa begitu. Sebagai pengacara, saya harus punya kapasitas yang jelas, menjaga integritas yang jelas sebagai aparat penegak hukum.

T: Apa bedanya Ibu Evy dengan Pak Gatot dalam menghadapi kasus hukumnya ini?
J: Kalau Ibu Evy, beliau itu proaktif. Kalau Pak Gatot hanya menunggu. Pak Gatot menunggu bahasa Ibu Evy. Bisa kebayang nggak? Gubernur itu.

T: Ada alasan lain lagi?
J: Saya merasa Ibu Evy itu terlalu masuk hal-hal teknis penanganan perkara yang menjadi porsinya kuasa hukum. Misal terlalu mengarahkan saya, jangan begini, jangan begitu. Sementara, Pak Gubernur hanya apa kata Ibu Evy. Itu yang membuat saya gerah, yang membuat anggota tim saya gerah.

T: Anda menyebut kedua klien Anda itu tidak terbuka, bisa dijelaskan?
J: Pak Gatot dan Ibu Evy belum semua mau terbuka. Kalau seperti itu sikapnya, bagaimana saya bisa mendapatkan informasi detil tentang kasus ini. Bagaimana saya bisa mengambil langkah konkrit. Setiap saya tanya, bilang tak terlibat, tak terlibat. Tapai bagaimana mungkin tak terlibat kalau kejaksaan agung sudah mengambil langkah sejauh itu. KPK juga sudah punya rekaman. Saya tak mau menggadaikan integritas saya pada upaya pemberantasan korupsi. Yang saya butuhkan sebagai pengacara, harus jujur. Jujur kalau memang tak ambil, jujur kalau memang ambil, tapi harus dengan argumen, bukan sekadar kata-kata saya tak terlibat, saya tak terlibat. Ini yang membuat saya kewalahan. Sudah puluhan kasus saya tangani, ini yang sulit buat saya.

T: Tapi sebagai pengacara kan memang harus mengikuti kemauan klien?
J: Saya katakan mereka kurang terbuka. Saya harus bagaimana? Terakhir mulai mengarahkan saya, jangan bicara ke media, jangan begini, begini. Tidak bisa saya serta merta mengikuti kemauan klien, bahaya saya. Saya harus dengar keluhan-keluhan mereka, iya. Tapi kalau ngotot saya tak terlibat, saya tak terlibat, ya gak bisa begitu. Sebagai pengacara, saya harus punya kapasitas yang jelas, menjaga integritas yang jelas sebagai aparat penegak hukum.

T: Apa bedanya Ibu Evy dengan Pak Gatot dalam menghadapi kasus hukumnya ini?
J: Kalau Ibu Evy, beliau itu proaktif. Kalau Pak Gatot hanya menunggu. Pak Gatot menunggu bahasa Ibu Evy. Bisa kebayang nggak? Gubernur itu.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/