30 C
Medan
Tuesday, May 28, 2024

Bawa Asa Terang Terus ke Nias

IST
Jaya Wahono

Problem tentang listrik masuk desa ternyata masih saja sering terdengar. Dari desa kecil, sampai kawasan pulau-pulau kecil tentunya, seakan menjadi bagian dari cerita bersambung kehidupan rakyat di pelosok dan terpencil. Harapan mereka yang hidup ‘gelap’ tak pernah berubah, ada lampu, listrik, dan PLN, beda tapi intinya sama.

Inilah harapan yang akan dibawa Jaya Wahono, Presiden Direktur PT Charta Putra Indonesia (CPI) ke Sumatera Utara (Sumut). Setelah membawa asa ke Sumatera Barat (Sumbar) di Kepulauan Mentawai, lulusan ITB ini ingin melanjutkan teknologi bambu untuk menghasilkan energi listrik, dan menerangi desa-desa di Kepulauan Nias, yang sampai sekarang, belum mendapat pasokan listrik seperti masyarakat di kabupaten/kota lainnya.

Ada Kabupaten Nias, Nias Barat, Nias Utara, Nias Selatan dan Kota Gunungsitoli yang berada di wilayah Kepulauan Nias. Beberapa sumber menilai, rasio elektrifikasi di lima daerah di Sumut ini, masih sangat rendah. Setidaknya, dari 461 desa di Nisel, baru 166 desa yang dialiri listrik, sedangkan 295 desa lainnya, sama sekali masih ‘gelap’.

“Itupun dari desa yang dialiri listrik, tidak 24 jam,”ungkap Jaya Wahono mencontohkan satu dari lima daerah yang ada di Kepulauan Nias.

Dari cerita kebutuhan listrik, Jaya pun menjelaskan mengapa bambu bisa menghasilkan sumber tenaga listrik biomassa yang ramah lingkungan, berkelanjutan dan melibatkan masyarakat sebagai pengguna sekaligus penghasil bahan bakar yang bernilai ekonomis. Meskipun cara kerjanya sama, dengan membakar untuk menghasilkan energi listrik, namun penggunaan bambu sebagai pengganti kayu bakar, punya visi yang berkelanjutan.

Karakteristik bambu katanya, secara fisik mirip dengan kayu. Punya kandungan energi cukup besar dibanding limbah pertanian atau perkebunan yang juga digunakan sebagai bahan bakar.

Sedangkan kelebihannya yang paling menonjol adalah, bambu itu tanaman restorasi.

Mudah tumbuh dan berkembang, di lahan sempit dan cepat menyebar tanpa perawatan khusus.

Jaya memang tidak menerangkan spesifikasi mesin pembangkit listriknya yang katanya berasal dari Amerika Serikat, yang khusus diberikan kepada negara-negara yang membutuhkan dan terpilih, termasuk Indonesia.

Karena intinya, proses pembakaran itu hal biasa untuk menghasilkan energi listrik. Yang spesial dari ide bambu ini, adalah masyarakat di Kepulauan Nias bisa menikmati listrik 24 jam tanpa keluhan mati listrik. Bahan bakarnya dihasilkan dari bambu, yang ditanam masyarakat, atau kata lain, dari, oleh dan untuk masyarakat.

Bambu yang sudah dikenal sejak lama di Indonesia, katanya, akan akrab di mata warga, terutama masyarakat adat. Dari dua ribu jenis di dunia, 200-nya ada di Nusantara. Sehingga baginya, menjadikan bambu sebagai andalan bahan bakar untuk mesin pembangkit listrik, bukan hanya berguna bagi penerangan, namun juga meningkatkan perekonomian warga.

Dengan program ini, Jaya pun merinci. Setiap rumah tangga atau Kepala Keluarga (KK) akan mendapatkan 100 bibit bambu yang akan di tanam di pekarangan, belakang rumah atau di lahan khusus bersama (tanah adat). Dari satu batang bambu, selama tiga tahun, akan menghasilkan setidaknya 100 batang bambu. Sehingga potensi setiap KK, bisa memperoleh 10 ribu batang.

“Jumlah 100 bibit bambu itu, cuma membutuhkan 1 hektar lahan, itupun tidak habis. Dan setiap rumah tangga, hanya butuh tiga batang bambu per bulan untuk kebutuhan listriknya yang dihasilkan dari proses pembakaran di pembangkit listrik biomassa,” kata Jaya menjelaskan bagaimana peluang pasokan bahan bakar tersedia selama puluhan tahun berkelanjutan.

Soal harga, disebutkan Jaya, angka Rp300 untuk setiap kilogram bambu uang dihasilkan oleh masyarakat dan mereka beli. Itupun setiap kilogramnya, Rp150 dialokasikan untuk pengelolaan atau BUMDes.

