25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Ekonomi Sirkular Danone-Aqua, dari Botol Kembali jadi Botol (2)

Sampah Plastik Kita Banyak Residu, Bisakah Tiru Jerman?

Jerman disebut sebagai negara dengan pengelolaan sampah terbaik di dunia saat ini. Di sana, sampah sudah dipilah sejak awal oleh konsumen. Di negeri kita, harus diakui, pemilahan sampah belum se-green beberapa negara. Sampah kita masih campur baur. Alhasil, untuk mendaur ulang sampah-sampah tersebut, proses sortirnya agak ‘capek dan kotor’. Tak hanya itu, sampah-sampah yang bisa didaur ulang itu pun cenderung beresidu.

————————————

Dame Ambarita, Purwosari

————————————

Aroma khas sampah menyeruak, saat rombongan tur media tiba di Tempat Pengumpulan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) ABI Martopuro di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Jika sampah botol plastik di Bangoan Bumi Lestari relatif bersih dan kering, di TPS3R ini sampah plastiknya cenderung lebih kotor.

Kok bisa? Ya… karena plastik-plastik itu disortir dari kumpulan sampah rumahan yang telah campur aduk dengan sampah lainnya. Tongkol jagung, sisa nasi, sisa sayur, plastik, kertas, dan sebagainya bercampur aduk membentuk campuran beraroma tidak enak.

“Kalau sampah kiriman Bank Sampah relatif bersih. Kebetulan… sampah-sampah ini dikutip dari sampah rumah warga. Yah…, memang belum semua warga desa kita sadar sampah. Tetapi yang sadar sampah diperkirakan sudah mencapai 50 persen,” kata Kepala Desa Martopuro, Suryanto, kepada awak media.

Para pekerja tampak sibuk menyortir sampah yang baru diturunkan dari pick up. Sampah-sampah itu digerakkan dalam conveyor. Sampah organik yang mudah terurai seperti sisa makanan, buah, daun-daunan, dimasukkan ke kantong khusus. Nantinya akan dijadikan pakan ternak atau jadi kompos. Sampah plastik disisihkan buat dijual ke pengepul, sebelum dikirim ke pabrik untuk didaur ulang.

“TPS3R kita ini adalah mitra Danone-Aqua dalam program IRI. Setiap hari, TPS3R kita menyerap sekitar 3 ton sampah dari warga 8 dusun yang ada di desa kami,” kata Heru Handoko, pengelola TPS3R Martopuro, kepada awak media.

Ada beberapa jenis tempat pengumpulan sampah yang dibedakan menurut skalanya. Yakni Collection Center, Tempat Pengumpulan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS3R), dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).

Ada 15 tempat pengumpulan sampah yang dibina oleh Danone-Aqua dan YPCII di dalam program IRI ini. Berupa 4 buah TPS3R yang tersebar di Jatim, Jateng, DIY, 1 Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Bali, dan 10 Collection Center, yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, dan Palu (Sulteng).

TPS3R ABI Martopuro adalah satu dari 2 TPS3R yang berada di Jawa Timur.

“Program IRI ini udah berjalan lebih 2 tahun, sejak Maret 2020. Dan hingga Mei 2022, sampah yang terkumpul sudah mencapai 12.000 ton,” kata dokter Lidia, project manager dari Yayasan Pembangunan Citra Insan Indonesia (YPCII).

Foto: Dame Ambarita
Pekerja menurunkan sampah dari pick up, yang didapat dari rumah-rumah warga di TPS3R ABI Martopuro Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (20/7/2022).

Dari 3 ton sampah yang masuk ke TPS3R ABI Martopuro, hanya sekitar 20 persen atau sekitar 600 kg yang bisa dikirim ke pengepul untuk didaur ulang. Selebihnya dikirim ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

“Sampah organik dijual Rp 800 per kilogram. Botol plastik dijual Rp 3.500 per kg,” kata Heru Handoko. Harga dari pengepul ini lebih rendah Rp 500 dibandingkan harga yang diberikan oleh Bangoan Bumi Lestari.

Plastik kategori PET dari TPS3R ini biasanya dicuci dulu untuk membersihkan residu-residu yang melekat, sebelum dikirim ke pabrik PT Veolia.

Omzet penjualan sampah daur ulang di TPS3R Martopuro sekitar Rp 5-8 jutaan sebulan. “Ditambah iuran sampah dari warga Desa Martopuro Rp7.500 per KK per bulan, uang hasil penjualan sampah tersebut mampu menggaji penyortir sampah dan 8 pekerja (4 tenaga pemeliharaan, 2 sopir, dan 2 kernet). Bahkan sisa anggaran bisa disetor ke anggaran desa,” jelas Heru.

