29 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Lebih Satu Orang Tewas di Kerangkeng, Penghuni Baru Diduga Disiksa Satu Bulan

LANGKAT, SUMUTPOS.CO – Fakta baru terkait kerangkeng di belakang rumah Bupati Langkat Nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin diungkap. Dari hasil investigasi Polda Sumut, Komnas HAM, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), ditemukan adanya dugaan penyiksaan yang berujung kematian terhadap penghuni kerangkeng.

KAPOLDA Sumut, Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak menegaskan, sedang melakukan penyelidikan mendalam terkait temuan fakta adanya penghuni kerangkeng yang meninggal tersebut. “Tim Dit Res Narkoba dan Dit Reskrimum Poldasu yang kita bentuk sama temuannya. Paling utama, hilangnya nyawa orang menjadi fokus utama. Kita sepakat tidak boleh ada orang yang hilang nyawanya tanpa kejelasan,” tegas Irjen Panca, dalam rilis yang disampaikan Kabid Humas Poldasu Kombes Pol Hadi Wahyudi, Minggu (30/1).

Panca mengatakan, tim gabungan Ditreskrimum dan Ditresnarkoba Polda Sumut menemukan adanya fakta dugaan korban tewas dari kerangkeng Bupati Langkat nonaktif tersebut. Menurut Panca, Tim Polda Sumut bekerjasama dengan stakeholder termasuk Komnas HAM akan melakukan penyelidikan mendalam berkaitan dengan penyebab hingga bentuk praktik yang menyebabkan hilangnya nyawa orang di kerangkeng tempat rehabilitasi pecandu narkoba tersebut. “Kami sudah bertemu Komnas HAM dan sepakat bahwa yang kita temukan (tewas) lebih dari satu orang,” ungkapnya lagi.

Sementar itu, Komisioner Komnas HAM Muhammad Choirul Anam mengatakan, dari hasil investigasi yang dilakukan terhadap keberadaan kerangkeng di rumah Bupati Langkat nonaktif itu, mengungkap temuan adanya kematian terhadap penghuni kerangkeng. “Kita temukan satu proses rehabilitasi yang caranya penuh dengan catatan kekerasan, yakni dari mulai kekerasan fisik sampai hilangnya nyawa, datanya sangat solid. Tapi ternyata saat kami sampaikan ke Polda Sumut, juga menemukan hal yang sama dengan identitas korban yang berbeda. Kalau jumlahnya, lebih dari satu orang yang hilangnya nyawa,” kata Choirul Anam.

Komisioner pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM ini menyebut, temuan yang sedang diselidiki Polda Sumut merupakan identitas berbeda dari temuan Komnas HAM. Bahkan, diduga peristiwa kematian korban berada pada waktu yang berbeda. “Identitasnya berbeda dan waktu kejadiannya juga yang berbeda,” jelasnya.

Lanjut cak Anam, sapaan akrabnya, ada beberapa hal yang membuat masyarakat menitipkan anak atau kerabatnya ke tempat rehabilitasi di rumah mantan Bupati Langkat tersebut, salah satunya terkait mahalnya biaya untuk rehabilitasi korban ketergantungan narkoba. “Bahwa tempat rehabilitasi tersebut tidak memiliki izin. Jadi, ada satu proses pada 2016 dicek oleh BNK sana, tidak ada izin dan disuruh mengurus izin tapi sampai sekarang tidak ada izinnya,” ungkap Anam.

Sasar Penghuni Baru

Komnas HAM juga menemukan fakta lain, dalam proses rehabilitasi, dilakukan dengan praktik kekerasan hingga menghilangkan nyawa yang diduga telah berlangsung sejak 2010. “Kita temukan satu proses rehabilitasi yang caranya penuh dengan catatan kekerasan, yakni dari mulai kekerasan fisik sampai hilangnya nyawa, datanya sangat solid,” ungkapnya.

Menurut Anam, penyiksaan kebanyakan dialami penghuni yang baru dikerangkeng. Penghuni baru diduga mesti menjalani proses yang disebut masa orientasi. “Satu yang paling dominan kami temukan penghuni mengalami kekerasan pada saat baru masuk,” sebutnya..

Anam mengatakan, penghuni baru diduga mengalami kekerasan sampai satu bulan. Kekerasan diduga dilakukan dengan tangan kosong dan menggunakan alat. Pelaku kekerasan, kata dia, diduga sesama penghuni dan di luar penghuni.