Diakui Jaya, harus tetap menaati aturan, dimana listrik yang dihasilkan, akan dijual kembali ke PT PLN sebelum dijual kembali ke masyarakat.

Dari harga Rp2.000 per KwH, kata Jaya, angka itu jauh lebih kecil dibandingkan perusahaan Negara itu menggunakan bahan bakar diesel (solar) dengan biaya per KwH, mencapai Rp5.000.

Menurut anggota DPD RI Parlindungan Purba, konsep yang disampaikan Jaya berpotensi dan disampaikan kepada para kepala daerah yang ada di Kepulauan Nias. Bahkan iapun berharap, dengan program pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar biomassa ini, seluruh desa di lima daerah itu bisa teraliri listrik selama 24 jam.

Baginya, kemajuan di wilayah terluar Sumut itu adalah keharusan. Sebab, selama ini sulit untuk bisa menghadirkan pembangunan sebagaimana layaknya desa lain di seberang pulau. Sehingga, asa itu mendapat sambutan baik dan menurutnya sangat layak untuk dijalankan di wilayah ini.

Itu pula yang diharapkan Sentosa Dachi, seorang warga di kawasan Teluk Dalam Nias Selatan. Tak ada listrik, tak ada penerangan, tak ada investor, tak ada pabrik, tak ada peningkatan peluang kerja. Padahal, hasil alam melimpah ruah, pariwisata pantai cukup eksotis untuk didukung dengan berbagai sektor seperti pertanian dan industri kreatif yang membutuhkan kehadiran listrik.

Katanya, 100 ton inti kelapa dan lainnya dalam bentuk bahasa mentah, keluar dari Pulau Nias. Namun harga jualnya sangat murah. Karena itu juga, Sentosa berharap ada industri pengelolaan bahan pertanian dan perkebunan di kampung halamannya. Dengan begitu, aktivitas perkonomian yang produktif, tidak pergi begitu saja ke daerah lain dan kembali dalam bentuk jadi, dengan harga lebih mahal.

“Kalau memang itu bisa berhasil, saya kira akan banyak putra daerah yang kembali ke Nias untuk berusaha dan bekerja. Karena di sini kesulitannya adalah lapangan kerja,” kata Sentosa, menyampaikan asa agar Nias bisa terang terus. (bal/han)

IST
Jaya Wahono

Problem tentang listrik masuk desa ternyata masih saja sering terdengar. Dari desa kecil, sampai kawasan pulau-pulau kecil tentunya, seakan menjadi bagian dari cerita bersambung kehidupan rakyat di pelosok dan terpencil. Harapan mereka yang hidup ‘gelap’ tak pernah berubah, ada lampu, listrik, dan PLN, beda tapi intinya sama.

Inilah harapan yang akan dibawa Jaya Wahono, Presiden Direktur PT Charta Putra Indonesia (CPI) ke Sumatera Utara (Sumut). Setelah membawa asa ke Sumatera Barat (Sumbar) di Kepulauan Mentawai, lulusan ITB ini ingin melanjutkan teknologi bambu untuk menghasilkan energi listrik, dan menerangi desa-desa di Kepulauan Nias, yang sampai sekarang, belum mendapat pasokan listrik seperti masyarakat di kabupaten/kota lainnya.

Ada Kabupaten Nias, Nias Barat, Nias Utara, Nias Selatan dan Kota Gunungsitoli yang berada di wilayah Kepulauan Nias. Beberapa sumber menilai, rasio elektrifikasi di lima daerah di Sumut ini, masih sangat rendah. Setidaknya, dari 461 desa di Nisel, baru 166 desa yang dialiri listrik, sedangkan 295 desa lainnya, sama sekali masih ‘gelap’.

“Itupun dari desa yang dialiri listrik, tidak 24 jam,”ungkap Jaya Wahono mencontohkan satu dari lima daerah yang ada di Kepulauan Nias.

Dari cerita kebutuhan listrik, Jaya pun menjelaskan mengapa bambu bisa menghasilkan sumber tenaga listrik biomassa yang ramah lingkungan, berkelanjutan dan melibatkan masyarakat sebagai pengguna sekaligus penghasil bahan bakar yang bernilai ekonomis. Meskipun cara kerjanya sama, dengan membakar untuk menghasilkan energi listrik, namun penggunaan bambu sebagai pengganti kayu bakar, punya visi yang berkelanjutan.

Karakteristik bambu katanya, secara fisik mirip dengan kayu. Punya kandungan energi cukup besar dibanding limbah pertanian atau perkebunan yang juga digunakan sebagai bahan bakar.

