MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dua korban luncuran awan panas Gunung Sinabung, Cahaya Beru Tarigan (45) dan Cahaya Sembiring Meliala (75), yang kini masih menjalani perawatan intensif di ICU RSUP H Adam Malik, kondisinya sudah mulai stabil. Salah satu di antaranya sudah sadar, bisa berkomunikasi dan tidak lagi menggunakan ventilator atau alat bantu pernapasan.
Kasubag Humas RSUP H Adam Malik, Sairi mengatakan, untuk korban bernama Cahaya Beru Tarigan kedua kakinya sudah diamputasi karena terinfeksi cukup parah. Operasi amputasi dilakukan dari lutut ke bawah, selama kurang lebih empat jam (17.00-21.00 WIB) Senin kemarin.
“Setelah dilaksanakan operasi, pasien dirawat kembali secara intensif di ruang ICU. Namun, kondisinya stabil dan sudah sadar. Tidak lagi memakai ventilator, bahkan pasien juga sudah bisa berkomunikasi,” kata Sairi.
Meski begitu, sambungnya, perawatan tetap dilakukan dengan intensif oleh dokter bedah plastik. Mengenai persoalan makan dan minumnya masih melalui selang.
Sairi menambahkan, untuk kondisi satu korban lagi, Cahaya Sembiring Meliala, juga demikian. Kondisinya sudah stabil tetapi masih tetap menggunakan ventilator.
Sama halnya dengan Sairi, dinyatakan oleh Dokter Utama Abdi Tarigan SPBP, selaku Dokter Penanggung Jawab Pasien RSUP H Adam Malik. Meski begitu, korban masih butuh beberapa dukungan atau tahapan perawatan. “Saat ini yang sedang dilakukan adalah dukungan nutrisi yang sedang diusahakan, baik melalui infus maupun saluran makanan. Sebab, korban sangat membutuhkan nutrisi khusus yang banyak atau melebihi batas normalnya guna menunjang proses penyembuhan,” cetusnya.
Sementara, Psikolog Dr dr Elmeida Effendy MKed KJ SpKj (K) mengakui, korban awan panas tersebut butuh dukungan psikologis. Sebab, mereka mengalami peristiwa mengerikan dalam hidupnya. “Para korban mengalami reaksi stress akut, akibat peristiwa bencana mengerikan yang terjadi. Sangat bersyukur mereka masih bisa selamat,” kata Elmeida melalui sambungan ponselnya.
Dia menilai, ketika luka mereka telah sembuh kemungkinan secara fisik terlihat seperti dalam kondisi baik. Namun, dalam pikirannya mereka mengingat peristiwa itu yang nyaris merenggut nyawanya. Bahkan, mereka juga bisa mengalami mimpi-mimpi buruk dan mudah terkejut.”Mereka akan mudah kaget ketika mendengar suara sedikit saja, dan berpikir kejadian itu. Bila disinggung mengenai peristiwa itu mereka akan bereaksi lagi,” sebut Elmeida.
Jadi, lanjutnya, dukungan yang paling bisa diberikan dari sisi psikologis adalah bagaimana supaya membantu menenangkan. Selain itu, mendampinginya. “Bagaimana memberi ketenangan kepada mereka, mengajarkan hidup rileks atau seperti orang pada umumnya. Bahkan, kalau bisa selalu ada ketika mereka mengingat peristiwa tersebut. Atau menjadi tempat bercerita dan jangan sampai menyinggung kejadian itu, sebelum mereka mengingatnya kembali,” tuturnya.
Ia menambahkan, untuk tak mengingat memori para korban bisa juga dengan melakukan aktivitas positif lainnya. Sehingga, mereka dapat melupakan secara perlahan dengan adanya kesibukkan. (ris/gus/adz)