30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kelangkaan Elpiji 3 Kg di Sumut jadi Bumerang

FOTO: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah pekerja mengangkut gas elpiji ukuran 3 kg dari mobil pengangkut di jalan Perintis Kemerdekaan Medan, Kamis (27/11).
FOTO: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah pekerja mengangkut gas elpiji ukuran 3 kg dari mobil pengangkut di jalan Perintis Kemerdekaan Medan, Kamis (27/11).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah harus segera memenuhi pasokan gas elpiji 3 kilogram, mengatasi kelangkaan yang terjadi dalam seminggu terakhir di sejumlah daerah di Sumatera Utara, termasuk Kota Medan.

Menurut pengamat energi, Sofyano Zakaria, langkah tersebut sangat dibutuhkan, karena gas telah menjadi kebutuhan utama masyarakat. Jika terus berlangsung, harga akan merangkak naik, bahkan dapat melebihi Rp20 ribu/tabung dari yang sebelumnya hanya berkisar Rp14.000 sampai Rp15.000.

Selain harus segera memenuhi ketersediaan pasokan, Direktur Eksekutif Pusat Kebijakan Publik (Puskepi) ini juga menilai, pemerintah perlu tidak buru-buru menaikkan harga gas elpiji 3 kg.

“Sebaiknya pemerintah tidak naikkan harga elpiji 3 kg dalam waktu 7-8 bulan ini. Nanti setelah dampak kenaikan BBM subsidi mereda, barulah pemerintah lakukan pengalihan subsidi elpiji 3 kg,” katanya di Jakarta, Minggu (30/11).

Menurut Sofyano, subsidi pemerintah terhadap elpiji 3 kg saat ini sudah mencapai sekitar Rp 8.500/kg. Sementara harga keekonomian elpiji sekitar Rp.12.000/kg. Subsidi pemerintah untuk elpiji 3 kg sudah mencapai sekitar Rp55 trilun per tahun. Kondisi ini tentu bisa menjadi bumerang dan bom waktu bagi pemerintah.

Makanya pemerintah menurut Sofyano, tetap harus mengkaji soal subsidi. Namun kenaikan penting dilakukan secara bertahap, dimulai sebesar Rp1.000/kg setiap tahun. “Untuk mengendalikan penggunaan elpiji 3 kg yang disubsidi pemerintah, sebaiknya pemerintah menetapkan peraturan tentang penggunaan elpiji 3 kg, hanya untuk alat memasak rumah tangga dan untuk usaha mikro,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu meningkatkan pengawasan penyaluran di lapangan. Karena ternyata pengawasan untuk elpiji 3 kg yang jadi domain kewenangan pemerintah daerah, tidak berjalan sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Bersama Mendagri dan Menteri ESDM nomor 17 tahun 2011.

“Pertamina bukanlah pihak yang diberi kewenangan melakukan pengawasan. Jadi adalah salah jika Pertamina dikatakan sebagai pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap distribusi elpiji 3 kg,” katanya. Pertamina kata Sofyano, adalah badan usaha dan bukan regulator. Karena itu sebagai badan usaha atau pelaku usaha, sangat aneh jika Pertamina yang melakukan pengawasan.

Sofyano juga menilai, nantinya pemerintah perlu memerhatikan ke mana pengalihan subsidi elpiji 3 kg diarahkan. Paling tidak, bagi pembangunan jaringan pipa gas alam ke perumahan penduduk miskin. “Penduduk miskin disiapkan gas alam yang harganya jauh lebih murah ketimbang elpiji. Karena elpiji berbeda dengan gas alam. Elpiji merupakan produk sampingan dari pengolahan minyak. Jumlah atau prosentase nya sangat sedikit sekali,” katanya. Dari 100 persen minyak mentah yang diolah menjadi BBM di kilang, menghasilkan elpiji sekitar 3 persen saja. Makanya kata Sofyano, harga elpiji menjadi sangat mahal dan elpiji dominan di impor dari luar negeri. (gir)

