27.8 C
Medan
Monday, May 27, 2024

Ekspor Hasil Tambang Anjlok

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Aturan larangan ekspor hasil tambang dalam bentuk mentah (ore), benar-benar memukul kinerja ekspor tambang. