28 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Seni Berpolitik di Panggung Politiktainmen

Don Kardono
Don Kardono

Oleh: Don Kardono

 

Tak ada lawan ataupun kawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Selama kepentingan bersua dalam satu perahu, di situlah perkawanan terbangun. Pun sebaliknya, di kala kepentingan tak menemukan titik temu, bibit-bibit perlawanan pun tak terhindarkan. Itulah rumors yang semakin mendekati fakta dari dunia politiktainmen.

 

Ada yang menyebut: Politik itu jahat. Tak berperasaan. Tak berperi kemanusiaan. Tak beradab. Tak menggubris sejarah. Tak tahu diri. Tak berterima kasih. Tidak masuk akal. Tidak sehat. Itu semua tidak salah, meskipun juga tidak benar. Peneliti SMRC, Saiful Mujani menyebut, itu biasa-biasa saja. Itu hanyalah seni berpolitik. Kalau sudah terjun di panggung politik, tidak ada yang aneh.

Potong memotong, tutup menutup, kejar mengejar, itu hal yang biasa. Kelihaian memainkan isu, kepintaran memanfaatkan momentum, kecerdikan mengambil sikap, pengendalian emosi, pertarungan batin, itu semua menjadi bagian yang sangat penting bagi politisi. Jujur, baik hati, pemurah, berjiwa sosial, bermanfaat buat banyak orang saja tidak cukup. Jangan pernah berpikir sportivitas dalam kamus politik. Tidak ada menang dan kalah, di siaran politiktainmen. Yang ada hanyalah, menang dan atau menang!

Di situlah seninya. Merebut kemenangan di saat fakta empiriknya sedang kalah. Di situlah lahir istilah propaganda, agitasi, intrik, black campaign, menggorok, gasak, gasruk, gusur, dan sebangsanya. Di sinilah, rupanya, kehebatan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga pendiri partai yang berideologi Pancasila, Konservatisme dan Anti-komunisme ini. Tetap cool, calm, tenang, tanpa banyak berstatemen, di saat partainya sedang rapuh di Pileg 2014.

Termasuk dalam hal koalisi, keputusan konvensi, penentuan siapa capres/cawapres yang diusung partai dan langkah strategis menuju pilpres 2014, SBY terlihat sangat sabar. –Menghindari istilah lambat, lemot, ragu, dan sebangsanya yang berkonotasi negatif–. Di saat riuh ramai orang bersimulasi capres-cawapres, justru selebriti-selebriti politik kita sedang cemas. Lembaga penegak hukum kita terlihat lebih agresif bongkar-bongkar kasus lama yang orang awam pun sudah lupa.

Kasus Bank Century yang menyerempet tokoh pintar Sri Mulyani Indrawati, Boediono dan Jusuf Kalla. Kasus mantan suap Ketua Mahkamah Konstitusi, Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H. yang cukup “membisingkan telinga”  Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. Hadi Poernomo, mantan Ketua BPK dan mantan Dirjen Pajak 2003 dalam skandal dengan BCA. Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP dipanggil KPK terkait proyek haji. Bisa jadi “kardus durian” yang aromanya sangat menusuk hidung Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB juga dibuka kembali.

Apakah itu semua semacam psywar? Atau black campaigne? Tidak mudah, bahkan hampir pasti tidak bisa dibuktikan, dugaan seperti itu. Apakah itu aksi penegakan hukum, atau aksi politis? Juga tidak ada yang bisa memastikan. Mengapa kok timing-nya, pasca Pileg 9 April dan datang beruntun?

Yang pasti, tokoh-tokoh potensial yang eksis dan beredar kuat di dunia politiktainmen, satu per satu bisa tergerus nama besarnya, justru di saat-saat mereka haus akan citra positif. Mengapa tidak dari dulu dituntaskan? Ah, mudah-mudahan itu semua hanya kebetulan saja. Karena memang tidak ada koneksi paralel, antara kasus hukum dengan politik. Kalaupun dirasa ada hubungan, mungkin itu yang namanya “hubung singkat” alias korslet saja.

Asyik memang, mengutak-atik percaturan politik menjelang penentuan capres-cawapres dan format koalisi.  Fakta bahwa Prabowo Subianto trend-nya naik, dari 23 persen pada Desember 2013, meningkat menjadi 27 persen di Maret 2014, dan melonjak tajam 37 persen di April 2014. Sebaliknya, kecenderungan Jokowi yang turun, dari 62 persen di bulan Desember 2013, turun lagi menjadi 56 persen di Maret 2014, dan makin turun 50 persen di April 2014, ketika head to head Jokowi v Prabowo disimulasi melalui survei Saiful Mujani.

Ada beberapa hal yang menarik dicermati. Pertama, tim sukses Prabowo bekerja lebih efektif, lebih konkret, dan berhasil menaikkan elektabilitas dengan cepat. Kedua, pertarungan kedua tim sukses menuju 9 Juli nanti bakal semakin tajam dan seru. Mereka berpacu dengan waktu. Poin ketiga, boleh jadi SBY sedang memikirkan bagaimana implementasi dari peribahasa: “Gajah Sama Gajah Bertarung, Si Pelanduk yang Jadi Juaranya!”

Ada lagi angka dari Saiful Mujani Research and Consulting yang menarik dicermati. Jika pemilihan langsung Presiden RI dilaksanakan hari ini, pasangan calon presiden yang mana yang dipilih rakyat? Lagi-lagi dengan margin error yang tipis, 2,2 persen, yang hasil potretnya mendekati fakta, seindah warna aslinya. Simulasi pertama, pasangan Jokowi-Mahfud MD (47,5 persen), Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (27,5 persen), dan Aburizal Bakrie-Wiranto (12 persen).

Simulasi kedua, Jokowi-Jusuf Kalla (46,2 persen), Prabowo-Hatta (28,7 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (12,1 persen). Simulasi ketiga, Jokowi-Dahlan Iskan (44,3 persen), Prabowo-Hatta (29 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (12,4 persen). Simulasi keempat, Jokowi-Ahok (44,1 persen), Prabowo-Hatta (30,2 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (12,2 persen). Simulasi kelima, Jokowi-Ryamizard Ryacudu (41 persen), Prabowo-Hatta (30,9 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (13 persen).

Jokowi-Mahfud, Jokowi-JK, Jokowi-Dahlan Iskan, seimbang, sama kuat. Jika pilpres diadakan saat ini, potensi ketiga pasangan itu sangat besar. Angka persentase itu adalah modal politik yang kuat. Tinggal dipilih, tokoh mana yang dalam dua setengah bulan ini bisa bersinergi lebih cepat, dan lebih berpengaruh di seluruh Indonesia!

Angka yang hampir sama juga didapat, ketika disimulasi lawannya Jokowi adalah Prabowo-Ahmad Heryawan. Alternatif pertama, Jokowi-Dahlan Iskan (45,2 persen), Prabowo-Aher (27,6 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (13,2 persen). Alternatif kedua, Jokowi-Hatta (45,1 persen), Prabowo-Aher (27,2 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (13,3 persen). Alternatif ketiga, Jokowi-Mahfud MD (46,5 persen), Prabowo-Aher (27,6 persen), Aburizal Bakrie (12,7 persen). Alternatif keempat, Jokowi-Ahok (43,7 persen), Prabowo-Aher (28,4 persen), dan Aburizal Bakrie-Wiranto (14,1 persen).

Nah, dari angka itu, sebenarnya PD sudah memperoleh sketsa yang hampir jelas, siapa yang paling pas mewakili partai dalam peta koalisi. Persoalannya, masih relevankah rumors bahwa “Di dalam politik itu tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan! Kecuali masih ada kepentingan di atas kepentingan.”

Dalam politik juga ada rumors, kalau merasa mampu mengatasinya, maka: lawan! Kalau tak merasa mampu mengalahkannya, maka: rangkul! Mungkin masih dikalkulasi: Mau dilawan, atau dirangkul. Lagi-lagi, soal taktik melawan, merangkul, atau bahkan merangkul sambil melawan itu sah-sah saja. Tidak ada yang salah. Itu semua adalah seni berpolitik.(*)

*) Penulis adalah Pemred Indopos, Ketua Forum Pemred JPNN. 