Sedangkan kelebihannya yang paling menonjol adalah, bambu itu tanaman restorasi.

Mudah tumbuh dan berkembang, di lahan sempit dan cepat menyebar tanpa perawatan khusus.

Jaya memang tidak menerangkan spesifikasi mesin pembangkit listriknya yang katanya berasal dari Amerika Serikat, yang khusus diberikan kepada negara-negara yang membutuhkan dan terpilih, termasuk Indonesia.

Karena intinya, proses pembakaran itu hal biasa untuk menghasilkan energi listrik. Yang spesial dari ide bambu ini, adalah masyarakat di Kepulauan Nias bisa menikmati listrik 24 jam tanpa keluhan mati listrik. Bahan bakarnya dihasilkan dari bambu, yang ditanam masyarakat, atau kata lain, dari, oleh dan untuk masyarakat.

Bambu yang sudah dikenal sejak lama di Indonesia, katanya, akan akrab di mata warga, terutama masyarakat adat. Dari dua ribu jenis di dunia, 200-nya ada di Nusantara. Sehingga baginya, menjadikan bambu sebagai andalan bahan bakar untuk mesin pembangkit listrik, bukan hanya berguna bagi penerangan, namun juga meningkatkan perekonomian warga.

Dengan program ini, Jaya pun merinci. Setiap rumah tangga atau Kepala Keluarga (KK) akan mendapatkan 100 bibit bambu yang akan di tanam di pekarangan, belakang rumah atau di lahan khusus bersama (tanah adat). Dari satu batang bambu, selama tiga tahun, akan menghasilkan setidaknya 100 batang bambu. Sehingga potensi setiap KK, bisa memperoleh 10 ribu batang.

“Jumlah 100 bibit bambu itu, cuma membutuhkan 1 hektar lahan, itupun tidak habis. Dan setiap rumah tangga, hanya butuh tiga batang bambu per bulan untuk kebutuhan listriknya yang dihasilkan dari proses pembakaran di pembangkit listrik biomassa,” kata Jaya menjelaskan bagaimana peluang pasokan bahan bakar tersedia selama puluhan tahun berkelanjutan.

Soal harga, disebutkan Jaya, angka Rp300 untuk setiap kilogram bambu uang dihasilkan oleh masyarakat dan mereka beli. Itupun setiap kilogramnya, Rp150 dialokasikan untuk pengelolaan atau BUMDes.

Diakui Jaya, harus tetap menaati aturan, dimana listrik yang dihasilkan, akan dijual kembali ke PT PLN sebelum dijual kembali ke masyarakat.

Dari harga Rp2.000 per KwH, kata Jaya, angka itu jauh lebih kecil dibandingkan perusahaan Negara itu menggunakan bahan bakar diesel (solar) dengan biaya per KwH, mencapai Rp5.000.

Menurut anggota DPD RI Parlindungan Purba, konsep yang disampaikan Jaya berpotensi dan disampaikan kepada para kepala daerah yang ada di Kepulauan Nias. Bahkan iapun berharap, dengan program pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar biomassa ini, seluruh desa di lima daerah itu bisa teraliri listrik selama 24 jam.

Baginya, kemajuan di wilayah terluar Sumut itu adalah keharusan. Sebab, selama ini sulit untuk bisa menghadirkan pembangunan sebagaimana layaknya desa lain di seberang pulau. Sehingga, asa itu mendapat sambutan baik dan menurutnya sangat layak untuk dijalankan di wilayah ini.

Itu pula yang diharapkan Sentosa Dachi, seorang warga di kawasan Teluk Dalam Nias Selatan. Tak ada listrik, tak ada penerangan, tak ada investor, tak ada pabrik, tak ada peningkatan peluang kerja. Padahal, hasil alam melimpah ruah, pariwisata pantai cukup eksotis untuk didukung dengan berbagai sektor seperti pertanian dan industri kreatif yang membutuhkan kehadiran listrik.

Katanya, 100 ton inti kelapa dan lainnya dalam bentuk bahasa mentah, keluar dari Pulau Nias. Namun harga jualnya sangat murah. Karena itu juga, Sentosa berharap ada industri pengelolaan bahan pertanian dan perkebunan di kampung halamannya. Dengan begitu, aktivitas perkonomian yang produktif, tidak pergi begitu saja ke daerah lain dan kembali dalam bentuk jadi, dengan harga lebih mahal.

“Kalau memang itu bisa berhasil, saya kira akan banyak putra daerah yang kembali ke Nias untuk berusaha dan bekerja. Karena di sini kesulitannya adalah lapangan kerja,” kata Sentosa, menyampaikan asa agar Nias bisa terang terus. (bal/han)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/