Menurut Anam, Komnas HAM juga menemukan istilah yang dipakai di dalam kerangkeng dan merujuk pada tindak kekerasan. Misalnya MOS atau masa orientasi sekolah. MOS diduga merujuk pada tindakan dipukuli bagi penghuni baru.

Selain itu, Komnas menemukan istilah pukulan 2,5 dari kancing. Diduga itu merupakan pukulan ke bagian ulu hati. “Kalau pukulan 2,5 kancing yang diperintahkan, maka yang dipukul adalah bagian tertentu,” katanya.

Anam menduga, tindak kekerasan ini yang menyebabkan sejumlah penghuni meninggal. Jumlah penghuni yang tewas diperkirakan lebih dari satu orang. Pihak yang mengelola kerangkeng biasanya beralasan bahwa korban meninggal karena asam lambung. Namun, menurut Anam, Komnas menemukan bukti bahwa korban meninggal karena kekerasan.

Anam mengatakan, Komnas HAM meminta kepolisian untuk mengusut peristiwa kekerasan yang menimbulkan korban jiwa ini. Dia meminta polisi untuk menjamin perlindungan saksi dan korban selama masa penyelidikan, hingga penyidikan. Jaminan keamanan korban dan saksi, kata dia, penting agar kasus ini bisa diselesaikan. “Kami yakin kalau banyak yang bicara kami bisa menemukan korban yang lebih banyak,” kata dia.

Minta Bantuan KPK

Komnas HAM akan segera memeriksa Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Peranginangin. Namun, pemeriksaan terhadap bupati yang akrab disapa Cana ini, membutuhkan kerjasama dari KPK karena dia sedang menjalani masa penahanan terkait kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa.

“Kami menyambut baik tawaran dari KPK membuka pintu lebar-lebar untuk meminta keterangan kepada Bupati Langkat yang menjadi tahanan KPK. Saya mohon kepada KPK untuk merealisasikan tawaran tersebut,” kata Anam.

Menurutnya, pekan ini Komnas HAM akan meminta keterangan Terbit Rencana untuk melakukan klarifikasi. Hal tersebut penting, untuk mendalami dugaan pelanggaran HAM atas kepemilikan kerangkeng. “Kami berharap minggu ini bisa terealisasi, bisa bekerjsama dalam kasus ini sudah terlaksana, tapi belum maksimal. Kami ucapkan terimakasih rekan-rekan KPK yang sudah membukakan pintu di awal bagi proses kami,” ungkap Anam.

Oleh karena itu, Anam mengharapkan KPK bisa memfasilitasi pemeriksaan Bupati Langkat. Semata dilakukan untuk menambah titik terang kasus yang saat ini tengah menjadi perbincangan publik tersebut.

Polisi Jangan Terpengaruh

Tindak kekerasan di dalam kerangkeng milik Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Peranginangin, juga terungkap dalam hasil investigasi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menyampaikan, berdasarkan informasi yang didapat, kerangkeng itu diklaim sebagai tempat rehabilitasi pecandu narkoba. Tetapi dari hasil penelusuran LPSK, beberapa orang yang pernah ditahan bukan merupakan pecandu narkoba.

“Karena jika merujuk standar internasional UNADOC-WHO, pengobatan gangguan penyalahgunaan Napza mengedepankan prinsip HAM, tidak menggunakan tindakan yang merendahkan atau mempermalukan. Serta perawatan korban harus didasarkan pada bukti ilmiah,” kata Edwin dalam keterangannya, Minggu (30/1).

Bahkan dari hasil investigasi, diduga telah jatuh korban tewas yang ditubuhnya terdapat tanda-tanda luka. Hal ini perlu dilakukan penelusuran lebih dalam, dari saksi-saksi. “Informasi ini tentu masih perlu ditindaklanjuti pembuktiannya dengan proses hukum,” ucapnya.

Edwin berharap Kepolisian tidak terpengaruh oleh kuatnya sosok Terbit Rencana Perangin-angin di Kabupaten Langkat. “Polisi tidak boleh terpengaruh. Polisi harus tetap bersandar pada rumusan undang–undang untuk menemukan ada tidaknya pidana dari temuan atas penahanan ilegal itu,” tegas Edwin.