Don Kardono
Don Kardono

Oleh: Don Kardono

 

Tak ada lawan ataupun kawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Selama kepentingan bersua dalam satu perahu, di situlah perkawanan terbangun. Pun sebaliknya, di kala kepentingan tak menemukan titik temu, bibit-bibit perlawanan pun tak terhindarkan. Itulah rumors yang semakin mendekati fakta dari dunia politiktainmen.

 

Ada yang menyebut: Politik itu jahat. Tak berperasaan. Tak berperi kemanusiaan. Tak beradab. Tak menggubris sejarah. Tak tahu diri. Tak berterima kasih. Tidak masuk akal. Tidak sehat. Itu semua tidak salah, meskipun juga tidak benar. Peneliti SMRC, Saiful Mujani menyebut, itu biasa-biasa saja. Itu hanyalah seni berpolitik. Kalau sudah terjun di panggung politik, tidak ada yang aneh.

Potong memotong, tutup menutup, kejar mengejar, itu hal yang biasa. Kelihaian memainkan isu, kepintaran memanfaatkan momentum, kecerdikan mengambil sikap, pengendalian emosi, pertarungan batin, itu semua menjadi bagian yang sangat penting bagi politisi. Jujur, baik hati, pemurah, berjiwa sosial, bermanfaat buat banyak orang saja tidak cukup. Jangan pernah berpikir sportivitas dalam kamus politik. Tidak ada menang dan kalah, di siaran politiktainmen. Yang ada hanyalah, menang dan atau menang!

Di situlah seninya. Merebut kemenangan di saat fakta empiriknya sedang kalah. Di situlah lahir istilah propaganda, agitasi, intrik, black campaign, menggorok, gasak, gasruk, gusur, dan sebangsanya. Di sinilah, rupanya, kehebatan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga pendiri partai yang berideologi Pancasila, Konservatisme dan Anti-komunisme ini. Tetap cool, calm, tenang, tanpa banyak berstatemen, di saat partainya sedang rapuh di Pileg 2014.

Termasuk dalam hal koalisi, keputusan konvensi, penentuan siapa capres/cawapres yang diusung partai dan langkah strategis menuju pilpres 2014, SBY terlihat sangat sabar. –Menghindari istilah lambat, lemot, ragu, dan sebangsanya yang berkonotasi negatif–. Di saat riuh ramai orang bersimulasi capres-cawapres, justru selebriti-selebriti politik kita sedang cemas. Lembaga penegak hukum kita terlihat lebih agresif bongkar-bongkar kasus lama yang orang awam pun sudah lupa.

Kasus Bank Century yang menyerempet tokoh pintar Sri Mulyani Indrawati, Boediono dan Jusuf Kalla. Kasus mantan suap Ketua Mahkamah Konstitusi, Dr. H. M. Akil Mochtar, S.H., M.H. yang cukup “membisingkan telinga”  Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. Hadi Poernomo, mantan Ketua BPK dan mantan Dirjen Pajak 2003 dalam skandal dengan BCA. Suryadharma Ali, Ketua Umum PPP dipanggil KPK terkait proyek haji. Bisa jadi “kardus durian” yang aromanya sangat menusuk hidung Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB juga dibuka kembali.

Apakah itu semua semacam psywar? Atau black campaigne? Tidak mudah, bahkan hampir pasti tidak bisa dibuktikan, dugaan seperti itu. Apakah itu aksi penegakan hukum, atau aksi politis? Juga tidak ada yang bisa memastikan. Mengapa kok timing-nya, pasca Pileg 9 April dan datang beruntun?

Yang pasti, tokoh-tokoh potensial yang eksis dan beredar kuat di dunia politiktainmen, satu per satu bisa tergerus nama besarnya, justru di saat-saat mereka haus akan citra positif. Mengapa tidak dari dulu dituntaskan? Ah, mudah-mudahan itu semua hanya kebetulan saja. Karena memang tidak ada koneksi paralel, antara kasus hukum dengan politik. Kalaupun dirasa ada hubungan, mungkin itu yang namanya “hubung singkat” alias korslet saja.