Berdiri tahun 2016, setiap tahun produktivitas pengumpulan sampah di TPS3R ini menunjukkan peningkatan. Tahun ini, jumlah pelanggan naik 17,8% dari tahun sebelumnya. Peningkatan itu berkat dukungan pendampingan dari Danone-AQUA dan mitra-mitranya. Salahsatunya dari YPCII, yang dikoordinir dr Lidia. YPCII memberi pelatihan-pelatihan pengelolaan sampah kepada warga dan mitra bank sampah. Sedangkan Danone-AQUA memberi bantuan fasilitas pengolahan sampah. Seperti bantuan conveyor, armada, dan pengelolaan administrasi.

Melalui pendampingan dan dukungan tersebut, Heru mengakui, keseluruhan proses pengumpulan dan pengolahan sampah berjalan lebih efisien. “Dan tentu saja produktivitas fasilitas kami semakin baik. Dulu pengangkutan sampah paling 2 ton per hari. Dengan penambahan armada, tahun ini bisa 3-4 ton,” katanya.

Kades Martopuro, Suryato mengakui, sejak PTS3R berdiri, kesadaran warga desa untuk memilah sampah semakin tinggi. Kata dia, dari 3.023 KK warga Martopuro atau sekitar 11 ribu jiwa, lebih 50 persen sudah memiliki kesadaran mengelola sampah. “Pelanggan sampah saat ini sudah 1.800 KK,” katanya.

Apa saja perbedaan yang dirasakan sebelum dan setelah TPS3R berdiri?

“Beda. Dibanding dulu, kini Desa Martopuro jauh lebih bersih. Warga tidak lagi membuang sampah ke sungai. Juga tidak membakar. Penyumbatan saluran drainase kini murni karena tanah. Sampah tidak ada lagi,” katanya.

Desa juga lebih tenteram. Dulu, kata dia, sering terjadi gejolak sosial karena buang sampah antar tetangga. “Sekarang tidak lagi. Warga juga mendapat manfaat ekonomi dengan menyetor sampah ke bank sampah,” katanya.

Untuk ke depan, Suryanto mengatakan, membutuhkan pengadaan tong-tong sampah untuk ditempatkan di rumah-rumah warga. Dan peningkatan kesadaran warga mengelola sampah hingga 100 persen.

Foto: Dame Ambarita
dr Lidia, aktivis YPCII9 (dua dari kanan) berfoto bersama kepala sekolah yang ikut mengedukasi murid-muridnya sadar mengelola sampah (tiga dari kanan), kepala desa Martopuro (paling kiri), dan staf desa (paling kanan) di TPS3R Martopuro.

Dr Lidia juga mengakui meningkatnya kesadaran masyarakat Martopuroi. “YPCII aktif mendidik ibu-ibu public figure menjadi kader peningkatan kesadaran mengelola sampah. Sekolah-sekolah juga diajak merekrut beberapa muridnya menjadi influencer. Ditolak… kita sudah biasa. Tak pernah mundur,” katanya seraya tersenyum lebar.

Di tempat-tempat pengumpulan sampah ini, YPCII juga memberi beberapa pelatihan ke para pemulung. Selain pelatihan memilah sampah, juga pelatihan keselamatan kerja. Misalnya memakai alat pelindung diri, supaya para pekerja tidak ketularan penyakit.

Pengelola TPS-nya juga diberi pelatihan manajemen bisnis, seperti sistem pembukuan dan sistem administrasi.

“Dulu masyarakat buang sampah seenaknya. Buang di sungai, parit, dst. Sekarang lebih tertib dan lebih ramah lingkungan,” kata dr Lidia.

Cholifah, kader lingkungan Desa Martopuro yang juga mengelola Bank Sampah mengatakan, saat ini nasabah bank sampah yang dikelolanya di RW 9 dan 10 ada 100-an KK. Per bulan, ia bisa mengumpulkan 600 kg sampah yang bisa didaur ulang. “Hasil penjualan sekitar Rp1 juta per bulan. Memang tidak banyak. Tetapi semagat kita adalah semangat menjaga lingkungan,” katanya.

Sehari-hari berprofesi sebagai perias manten, Cholifah mengaku aktif ‘mengampanyekan’ #bijakberplastik kepada warga desanya, termasuk kepada para manten yang akan dirias. “Bisa dikatakan, separoh warga desa kami sudah sadar memilah dan mengumpul sampah. Disetor ke bank sampah di dusun masing-masing,” katanya.