Dia menyampaikan hal itu didasari temuan LPSK, di mana para mantan tahanan dan keluarga, mengaku tidak mengalami hal yang merugikan dalam kaitannya dengan temuan kerangkeng manusia di kediaman Terbit Rencana. Edwin sendiri memahami sikap dari para korban tersebut.

Dia mengatakan, Terbit Rencana adalah ketua ormas, pengusaha, dan juga merupakan pejabat daerah di Langkat. Oleh karena itu, sudah bisa dipastikan, Terbit Rencana adalah orang kuat di daerah Langkat, sehingga hal tersebut membuat para korban mengaku tidak mengalami kerugian. Tetapi dari hasil penelusuran, lanjut Edwin, LPSK menemukan informasi dugaan telah adanya korban tewas dengan tanda-tanda luka di tubuhnya akibat ditahan di kerangkeng.

Hal ini diharapkan menjadi bukti awal untuk mengusut adanya dugaan perbudakan modern tersebut. “Informasi ini tentu masih perlu ditindak lanjuti pembuktiannya dengan proses hukum,” tegas Edwin.

Dugaan kepemilikan kerangkeng manusia ini sebelumnya dibongkar oleh Migrant Care setelah mengadukannya ke Komnas HAM. Dalam laporannya, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menyebut, sebanyak 40 pekerja sawit mendekam di dalam kerangkeng milik Terbit Rencana.

Laporan ini disertai bukti-bukti di antaranya foto, video dan juga foto-foto korban. “Ada dua sel di dalam rumah Bupati yang digunakan untuk memenjarakan sebanyak 40 orang pekerja,” kata Anis di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (24/1).

Anis mengutarakan, kerangkeng itu terdapat di belakang halaman rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana. Anis mengungkapkan, kerangkeng tersebut mirip penjara dengan tambahan gembok, agar para pekerjanya tidak keluar masuk sembarangan.

Dia tak memungkiri, para pekerja kerap mendapat penyiksaan, seperti pemukulan. Bahkan mengakibatkan lebam hingga luka-luka. “Sampai lebam-lebam dan sebagian mengalami luka-luka,” pungkas Anis. (jpc/dtc/kps/tmp/bbs/dwi/ris)

LANGKAT, SUMUTPOS.CO – Fakta baru terkait kerangkeng di belakang rumah Bupati Langkat Nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin diungkap. Dari hasil investigasi Polda Sumut, Komnas HAM, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), ditemukan adanya dugaan penyiksaan yang berujung kematian terhadap penghuni kerangkeng.

KAPOLDA Sumut, Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak menegaskan, sedang melakukan penyelidikan mendalam terkait temuan fakta adanya penghuni kerangkeng yang meninggal tersebut. “Tim Dit Res Narkoba dan Dit Reskrimum Poldasu yang kita bentuk sama temuannya. Paling utama, hilangnya nyawa orang menjadi fokus utama. Kita sepakat tidak boleh ada orang yang hilang nyawanya tanpa kejelasan,” tegas Irjen Panca, dalam rilis yang disampaikan Kabid Humas Poldasu Kombes Pol Hadi Wahyudi, Minggu (30/1).

Panca mengatakan, tim gabungan Ditreskrimum dan Ditresnarkoba Polda Sumut menemukan adanya fakta dugaan korban tewas dari kerangkeng Bupati Langkat nonaktif tersebut. Menurut Panca, Tim Polda Sumut bekerjasama dengan stakeholder termasuk Komnas HAM akan melakukan penyelidikan mendalam berkaitan dengan penyebab hingga bentuk praktik yang menyebabkan hilangnya nyawa orang di kerangkeng tempat rehabilitasi pecandu narkoba tersebut. “Kami sudah bertemu Komnas HAM dan sepakat bahwa yang kita temukan (tewas) lebih dari satu orang,” ungkapnya lagi.

Sementar itu, Komisioner Komnas HAM Muhammad Choirul Anam mengatakan, dari hasil investigasi yang dilakukan terhadap keberadaan kerangkeng di rumah Bupati Langkat nonaktif itu, mengungkap temuan adanya kematian terhadap penghuni kerangkeng. “Kita temukan satu proses rehabilitasi yang caranya penuh dengan catatan kekerasan, yakni dari mulai kekerasan fisik sampai hilangnya nyawa, datanya sangat solid. Tapi ternyata saat kami sampaikan ke Polda Sumut, juga menemukan hal yang sama dengan identitas korban yang berbeda. Kalau jumlahnya, lebih dari satu orang yang hilangnya nyawa,” kata Choirul Anam.

