MEDAN, SUMUTPOS.CO - Keputusan Menteri Perhubungan No.901/2016 tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) Tahun 2016. Dalam beleid tersebut, tentang peralihan pelabuhan Kuala Tanjung yang semula ditetapkan sebagai pelabuhan hub internasional kini hanya ditempatkan sebagai pelabuhan internasional saja. Hal ini mulai memunculkan penolakkan dari berbagai kalangan. Seperti Dewan Pengguna Jasa Pelabuhan Indonesia (Depalindo) Sumut dan Duta Jokowi Sumut.
Kordinator Daerah (Korda) Duta Jokowi Sumut Delhpius Ginting menyatakan pihaknya akan memberikan laporan kepada presiden yang bertujuan untuk mempertimbangkan kembali sikap Menhub melalui Keputusannya itu agar status pelabuhan hub internasional peti kemas tetap berada di tangan Pelabuhan Kuala Tanjung.
“Sikap Menhub bertolak belakang dengan kebijakan Presden Jokowi. Jangan gara-gara kebijakan Menhub, akhirnya wibawa Presiden Jokowi di mata masyarakat Indonesia khususnya Sumut menjadi jelek. Karena pemerintahan ada ditangan Jokowi. Bukan Menhub. Jadi yang di cap masyarakat tetap Jokowi yang punya kebijakan,” ucapnya kepada wartawan di Medan, kemarin.
Tak hanya itu, Ginting juga menilai, dampak atas kebijakan Menhub tersebut membuat kebudayaan Jawasetrik tak bisa dilepaskan. “Yang rugi adalah perekonomian masyarakat Sumut. Khususnya kabupaten kota yang dekat dengan pelabuhan tersebut. Ini harus ditanggapi secara serius,” ucapnya sembari mengatakan pihaknya baru selesai rapat membahas permasalahan tersebut.
Sebelumnya juga, Ketua Umum Dewan Pengguna Jasa Pelabuhan Indonesia (Depalindo) Sumut Drs Hendrik H Sitompul MM menolak kebijakan Menteri Perhubungan. Ia menilai kebijakan tersebut tidaklah sesuai dengan konsep tol laut dan nawacita yang dicanangkan Presiden RI Jokowi.
“Alasan naiknya biaya karena penggunaan transportasi darat adalah tidak tepat. Karena transportasi ke Kuala Tanjung adalah dengan kapal laut yang akan mendorong terjadinya Short Sea Shipping. Selain itu, kebijakan ini juga tak sesuai dengan konsep tol laut maupun nawacita. Seperti konsep tol laut yang berintegrasinya sistem logistik laut dan darat dengan cara menggabungkan rute berlayar kapal dengan jaringan rel kereta api. Jadi kalau alasan naiknya biaya adalah tidak tepat,” ucap Hendrik.
Kementerian Perhubungan baru-baru ini melimpahkan status pelabuhan hub internasional peti kemas di wilayah barat Indonesia kepada Pelabuhan Tanjung Priok, dari sebelumnya Kuala Tanjung, Sumatra Utara.
Peralihan status pelabuhan pengumpul atau hub internasional itu melalui Keputusan Menteri Perhubungan No.901/2016 tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) Tahun 2016. Dalam beleid tersebut, Pelabuhan Kuala Tanjung yang semula ditetapkan sebagai pelabuhan hub internasional kini hanya ditempatkan sebagai pelabuhan internasional saja.
Beleid yang diteken Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi itu menyebutkan wacana Pelabuhan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan hub internasional peti kemas tidak tepat. Penyebabnya, penerapan kebijakan semua arus peti kemas ekspor dan impor melalui pelabuhan di Sumatra itu akan menyebabkan biaya total transportasi meningkat 1,31%. Hal itu diakibatkan arus lalu lintas truk yang lebih tinggi yang mengakses Pelabuhan Kuala Tanjung dari Jawa dan Sumatra.
Menurut Hendrik, kebijakan tersebut juga akan menjadi blunder. Karena Permenhub tentang RIPN yang baru diterbitkan itu juga bertentangan dengan Perpres No 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Silognas). “Didalam Silognas yang menjadi acuan para menteri juga dijelaskan bahwa percepatan pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan Kuala Tanjung adalah sebagai salah satu prasarana dalam membangun daya saing nasional khususnya perekonomian di Sumut,” kata pria yang menjabat sebagai Anggota DPRD Medan dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Ia juga menyinggung soal Pelabuhan Tanjung Priok yang secara aktual menurutnya nanti juga akan susah diwujudkan. “Karena Tanjung Priok itu di luar jalur utama pelayaran dunia. Deviasi ke Tanjung Priok dari jalur utama memakan waktu 30 jam,” tegasnya.(gus/ram)