25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kombur: Tak Ada Lagi Tano Batak

Foto: Istimewa Acara markombur di Jong Bataks Arts Festival, Medan, Kamis (30/10).
Foto: Istimewa
Acara markombur di Jong Bataks Arts Festival, Medan, Kamis (30/10).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sekarang ini sudah tak ada lagi yang namanya Tano (tanah) Batak. Semua tanah di sekitar kawasan Danau Toba yang selama ini dikenal sebagai Tano Batak, sudah dikapling dan dijual kepada investor. Bahkan tanah-tanah adat juga ikut dieksploitasi.

“Tanah itu tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Batak. Dalam budaya Batak, tanah terbagi atas beberapa fungsi. Terutama tanah adat. Secara komunal (bersama) ada tano parmahanon (penggembalaan), tano pangulaan (bercocok tanam). Tanah itu boleh digunakan, tetapi tidak bisa dimiliki perorangan,” jelas Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Roganda Simanjuntak, saat markombur di Jong Bataks Arts Festival, Medan, Kamis (30/10).

Kini seiring dengan hilangnya peran bius dan perangkat adat lainnya, pengelolaan tanah adat itu tak lagi diterapkan. Bahkan tanah adat telah banyak yang hilang. Tepatnya dirampas para investor.

Salah satu kasus seperti yang dikemukakan Sitanggang, salah seorang korban perampasan tanah asal Samosir, yang ikut markombur di Lapo Jong. Sitanggang mengisahkan perjuangan selama bertahun-tahun merebut kembali tanah leluhurnya itu, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Ia mengaku sering diteror bahkan pernah dicederai orang tak dikenal.

“Soal tanah adat memang seksi untuk dibicarakan. Bukan hanya investor atau pemerintah yang bermain, tapi juga orang-orang kampung, termasuk keluarga si pemilik tanah. Fakta ini kami temukan di beberapa kasus yang pernah kami tangani,” kata Toni.

“Jangan-jangan karena banyak orang Batak yang sudah tak mengenal adatnya lagi, maka tanah adatnyapun hilang,” celetuk Hendra Ginting.

Hendra pun mengisahkan pengalamannya. Tanah keluarganya juga ikut hilang. Setelah dilacak, tahu-tahunya tanah itu sudah diambil orang dengan memalsukan surat tanahnya.

“Ah, zaman sekarang apa yang tak bisa dikerjakan orang. Jangan-jangan itu kerjaan para perantau, atau NGO bekerja ama dengan orang setempat. Soalnya ’kan mereka yang tahu mana tanah yang kira-kirabisa dicaplok. Maklum dulu kan tak ada surat-surat. Apalagi jika statusnya tanah adat. Kalau pun ada,gampang aja dimanipulasi,” celoteh Jones yang mengaku pernah berhadapan dengan mafia tanah.

“Selain tak lagi punya tanah, orang Batak juga tak punya tokoh yang bisa menjadi panutan. Kalau pun ada yang menonjol, justru mereka-mereka itu yang sering membuat keributan di tanah leluhurnya sendiri. Jangan-jangan selama ini mereka yang menggadang-gadang tanah adat orang Batak,” aku Aquardes Pakpahan, di markombur itu.

Sekedar informasi, selain markombur, pada hari yang sama juga digelar lomba vokal solo tingkat SMUyang diikuti 31 peserta. Sedangkan lomba tari untuk tingkat SMP, digelar pada 31 Oktober yang diikuti 10 kelompok. (rel/mea)

 

Foto: Istimewa Acara markombur di Jong Bataks Arts Festival, Medan, Kamis (30/10).
Foto: Istimewa
Acara markombur di Jong Bataks Arts Festival, Medan, Kamis (30/10).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sekarang ini sudah tak ada lagi yang namanya Tano (tanah) Batak. Semua tanah di sekitar kawasan Danau Toba yang selama ini dikenal sebagai Tano Batak, sudah dikapling dan dijual kepada investor. Bahkan tanah-tanah adat juga ikut dieksploitasi.

“Tanah itu tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Batak. Dalam budaya Batak, tanah terbagi atas beberapa fungsi. Terutama tanah adat. Secara komunal (bersama) ada tano parmahanon (penggembalaan), tano pangulaan (bercocok tanam). Tanah itu boleh digunakan, tetapi tidak bisa dimiliki perorangan,” jelas Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Roganda Simanjuntak, saat markombur di Jong Bataks Arts Festival, Medan, Kamis (30/10).

Kini seiring dengan hilangnya peran bius dan perangkat adat lainnya, pengelolaan tanah adat itu tak lagi diterapkan. Bahkan tanah adat telah banyak yang hilang. Tepatnya dirampas para investor.

Salah satu kasus seperti yang dikemukakan Sitanggang, salah seorang korban perampasan tanah asal Samosir, yang ikut markombur di Lapo Jong. Sitanggang mengisahkan perjuangan selama bertahun-tahun merebut kembali tanah leluhurnya itu, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Ia mengaku sering diteror bahkan pernah dicederai orang tak dikenal.

“Soal tanah adat memang seksi untuk dibicarakan. Bukan hanya investor atau pemerintah yang bermain, tapi juga orang-orang kampung, termasuk keluarga si pemilik tanah. Fakta ini kami temukan di beberapa kasus yang pernah kami tangani,” kata Toni.

“Jangan-jangan karena banyak orang Batak yang sudah tak mengenal adatnya lagi, maka tanah adatnyapun hilang,” celetuk Hendra Ginting.

Hendra pun mengisahkan pengalamannya. Tanah keluarganya juga ikut hilang. Setelah dilacak, tahu-tahunya tanah itu sudah diambil orang dengan memalsukan surat tanahnya.

“Ah, zaman sekarang apa yang tak bisa dikerjakan orang. Jangan-jangan itu kerjaan para perantau, atau NGO bekerja ama dengan orang setempat. Soalnya ’kan mereka yang tahu mana tanah yang kira-kirabisa dicaplok. Maklum dulu kan tak ada surat-surat. Apalagi jika statusnya tanah adat. Kalau pun ada,gampang aja dimanipulasi,” celoteh Jones yang mengaku pernah berhadapan dengan mafia tanah.

“Selain tak lagi punya tanah, orang Batak juga tak punya tokoh yang bisa menjadi panutan. Kalau pun ada yang menonjol, justru mereka-mereka itu yang sering membuat keributan di tanah leluhurnya sendiri. Jangan-jangan selama ini mereka yang menggadang-gadang tanah adat orang Batak,” aku Aquardes Pakpahan, di markombur itu.

Sekedar informasi, selain markombur, pada hari yang sama juga digelar lomba vokal solo tingkat SMUyang diikuti 31 peserta. Sedangkan lomba tari untuk tingkat SMP, digelar pada 31 Oktober yang diikuti 10 kelompok. (rel/mea)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/