30 C
Medan
Tuesday, May 7, 2024

Sumut Bergantung Pada Sektor Pertanian

File/SUMUT POS Seorang pekerja mengumpulkan getah karet yang sebelumnya ditampung dari batang pohon di lahan PT.Bridgestone di Huta Marihat Tengah, Kelurahan Serbelawan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Harga karet Indonesia jenis SIR 20 di pasar internasional menunjukkan tren meningkat. "Harga karet memang masih fluktuasi, tapi trennya terus meningkat meski tidak terlalu besar. Dibanding harga tanggal 1 Agustus, harga pekan ketiga Agustus naik 0,185 dolar AS per kg untuk posisi pengapalan September
File/SUMUT POS
Seorang pekerja mengumpulkan getah karet yang sebelumnya ditampung dari batang pohon di lahan PT.Bridgestone di Huta Marihat Tengah, Kelurahan Serbelawan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Tidak bisa dipungkiri pertumbuhan ekonomi Sumut selama ini identik dengan pertumbuhan sektor pertanian khususnya perkebunan. Pertumbuhan itu dari sisi sektor ekonomi produktifnya. Sedangkan dari sisi konsumsi, jelas konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Sumut. Hal ini diutarakan pengamat ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin.

Menurutnya, Sumut sangat bergantung dari sektor tersebut menjadi persoalan. Padahal, sektor pertanian ini sangat bergantung dari volatilitas harga komoditas pertanian di dunia. Sehingga, volatilitas pada harga komoditas tersebut tidak begitu menguntungkan Sumut saat terjadi penurunan harga seperti yang terjadi saat ini.

“Untuk menghindari ketergantungan yang akut dari komoditas, maka memang yang bisa dioptimalkan adalah pengembangan industri hilir. Ini menjadi salah satu cara agar manufaktur di wilayah Sumut bisa dihidupkan. Artinya, sektor pertanian (perkebunan) yang menjadi tulang punggung Sumut, jika dioptimalkan mulai dari bahan mentah ke bahan jadi tentunya akan memiliki nilai tambah yang besar,” ungkap Gunawan, Rabu (30/11).

Diutarakan dia, jika manufaktur bisa dihidupkan Sumut akan lebih kuat bila berhadapan dengan volatilitas harga komoditas yang mengalami penurunan. Karena faktanya Sumut sampai saat ini mayoritas masih menjual bahan mentah ke negara lain. Belum sepenuhnya mampu dikelola hingga dalam bentuk barang jadi di sini.

“Jika bergantung pada ekspor komoditas mentah, masalah lainnya yang bakal timbul adalah kalau kita mencoba untuk menghasilkan produk jadi di Sumut. Artinya jika sebelumnya negara tujuan ekspor Sumut mendapatkan bagian untuk mengolah bahan baku dari Sumut untuk produk jadi. Namun, tiba-tiba saja kita mandiri dengan menghasilkan barang jadi,” sebut Gunawan.

Oleh karenanya, dia sangat yakin jika barang jadi tersebut dijual ke negara yang sebelumnya hanya mengimpor barang mentah. Maka, yang terjadi adalah resistensi dari negara tersebut. Karena, mereka akan mengalami kerugian besar harus menutup pabrik dan mem-PHK karyawan. Ini tantangannya jika tidak segera membenahi sektor hilir di Sumut.

Dia melanjutkan, banyak masyarakat yang menilai pertumbuhan ekonomi Sumut belum begitu dirasakan bagi pemulihan daya beli masyarakat Sumut, khususnya terkait dengan masalah penyerapan tenaga kerja. Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi yang masih mampu diatas rata-rata nasional namun daya beli masyarakat Sumut belum sepenuhnya membaik.

“Hal ini sangat wajar terjadi, pertama dengan pertumbuhan dikisaran 5,2%. Saya tidak begitu yakin akan mampu menyerap semua tenaga kerja potensial untuk mengurangi angka pengangguran. Kita setidaknya butuh pertumbuhan dikisaran 6,7% setiap tahunnya. Ditambah lagi, teknologi saat ini juga mulai berperan untuk menggantikan manusia. Sehingga pertumbuhan ekonomi makin lama semakin buruk kualitasnya dalam serapan tenaga kerja,” jabar dosen Universitas Islam Negeri Sumut ini.