Tiap lebaran, hasil tabungan sampah ditotal dan dicairkan. “Nasabah bisa mendapat Rp 2 juta setahun. Uang masuk kantong… dan kampungku wani resik tenan (kampungku berani bersih, beneran, Red),” katanya tertawa lebar sambil mengepalkan tangan ke atas.

Jeffri Ricardo, Packaging Circularity Senior Manager Danone Indonesia, mengakui pengelolaan sampah di Indonesia masih tertinggal jauh dari Jerman. Di Jerman, kata dia, persentase sampah yang didaur ulang sudah di atas 50 persen. Pemilahan sampah dilakukan oleh tiap-tiap individu. Dimulai dari rumah, perkantoran, perusahaan, pertokoan, dan seterusnya. Sampah diklasifikasikan menurut jenisnya. Dibagi dalam 4 jenis tong sampah.

“Karena sudah dipilah sejak awal, sampah di sana relatif lebih mudah didaur ulang. Residunya bisa diminimalisir. Kesadaran inilah yang terus kita sosialisasikan dalam program IRI. Pilahlah sampah Anda sejak awal. Karena sampah yang campur aduk ini menambah beban menyortir,” pintanya.

Tantangan pengumpulan bahan daur ulang dari sampah campur aduk adalah kontaminan. Semakin terkontaminasi botol-botol plastik bekas, semakin kecil potensi untuk diduar ulang. Atau semakin ‘berat’ proses menuju daur ulangnya. Karena harus dicuci ulang. “Semakin tinggi kualitas botol, semakin mudah direcycling,” katanya.

Karena itu, selain bekerjasama dengan mitra-mitranya, Danone Aqua tetap memberi edukasi kepada masyarakat sebagai konsumen, agar memahami pentingnya pemilahan sejak dini. “Pemilahan sampah sebaiknya lebih baik dimulai dr rumah,” katanya

Agar sirkularitas dapat terwujud, Danone-AQUA juga mengharapkan peran pemerintah, perusahaan-perusahaan, dan seluruh masyarakat untuk ikut bergerak. Dibutuhkan inisiatif konkrit dari multi-pihak, untuk berkolaborasi dalam penanganan dan pengelolaan sampah plastik. “Seluruh perusahaan yang menggunakan plastik diharapkan masuk dalam ekosistem recycle,” katanya.

Jika semua pihak terlibat dalam ekonomi sirkular, mungkin Indonesia bisa segera menyusul Jerman.  (mea/bersambung)

Jerman disebut sebagai negara dengan pengelolaan sampah terbaik di dunia saat ini. Di sana, sampah sudah dipilah sejak awal oleh konsumen. Di negeri kita, harus diakui, pemilahan sampah belum se-green beberapa negara. Sampah kita masih campur baur. Alhasil, untuk mendaur ulang sampah-sampah tersebut, proses sortirnya agak ‘capek dan kotor’. Tak hanya itu, sampah-sampah yang bisa didaur ulang itu pun cenderung beresidu.

————————————

Dame Ambarita, Purwosari

————————————

Aroma khas sampah menyeruak, saat rombongan tur media tiba di Tempat Pengumpulan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) ABI Martopuro di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Jika sampah botol plastik di Bangoan Bumi Lestari relatif bersih dan kering, di TPS3R ini sampah plastiknya cenderung lebih kotor.

Kok bisa? Ya… karena plastik-plastik itu disortir dari kumpulan sampah rumahan yang telah campur aduk dengan sampah lainnya. Tongkol jagung, sisa nasi, sisa sayur, plastik, kertas, dan sebagainya bercampur aduk membentuk campuran beraroma tidak enak.

“Kalau sampah kiriman Bank Sampah relatif bersih. Kebetulan… sampah-sampah ini dikutip dari sampah rumah warga. Yah…, memang belum semua warga desa kita sadar sampah. Tetapi yang sadar sampah diperkirakan sudah mencapai 50 persen,” kata Kepala Desa Martopuro, Suryanto, kepada awak media.

Para pekerja tampak sibuk menyortir sampah yang baru diturunkan dari pick up. Sampah-sampah itu digerakkan dalam conveyor. Sampah organik yang mudah terurai seperti sisa makanan, buah, daun-daunan, dimasukkan ke kantong khusus. Nantinya akan dijadikan pakan ternak atau jadi kompos. Sampah plastik disisihkan buat dijual ke pengepul, sebelum dikirim ke pabrik untuk didaur ulang.

“TPS3R kita ini adalah mitra Danone-Aqua dalam program IRI. Setiap hari, TPS3R kita menyerap sekitar 3 ton sampah dari warga 8 dusun yang ada di desa kami,” kata Heru Handoko, pengelola TPS3R Martopuro, kepada awak media.

