29 C
Medan
Saturday, February 22, 2025
spot_img

Anggaran Kampanye Deliserdang Rp6 Miliar

Selanjutnya biaya pengadaan alat peraga kampanye Rp3 miliar. Kampanye di media massa berupa iklan media cetak dan elektronik selama tiga hari Rp496 juta.

Menyikapi hal ini, pengamat anggaran Elfenda Ananda mengatakan memang menjadi dilema kalau dikaitkan dengan anggaran. Disatu sisi negara menganut sistem demokrasi lewat pilkada langsung yang membutuhkan biaya besar, namun  di sisi lain diharapkan dengan pilkada masyarakat dapat memutuskan pemimpinnya lewat memilih. “Namun, inilah proses demokrasi kita yang terjadi saat ini,” katanya kepada Sumut Pos, Kamis (25/1).

Fenomena satu paslon hanya melawan kotak kosong, menurut dia, patut disesalkan dan dikecewakan masyarakat terhadap kinerja partai politik. Sebab dari sisi pembiayaan harusnya bisa lebih efesien karena sosialisasi bisa ditekan lewat penjaringan parpol.

“Regulasi memang harus memberi jalan keluar seandainya semua partai ada di satu paslon. Tapi, parpol harus punya tanggung jawab dari sisi membangun demokrasi yang lebih kompetitif,” imbuhnya.

Mantan Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut ini menambahkan, kenyataan bahwa ada paslon melawan kotak kosong juga menunjukkan parpol itu pragmatis. Di samping itu parpol dinilai gagal melahirkan kadernya.

“Pragmatis hanya memikirkan kemenangan lewat incumbent. Sebaiknya rakyat mengawasi proses pelaksanaan pemilukada dengan melawan kotak kosong. Selain itu, mengambil sikap terhadap parpol-parpol yang telah gagal melahirkan kader. Kuncinya ada di masyarakat,” pungkasnya. (prn/btr/azw)

 

Selanjutnya biaya pengadaan alat peraga kampanye Rp3 miliar. Kampanye di media massa berupa iklan media cetak dan elektronik selama tiga hari Rp496 juta.

Menyikapi hal ini, pengamat anggaran Elfenda Ananda mengatakan memang menjadi dilema kalau dikaitkan dengan anggaran. Disatu sisi negara menganut sistem demokrasi lewat pilkada langsung yang membutuhkan biaya besar, namun  di sisi lain diharapkan dengan pilkada masyarakat dapat memutuskan pemimpinnya lewat memilih. “Namun, inilah proses demokrasi kita yang terjadi saat ini,” katanya kepada Sumut Pos, Kamis (25/1).

Fenomena satu paslon hanya melawan kotak kosong, menurut dia, patut disesalkan dan dikecewakan masyarakat terhadap kinerja partai politik. Sebab dari sisi pembiayaan harusnya bisa lebih efesien karena sosialisasi bisa ditekan lewat penjaringan parpol.

“Regulasi memang harus memberi jalan keluar seandainya semua partai ada di satu paslon. Tapi, parpol harus punya tanggung jawab dari sisi membangun demokrasi yang lebih kompetitif,” imbuhnya.

Mantan Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut ini menambahkan, kenyataan bahwa ada paslon melawan kotak kosong juga menunjukkan parpol itu pragmatis. Di samping itu parpol dinilai gagal melahirkan kadernya.

“Pragmatis hanya memikirkan kemenangan lewat incumbent. Sebaiknya rakyat mengawasi proses pelaksanaan pemilukada dengan melawan kotak kosong. Selain itu, mengambil sikap terhadap parpol-parpol yang telah gagal melahirkan kader. Kuncinya ada di masyarakat,” pungkasnya. (prn/btr/azw)

 

spot_img

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru

/