Komisioner pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM ini menyebut, temuan yang sedang diselidiki Polda Sumut merupakan identitas berbeda dari temuan Komnas HAM. Bahkan, diduga peristiwa kematian korban berada pada waktu yang berbeda. “Identitasnya berbeda dan waktu kejadiannya juga yang berbeda,” jelasnya.

Lanjut cak Anam, sapaan akrabnya, ada beberapa hal yang membuat masyarakat menitipkan anak atau kerabatnya ke tempat rehabilitasi di rumah mantan Bupati Langkat tersebut, salah satunya terkait mahalnya biaya untuk rehabilitasi korban ketergantungan narkoba. “Bahwa tempat rehabilitasi tersebut tidak memiliki izin. Jadi, ada satu proses pada 2016 dicek oleh BNK sana, tidak ada izin dan disuruh mengurus izin tapi sampai sekarang tidak ada izinnya,” ungkap Anam.

Sasar Penghuni Baru

Komnas HAM juga menemukan fakta lain, dalam proses rehabilitasi, dilakukan dengan praktik kekerasan hingga menghilangkan nyawa yang diduga telah berlangsung sejak 2010. “Kita temukan satu proses rehabilitasi yang caranya penuh dengan catatan kekerasan, yakni dari mulai kekerasan fisik sampai hilangnya nyawa, datanya sangat solid,” ungkapnya.

Menurut Anam, penyiksaan kebanyakan dialami penghuni yang baru dikerangkeng. Penghuni baru diduga mesti menjalani proses yang disebut masa orientasi. “Satu yang paling dominan kami temukan penghuni mengalami kekerasan pada saat baru masuk,” sebutnya..

Anam mengatakan, penghuni baru diduga mengalami kekerasan sampai satu bulan. Kekerasan diduga dilakukan dengan tangan kosong dan menggunakan alat. Pelaku kekerasan, kata dia, diduga sesama penghuni dan di luar penghuni.

Menurut Anam, Komnas HAM juga menemukan istilah yang dipakai di dalam kerangkeng dan merujuk pada tindak kekerasan. Misalnya MOS atau masa orientasi sekolah. MOS diduga merujuk pada tindakan dipukuli bagi penghuni baru.

Selain itu, Komnas menemukan istilah pukulan 2,5 dari kancing. Diduga itu merupakan pukulan ke bagian ulu hati. “Kalau pukulan 2,5 kancing yang diperintahkan, maka yang dipukul adalah bagian tertentu,” katanya.

Anam menduga, tindak kekerasan ini yang menyebabkan sejumlah penghuni meninggal. Jumlah penghuni yang tewas diperkirakan lebih dari satu orang. Pihak yang mengelola kerangkeng biasanya beralasan bahwa korban meninggal karena asam lambung. Namun, menurut Anam, Komnas menemukan bukti bahwa korban meninggal karena kekerasan.

Anam mengatakan, Komnas HAM meminta kepolisian untuk mengusut peristiwa kekerasan yang menimbulkan korban jiwa ini. Dia meminta polisi untuk menjamin perlindungan saksi dan korban selama masa penyelidikan, hingga penyidikan. Jaminan keamanan korban dan saksi, kata dia, penting agar kasus ini bisa diselesaikan. “Kami yakin kalau banyak yang bicara kami bisa menemukan korban yang lebih banyak,” kata dia.

Minta Bantuan KPK

Komnas HAM akan segera memeriksa Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Peranginangin. Namun, pemeriksaan terhadap bupati yang akrab disapa Cana ini, membutuhkan kerjasama dari KPK karena dia sedang menjalani masa penahanan terkait kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa.

“Kami menyambut baik tawaran dari KPK membuka pintu lebar-lebar untuk meminta keterangan kepada Bupati Langkat yang menjadi tahanan KPK. Saya mohon kepada KPK untuk merealisasikan tawaran tersebut,” kata Anam.