Ada beberapa jenis tempat pengumpulan sampah yang dibedakan menurut skalanya. Yakni Collection Center, Tempat Pengumpulan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS3R), dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).

Ada 15 tempat pengumpulan sampah yang dibina oleh Danone-Aqua dan YPCII di dalam program IRI ini. Berupa 4 buah TPS3R yang tersebar di Jatim, Jateng, DIY, 1 Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Bali, dan 10 Collection Center, yang tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, dan Palu (Sulteng).

TPS3R ABI Martopuro adalah satu dari 2 TPS3R yang berada di Jawa Timur.

“Program IRI ini udah berjalan lebih 2 tahun, sejak Maret 2020. Dan hingga Mei 2022, sampah yang terkumpul sudah mencapai 12.000 ton,” kata dokter Lidia, project manager dari Yayasan Pembangunan Citra Insan Indonesia (YPCII).

Foto: Dame Ambarita
Pekerja menurunkan sampah dari pick up, yang didapat dari rumah-rumah warga di TPS3R ABI Martopuro Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (20/7/2022).

Dari 3 ton sampah yang masuk ke TPS3R ABI Martopuro, hanya sekitar 20 persen atau sekitar 600 kg yang bisa dikirim ke pengepul untuk didaur ulang. Selebihnya dikirim ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

“Sampah organik dijual Rp 800 per kilogram. Botol plastik dijual Rp 3.500 per kg,” kata Heru Handoko. Harga dari pengepul ini lebih rendah Rp 500 dibandingkan harga yang diberikan oleh Bangoan Bumi Lestari.

Plastik kategori PET dari TPS3R ini biasanya dicuci dulu untuk membersihkan residu-residu yang melekat, sebelum dikirim ke pabrik PT Veolia.

Omzet penjualan sampah daur ulang di TPS3R Martopuro sekitar Rp 5-8 jutaan sebulan. “Ditambah iuran sampah dari warga Desa Martopuro Rp7.500 per KK per bulan, uang hasil penjualan sampah tersebut mampu menggaji penyortir sampah dan 8 pekerja (4 tenaga pemeliharaan, 2 sopir, dan 2 kernet). Bahkan sisa anggaran bisa disetor ke anggaran desa,” jelas Heru.

Berdiri tahun 2016, setiap tahun produktivitas pengumpulan sampah di TPS3R ini menunjukkan peningkatan. Tahun ini, jumlah pelanggan naik 17,8% dari tahun sebelumnya. Peningkatan itu berkat dukungan pendampingan dari Danone-AQUA dan mitra-mitranya. Salahsatunya dari YPCII, yang dikoordinir dr Lidia. YPCII memberi pelatihan-pelatihan pengelolaan sampah kepada warga dan mitra bank sampah. Sedangkan Danone-AQUA memberi bantuan fasilitas pengolahan sampah. Seperti bantuan conveyor, armada, dan pengelolaan administrasi.

Melalui pendampingan dan dukungan tersebut, Heru mengakui, keseluruhan proses pengumpulan dan pengolahan sampah berjalan lebih efisien. “Dan tentu saja produktivitas fasilitas kami semakin baik. Dulu pengangkutan sampah paling 2 ton per hari. Dengan penambahan armada, tahun ini bisa 3-4 ton,” katanya.

Kades Martopuro, Suryato mengakui, sejak PTS3R berdiri, kesadaran warga desa untuk memilah sampah semakin tinggi. Kata dia, dari 3.023 KK warga Martopuro atau sekitar 11 ribu jiwa, lebih 50 persen sudah memiliki kesadaran mengelola sampah. “Pelanggan sampah saat ini sudah 1.800 KK,” katanya.

Apa saja perbedaan yang dirasakan sebelum dan setelah TPS3R berdiri?

“Beda. Dibanding dulu, kini Desa Martopuro jauh lebih bersih. Warga tidak lagi membuang sampah ke sungai. Juga tidak membakar. Penyumbatan saluran drainase kini murni karena tanah. Sampah tidak ada lagi,” katanya.

Desa juga lebih tenteram. Dulu, kata dia, sering terjadi gejolak sosial karena buang sampah antar tetangga. “Sekarang tidak lagi. Warga juga mendapat manfaat ekonomi dengan menyetor sampah ke bank sampah,” katanya.

Untuk ke depan, Suryanto mengatakan, membutuhkan pengadaan tong-tong sampah untuk ditempatkan di rumah-rumah warga. Dan peningkatan kesadaran warga mengelola sampah hingga 100 persen.