Ia menambahkan, untuk Sumut ada begitu banyak proyek pembangunan infrastruktur. Dengan program padat karya, sambungnya, untuk sementara mampu menjadi motor daya beli masyarakat. Meski demikian, masih membutuhkan serapan tenaga kerja formal yang bisa menjaga daya beli masyarakat dalam jangka panjang. (ris)

 

 

File/SUMUT POS Seorang pekerja mengumpulkan getah karet yang sebelumnya ditampung dari batang pohon di lahan PT.Bridgestone di Huta Marihat Tengah, Kelurahan Serbelawan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Harga karet Indonesia jenis SIR 20 di pasar internasional menunjukkan tren meningkat. "Harga karet memang masih fluktuasi, tapi trennya terus meningkat meski tidak terlalu besar. Dibanding harga tanggal 1 Agustus, harga pekan ketiga Agustus naik 0,185 dolar AS per kg untuk posisi pengapalan September
File/SUMUT POS
Seorang pekerja mengumpulkan getah karet yang sebelumnya ditampung dari batang pohon di lahan PT.Bridgestone di Huta Marihat Tengah, Kelurahan Serbelawan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Tidak bisa dipungkiri pertumbuhan ekonomi Sumut selama ini identik dengan pertumbuhan sektor pertanian khususnya perkebunan. Pertumbuhan itu dari sisi sektor ekonomi produktifnya. Sedangkan dari sisi konsumsi, jelas konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Sumut. Hal ini diutarakan pengamat ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin.

Menurutnya, Sumut sangat bergantung dari sektor tersebut menjadi persoalan. Padahal, sektor pertanian ini sangat bergantung dari volatilitas harga komoditas pertanian di dunia. Sehingga, volatilitas pada harga komoditas tersebut tidak begitu menguntungkan Sumut saat terjadi penurunan harga seperti yang terjadi saat ini.

“Untuk menghindari ketergantungan yang akut dari komoditas, maka memang yang bisa dioptimalkan adalah pengembangan industri hilir. Ini menjadi salah satu cara agar manufaktur di wilayah Sumut bisa dihidupkan. Artinya, sektor pertanian (perkebunan) yang menjadi tulang punggung Sumut, jika dioptimalkan mulai dari bahan mentah ke bahan jadi tentunya akan memiliki nilai tambah yang besar,” ungkap Gunawan, Rabu (30/11).

Diutarakan dia, jika manufaktur bisa dihidupkan Sumut akan lebih kuat bila berhadapan dengan volatilitas harga komoditas yang mengalami penurunan. Karena faktanya Sumut sampai saat ini mayoritas masih menjual bahan mentah ke negara lain. Belum sepenuhnya mampu dikelola hingga dalam bentuk barang jadi di sini.

“Jika bergantung pada ekspor komoditas mentah, masalah lainnya yang bakal timbul adalah kalau kita mencoba untuk menghasilkan produk jadi di Sumut. Artinya jika sebelumnya negara tujuan ekspor Sumut mendapatkan bagian untuk mengolah bahan baku dari Sumut untuk produk jadi. Namun, tiba-tiba saja kita mandiri dengan menghasilkan barang jadi,” sebut Gunawan.

Oleh karenanya, dia sangat yakin jika barang jadi tersebut dijual ke negara yang sebelumnya hanya mengimpor barang mentah. Maka, yang terjadi adalah resistensi dari negara tersebut. Karena, mereka akan mengalami kerugian besar harus menutup pabrik dan mem-PHK karyawan. Ini tantangannya jika tidak segera membenahi sektor hilir di Sumut.

Dia melanjutkan, banyak masyarakat yang menilai pertumbuhan ekonomi Sumut belum begitu dirasakan bagi pemulihan daya beli masyarakat Sumut, khususnya terkait dengan masalah penyerapan tenaga kerja. Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi yang masih mampu diatas rata-rata nasional namun daya beli masyarakat Sumut belum sepenuhnya membaik.

“Hal ini sangat wajar terjadi, pertama dengan pertumbuhan dikisaran 5,2%. Saya tidak begitu yakin akan mampu menyerap semua tenaga kerja potensial untuk mengurangi angka pengangguran. Kita setidaknya butuh pertumbuhan dikisaran 6,7% setiap tahunnya. Ditambah lagi, teknologi saat ini juga mulai berperan untuk menggantikan manusia. Sehingga pertumbuhan ekonomi makin lama semakin buruk kualitasnya dalam serapan tenaga kerja,” jabar dosen Universitas Islam Negeri Sumut ini.

Ia menambahkan, untuk Sumut ada begitu banyak proyek pembangunan infrastruktur. Dengan program padat karya, sambungnya, untuk sementara mampu menjadi motor daya beli masyarakat. Meski demikian, masih membutuhkan serapan tenaga kerja formal yang bisa menjaga daya beli masyarakat dalam jangka panjang. (ris)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/