Menurutnya, pekan ini Komnas HAM akan meminta keterangan Terbit Rencana untuk melakukan klarifikasi. Hal tersebut penting, untuk mendalami dugaan pelanggaran HAM atas kepemilikan kerangkeng. “Kami berharap minggu ini bisa terealisasi, bisa bekerjsama dalam kasus ini sudah terlaksana, tapi belum maksimal. Kami ucapkan terimakasih rekan-rekan KPK yang sudah membukakan pintu di awal bagi proses kami,” ungkap Anam.

Oleh karena itu, Anam mengharapkan KPK bisa memfasilitasi pemeriksaan Bupati Langkat. Semata dilakukan untuk menambah titik terang kasus yang saat ini tengah menjadi perbincangan publik tersebut.

Polisi Jangan Terpengaruh

Tindak kekerasan di dalam kerangkeng milik Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Peranginangin, juga terungkap dalam hasil investigasi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menyampaikan, berdasarkan informasi yang didapat, kerangkeng itu diklaim sebagai tempat rehabilitasi pecandu narkoba. Tetapi dari hasil penelusuran LPSK, beberapa orang yang pernah ditahan bukan merupakan pecandu narkoba.

“Karena jika merujuk standar internasional UNADOC-WHO, pengobatan gangguan penyalahgunaan Napza mengedepankan prinsip HAM, tidak menggunakan tindakan yang merendahkan atau mempermalukan. Serta perawatan korban harus didasarkan pada bukti ilmiah,” kata Edwin dalam keterangannya, Minggu (30/1).

Bahkan dari hasil investigasi, diduga telah jatuh korban tewas yang ditubuhnya terdapat tanda-tanda luka. Hal ini perlu dilakukan penelusuran lebih dalam, dari saksi-saksi. “Informasi ini tentu masih perlu ditindaklanjuti pembuktiannya dengan proses hukum,” ucapnya.

Edwin berharap Kepolisian tidak terpengaruh oleh kuatnya sosok Terbit Rencana Perangin-angin di Kabupaten Langkat. “Polisi tidak boleh terpengaruh. Polisi harus tetap bersandar pada rumusan undang–undang untuk menemukan ada tidaknya pidana dari temuan atas penahanan ilegal itu,” tegas Edwin.

Dia menyampaikan hal itu didasari temuan LPSK, di mana para mantan tahanan dan keluarga, mengaku tidak mengalami hal yang merugikan dalam kaitannya dengan temuan kerangkeng manusia di kediaman Terbit Rencana. Edwin sendiri memahami sikap dari para korban tersebut.

Dia mengatakan, Terbit Rencana adalah ketua ormas, pengusaha, dan juga merupakan pejabat daerah di Langkat. Oleh karena itu, sudah bisa dipastikan, Terbit Rencana adalah orang kuat di daerah Langkat, sehingga hal tersebut membuat para korban mengaku tidak mengalami kerugian. Tetapi dari hasil penelusuran, lanjut Edwin, LPSK menemukan informasi dugaan telah adanya korban tewas dengan tanda-tanda luka di tubuhnya akibat ditahan di kerangkeng.

Hal ini diharapkan menjadi bukti awal untuk mengusut adanya dugaan perbudakan modern tersebut. “Informasi ini tentu masih perlu ditindak lanjuti pembuktiannya dengan proses hukum,” tegas Edwin.

Dugaan kepemilikan kerangkeng manusia ini sebelumnya dibongkar oleh Migrant Care setelah mengadukannya ke Komnas HAM. Dalam laporannya, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah menyebut, sebanyak 40 pekerja sawit mendekam di dalam kerangkeng milik Terbit Rencana.

Laporan ini disertai bukti-bukti di antaranya foto, video dan juga foto-foto korban. “Ada dua sel di dalam rumah Bupati yang digunakan untuk memenjarakan sebanyak 40 orang pekerja,” kata Anis di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (24/1).

Anis mengutarakan, kerangkeng itu terdapat di belakang halaman rumah Bupati Langkat, Terbit Rencana. Anis mengungkapkan, kerangkeng tersebut mirip penjara dengan tambahan gembok, agar para pekerjanya tidak keluar masuk sembarangan.

Dia tak memungkiri, para pekerja kerap mendapat penyiksaan, seperti pemukulan. Bahkan mengakibatkan lebam hingga luka-luka. “Sampai lebam-lebam dan sebagian mengalami luka-luka,” pungkas Anis. (jpc/dtc/kps/tmp/bbs/dwi/ris)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/