Foto: Dame Ambarita
dr Lidia, aktivis YPCII9 (dua dari kanan) berfoto bersama kepala sekolah yang ikut mengedukasi murid-muridnya sadar mengelola sampah (tiga dari kanan), kepala desa Martopuro (paling kiri), dan staf desa (paling kanan) di TPS3R Martopuro.

Dr Lidia juga mengakui meningkatnya kesadaran masyarakat Martopuroi. “YPCII aktif mendidik ibu-ibu public figure menjadi kader peningkatan kesadaran mengelola sampah. Sekolah-sekolah juga diajak merekrut beberapa muridnya menjadi influencer. Ditolak… kita sudah biasa. Tak pernah mundur,” katanya seraya tersenyum lebar.

Di tempat-tempat pengumpulan sampah ini, YPCII juga memberi beberapa pelatihan ke para pemulung. Selain pelatihan memilah sampah, juga pelatihan keselamatan kerja. Misalnya memakai alat pelindung diri, supaya para pekerja tidak ketularan penyakit.

Pengelola TPS-nya juga diberi pelatihan manajemen bisnis, seperti sistem pembukuan dan sistem administrasi.

“Dulu masyarakat buang sampah seenaknya. Buang di sungai, parit, dst. Sekarang lebih tertib dan lebih ramah lingkungan,” kata dr Lidia.

Cholifah, kader lingkungan Desa Martopuro yang juga mengelola Bank Sampah mengatakan, saat ini nasabah bank sampah yang dikelolanya di RW 9 dan 10 ada 100-an KK. Per bulan, ia bisa mengumpulkan 600 kg sampah yang bisa didaur ulang. “Hasil penjualan sekitar Rp1 juta per bulan. Memang tidak banyak. Tetapi semagat kita adalah semangat menjaga lingkungan,” katanya.

Sehari-hari berprofesi sebagai perias manten, Cholifah mengaku aktif ‘mengampanyekan’ #bijakberplastik kepada warga desanya, termasuk kepada para manten yang akan dirias. “Bisa dikatakan, separoh warga desa kami sudah sadar memilah dan mengumpul sampah. Disetor ke bank sampah di dusun masing-masing,” katanya.

Tiap lebaran, hasil tabungan sampah ditotal dan dicairkan. “Nasabah bisa mendapat Rp 2 juta setahun. Uang masuk kantong… dan kampungku wani resik tenan (kampungku berani bersih, beneran, Red),” katanya tertawa lebar sambil mengepalkan tangan ke atas.

Jeffri Ricardo, Packaging Circularity Senior Manager Danone Indonesia, mengakui pengelolaan sampah di Indonesia masih tertinggal jauh dari Jerman. Di Jerman, kata dia, persentase sampah yang didaur ulang sudah di atas 50 persen. Pemilahan sampah dilakukan oleh tiap-tiap individu. Dimulai dari rumah, perkantoran, perusahaan, pertokoan, dan seterusnya. Sampah diklasifikasikan menurut jenisnya. Dibagi dalam 4 jenis tong sampah.

“Karena sudah dipilah sejak awal, sampah di sana relatif lebih mudah didaur ulang. Residunya bisa diminimalisir. Kesadaran inilah yang terus kita sosialisasikan dalam program IRI. Pilahlah sampah Anda sejak awal. Karena sampah yang campur aduk ini menambah beban menyortir,” pintanya.

Tantangan pengumpulan bahan daur ulang dari sampah campur aduk adalah kontaminan. Semakin terkontaminasi botol-botol plastik bekas, semakin kecil potensi untuk diduar ulang. Atau semakin ‘berat’ proses menuju daur ulangnya. Karena harus dicuci ulang. “Semakin tinggi kualitas botol, semakin mudah direcycling,” katanya.

Karena itu, selain bekerjasama dengan mitra-mitranya, Danone Aqua tetap memberi edukasi kepada masyarakat sebagai konsumen, agar memahami pentingnya pemilahan sejak dini. “Pemilahan sampah sebaiknya lebih baik dimulai dr rumah,” katanya

Agar sirkularitas dapat terwujud, Danone-AQUA juga mengharapkan peran pemerintah, perusahaan-perusahaan, dan seluruh masyarakat untuk ikut bergerak. Dibutuhkan inisiatif konkrit dari multi-pihak, untuk berkolaborasi dalam penanganan dan pengelolaan sampah plastik. “Seluruh perusahaan yang menggunakan plastik diharapkan masuk dalam ekosistem recycle,” katanya.

Jika semua pihak terlibat dalam ekonomi sirkular, mungkin Indonesia bisa segera menyusul Jerman.  (mea/bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/