MEDAN, SUMUTPOS.CO – Keputusan penyidik tidak menahan para tersangka kasus kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin (TRP), mengundang reaksi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi menilai, tidak ditahannya para tersangka, menimbulkan kesan Polda Sumut menggunakan standar ganda dalam menangani kasus ini.
Sebab, tersangka pemalsuan surat, ITE penipuan yang mengakibatkan orang luka, sakit jiwa atau tewas saja malah langsung ditahan. “Lalu, mengapa kekerasan sampai kehilangan nyawa tidak ditahan?,” ujar Edwin Partogi, Senin (28/3) siang.
Edwin mengatakan, dengan tidak ditahannya para tersangka telah mencederai kepercayaan masyarakat. Selain itu,dia juga mengungukapkan, akibat bebasnya para tersangka karena tidak ditahan, maka saksi dan korban terancam. Bahkan, saksi dan korban sebelumnya didatangi agar berbalik arah membela para pelaku.
“Saat ini korban atau saksi hidupnya dalam suasana teror. Selain itu, sudah ada upaya pendekatan agar para korban berbalik arah membela pelaku. Karena tidak ditahannya para pelaku, membuka ruang revictimisasi,” jelasnya.
Edwin juga mengatakan, sebelumnya Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja, telah menetapkan tersangka yakni HS, IS, TS, RG, JS, dan HG serta salah satunya, Dewa Perangin Angin, merupakan putra dari Bupati Langkat nonaktif, TRP.
Namun, Tatan menyampaikan sebaliknya, bahwa penyidik memutuskan untuk tidak menahan para tersangka. Alasannya, para pelaku penyiksaan terhadap anak kerangkeng hingga menewaskan korban jiwa, korban cacat, trauma dan stres ini dinilai kooperatif. “Pak Kabareskrim Agus Adrianto, lain kali bandar narkoba kalau kooperatif memenuhi panggilan tak usah ditahan,” sindirnya.
Untuk itu, Edwin Partogi meminta Kapolri dan Kompolnas segera melakukan evaluasi pada Polda Sumut terkait penanganan perkara kerangkeng manusia ini. Bukan tidak mungkin, sambungnya dengan pembiaran ini akan ada timbul kasus serupa. “Apakah ini merupakan standar Polri yang baru sejak Presisi?” sindirnya lagi.
KontraS Desak Poldasu
Sementara, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Polda Sumut agar menghukum berbagai jenis tindak pidana terkait kasus kerangkeng milik Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin (TRP). “Kita mendesak Polda Sumut agar mengungkap dan menghukum berbagai jenis tindak pidana kasus kerangkeng ini, tidak hanya TPPO yang diduga dilakukan TRP bersama yang lainnya. Disitu diduga ada penyiksaan, perbudakan, penganiayaan, dan lainnyq. Tentu ada begitu banyak jerat pasal pidananya,” kata Koordinator KontraS Sumut, Amin Multazam kepada Sumut Pos di Medan, Senin (28/3).
Dalam hal ini, lanjutnya, persoalan utamanya, adalah bagaimana polda menjamin mekanisme pidana yang saat ini berproses, seperti memenuhi atau menjangkau rasa keadilan bagi seluruh korban kerangkeng. Berdasarkan data Polda Sumut, sebut Amin, penghuni kerangkeng itu sejak beroperasi sudah 600 an orang. “Nah, proses hukum harusnya menjangkau hal ini, bukan parsial-parsial,” tegasnya.
Kemudian, sambungnya, menjerat seluruh aktor termasuk aparat keamanan negara, yakni TNI dan Polisi yang diduga terlibat. Serta, memberikan restitusi bagi seluruh orang yang pernah masuk kerangkeng, bukan hanya bagi korban yang melaporkan kasus ini semata. “Jadi, dalam hemat kami agak sia-sia jika hanya terfokus terhadap yang ditahan dan yang nggak ditahan ini, karena itu memang kewenangan penyidik. Tetapi bukan berarti kami mendukung tidak ditahan ya. Substansinya nggak disitu. Lihat saja, inisial TRP pun nggak ada dalam list tersangka,” bebernya.
Menurut Amin, pihaknya bersama masyarakat membutuhkan terobosan hukum lain untuk menjerat dan mengadili kasus ini secara komprhensif. “Misal menjadikan kasus ini diselesaikan melalui mekanisme UU 26/2000, tentang pengadilan HAM atau cara lain yang lebih masuk akal,” tandasnya. (mbc/trb/dwi)