MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kaum pergerakan, khususnya mahasiswa, mengklarifikasi kebohongan sedikitnya tujuh “dosa” TPL melalui kunjungan ke pabrik berkapasitas 240 ribu ton per tahun dan HTI dalam tiga gelombang sejak akhir Mei lalu.
Ada tiga gelombang kunjungan yang diikuti lebih dari 50 orang. Gelombang pertama, 27 – 29 Mei, datang 30 orang atas nama pribadi-pribadi dari 8 perguruan tinggi negeri dan swasta, tetapi mereka dikenal sebagai aktivis gerakan mahasiswa Kristen dan Katolik. Gelombang kedua, 22 Juni, berkunjung 14 orang dengan bendera aliansi BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dari 8 kampus. Gelombang ketiga,14- 15 Juli, tiba 20 orang atas nama Frompibi (Front Mahasiswa Pemuda Pemudi Batak Indonesia).
Sebenarnya masih ada kunjungan lain, 22 Juni, tetapi mereka datang atas nama sivitas akademika USI (Universitas Simalungun). Jumlahnya mencapai sedikitnya 39 orang mahasiswa fakultas pertanian.
Pada kunjungan akhir Mei para aktivis berkesempatan menyaksikan proses produksi pulp (bubur kertas) di kompleks TPL (PT Toba Pulp Lestari,Tbk) di desa Sosorladang, kecamatan Parmaksian, kabupaten Tobasamosir. Prinsipnya ialah produksi bersih (cleaner production). Artinya, proses produksi mengadopsi teknologi ramah lingkungan baik dalam mengolah bahan baku kayu menjadi pulp di pabrik, maupun dalam mengolah limbah cair, gas dan padat di luar pabrik hingga memenuhi baku-mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Untuk proses produksi yang menghasilkan produksi bersih dan bermutu tinggi perusahaan memperoleh sertifikasi ISO 9000 dari SGS, sedangkan untuk manajemen lingkungan mendapatkan ISO 14000 dari SGS serta Proper Hijau dari Kemeneg Lingkungan Hidup.
Obyek kunjungan penting lainnya di kompleks pabrik ialah pembibitan ekaliptus (Eucalyptus sp). Dengan mengadopsi teknologi kloning (clone), pusat pembibitan ini mampu menghasilkan 2,1 juta bibit per bulan untuk ditanam di konsesi HTI, serta sekitar seribu bibit haminjon (kemenyan) per bulan untuk ditanam bersama masyarakat serta untuk didistribusikan secara gratis kepada para petani.
Di HTI sektor Aeknauli dekat Parapat dan juga di sektor Tele, Humbang Hasundutan, para aktivis –yang sering meneriakkan tema-tema ketidakadilan, antikorupsi dan perusakan lingkungan– itu menyaksikan sendiri pembangunan HTI dengan menerapkan filosofi lestari dan berkelanjutan (sustainable). Maknanya, pembangunan HTI tetap selaras dengan perlindungan sumber daya alam (SDA) hutan melalui pencadangan hutan konservasi berfungsi lindung dengan luasan yang cukup di dalam konsesi.
Wujudnya berbentuk greenbelt (sekat antarkompartemen HTI), sempadan sungai, dan kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN) untuk menjamin keberlangsungan hidup keanekagaraman hayati (flora dan fauna). Kongkretnya, dari luas konsesi 188.050 hektar perusahaan menyisakan kawasan lindung seluas 24,2 % (450.590 hektar) yakni lebih luas dari 10% yang dipersyaratkan.
Di HTI, para mahasiswa –sebagian menyelesaikan proses akhir studi– juga menyaksikan sendiri perlindungan vegetasi alam yang masuk kualifikasi tanaman unggulan seperti bagot atau bargot (enau) di Aeknauli serta haminjon di Tele sehingga hasilnya tetap dapat diambil oleh petani. Bahkan, perusahaan –dibawah supervisi Balai Penelitian Kehutanan Aeknauli– memprakarsai budidaya haminjon di konsesi dengan memakai bibit kloning untuk memperkaya (enrichment) tegakan yang ada di hutan konservasi, serta hasilnya kelak sepenuhnya dipersembahkan untuk kepentingan petani. Para mahasiswa –dan juga kaum jurnalis pada kesempatan terpisah– ikut langsung menanam.