FOTO: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Sejumlah pekerja mengangkut gas elpiji ukuran 3 kg dari mobil pengangkut di jalan Perintis Kemerdekaan Medan, Kamis (27/11).
FOTO: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Sejumlah pekerja mengangkut gas elpiji ukuran 3 kg dari mobil pengangkut di jalan Perintis Kemerdekaan Medan, Kamis (27/11).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah harus segera memenuhi pasokan gas elpiji 3 kilogram, mengatasi kelangkaan yang terjadi dalam seminggu terakhir di sejumlah daerah di Sumatera Utara, termasuk Kota Medan.

Menurut pengamat energi, Sofyano Zakaria, langkah tersebut sangat dibutuhkan, karena gas telah menjadi kebutuhan utama masyarakat. Jika terus berlangsung, harga akan merangkak naik, bahkan dapat melebihi Rp20 ribu/tabung dari yang sebelumnya hanya berkisar Rp14.000 sampai Rp15.000.

Selain harus segera memenuhi ketersediaan pasokan, Direktur Eksekutif Pusat Kebijakan Publik (Puskepi) ini juga menilai, pemerintah perlu tidak buru-buru menaikkan harga gas elpiji 3 kg.

“Sebaiknya pemerintah tidak naikkan harga elpiji 3 kg dalam waktu 7-8 bulan ini. Nanti setelah dampak kenaikan BBM subsidi mereda, barulah pemerintah lakukan pengalihan subsidi elpiji 3 kg,” katanya di Jakarta, Minggu (30/11).

Menurut Sofyano, subsidi pemerintah terhadap elpiji 3 kg saat ini sudah mencapai sekitar Rp 8.500/kg. Sementara harga keekonomian elpiji sekitar Rp.12.000/kg. Subsidi pemerintah untuk elpiji 3 kg sudah mencapai sekitar Rp55 trilun per tahun. Kondisi ini tentu bisa menjadi bumerang dan bom waktu bagi pemerintah.

Makanya pemerintah menurut Sofyano, tetap harus mengkaji soal subsidi. Namun kenaikan penting dilakukan secara bertahap, dimulai sebesar Rp1.000/kg setiap tahun. “Untuk mengendalikan penggunaan elpiji 3 kg yang disubsidi pemerintah, sebaiknya pemerintah menetapkan peraturan tentang penggunaan elpiji 3 kg, hanya untuk alat memasak rumah tangga dan untuk usaha mikro,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu meningkatkan pengawasan penyaluran di lapangan. Karena ternyata pengawasan untuk elpiji 3 kg yang jadi domain kewenangan pemerintah daerah, tidak berjalan sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Bersama Mendagri dan Menteri ESDM nomor 17 tahun 2011.

“Pertamina bukanlah pihak yang diberi kewenangan melakukan pengawasan. Jadi adalah salah jika Pertamina dikatakan sebagai pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap distribusi elpiji 3 kg,” katanya. Pertamina kata Sofyano, adalah badan usaha dan bukan regulator. Karena itu sebagai badan usaha atau pelaku usaha, sangat aneh jika Pertamina yang melakukan pengawasan.

Sofyano juga menilai, nantinya pemerintah perlu memerhatikan ke mana pengalihan subsidi elpiji 3 kg diarahkan. Paling tidak, bagi pembangunan jaringan pipa gas alam ke perumahan penduduk miskin. “Penduduk miskin disiapkan gas alam yang harganya jauh lebih murah ketimbang elpiji. Karena elpiji berbeda dengan gas alam. Elpiji merupakan produk sampingan dari pengolahan minyak. Jumlah atau prosentase nya sangat sedikit sekali,” katanya. Dari 100 persen minyak mentah yang diolah menjadi BBM di kilang, menghasilkan elpiji sekitar 3 persen saja. Makanya kata Sofyano, harga elpiji menjadi sangat mahal dan elpiji dominan di impor dari luar negeri. (gir)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/