Asyik memang, mengutak-atik percaturan politik menjelang penentuan capres-cawapres dan format koalisi.  Fakta bahwa Prabowo Subianto trend-nya naik, dari 23 persen pada Desember 2013, meningkat menjadi 27 persen di Maret 2014, dan melonjak tajam 37 persen di April 2014. Sebaliknya, kecenderungan Jokowi yang turun, dari 62 persen di bulan Desember 2013, turun lagi menjadi 56 persen di Maret 2014, dan makin turun 50 persen di April 2014, ketika head to head Jokowi v Prabowo disimulasi melalui survei Saiful Mujani.

Ada beberapa hal yang menarik dicermati. Pertama, tim sukses Prabowo bekerja lebih efektif, lebih konkret, dan berhasil menaikkan elektabilitas dengan cepat. Kedua, pertarungan kedua tim sukses menuju 9 Juli nanti bakal semakin tajam dan seru. Mereka berpacu dengan waktu. Poin ketiga, boleh jadi SBY sedang memikirkan bagaimana implementasi dari peribahasa: “Gajah Sama Gajah Bertarung, Si Pelanduk yang Jadi Juaranya!”

Ada lagi angka dari Saiful Mujani Research and Consulting yang menarik dicermati. Jika pemilihan langsung Presiden RI dilaksanakan hari ini, pasangan calon presiden yang mana yang dipilih rakyat? Lagi-lagi dengan margin error yang tipis, 2,2 persen, yang hasil potretnya mendekati fakta, seindah warna aslinya. Simulasi pertama, pasangan Jokowi-Mahfud MD (47,5 persen), Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (27,5 persen), dan Aburizal Bakrie-Wiranto (12 persen).

Simulasi kedua, Jokowi-Jusuf Kalla (46,2 persen), Prabowo-Hatta (28,7 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (12,1 persen). Simulasi ketiga, Jokowi-Dahlan Iskan (44,3 persen), Prabowo-Hatta (29 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (12,4 persen). Simulasi keempat, Jokowi-Ahok (44,1 persen), Prabowo-Hatta (30,2 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (12,2 persen). Simulasi kelima, Jokowi-Ryamizard Ryacudu (41 persen), Prabowo-Hatta (30,9 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (13 persen).

Jokowi-Mahfud, Jokowi-JK, Jokowi-Dahlan Iskan, seimbang, sama kuat. Jika pilpres diadakan saat ini, potensi ketiga pasangan itu sangat besar. Angka persentase itu adalah modal politik yang kuat. Tinggal dipilih, tokoh mana yang dalam dua setengah bulan ini bisa bersinergi lebih cepat, dan lebih berpengaruh di seluruh Indonesia!

Angka yang hampir sama juga didapat, ketika disimulasi lawannya Jokowi adalah Prabowo-Ahmad Heryawan. Alternatif pertama, Jokowi-Dahlan Iskan (45,2 persen), Prabowo-Aher (27,6 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (13,2 persen). Alternatif kedua, Jokowi-Hatta (45,1 persen), Prabowo-Aher (27,2 persen), Aburizal Bakrie-Wiranto (13,3 persen). Alternatif ketiga, Jokowi-Mahfud MD (46,5 persen), Prabowo-Aher (27,6 persen), Aburizal Bakrie (12,7 persen). Alternatif keempat, Jokowi-Ahok (43,7 persen), Prabowo-Aher (28,4 persen), dan Aburizal Bakrie-Wiranto (14,1 persen).

Nah, dari angka itu, sebenarnya PD sudah memperoleh sketsa yang hampir jelas, siapa yang paling pas mewakili partai dalam peta koalisi. Persoalannya, masih relevankah rumors bahwa “Di dalam politik itu tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan! Kecuali masih ada kepentingan di atas kepentingan.”

Dalam politik juga ada rumors, kalau merasa mampu mengatasinya, maka: lawan! Kalau tak merasa mampu mengalahkannya, maka: rangkul! Mungkin masih dikalkulasi: Mau dilawan, atau dirangkul. Lagi-lagi, soal taktik melawan, merangkul, atau bahkan merangkul sambil melawan itu sah-sah saja. Tidak ada yang salah. Itu semua adalah seni berpolitik.(*)

*) Penulis adalah Pemred Indopos, Ketua Forum Pemred JPNN. 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/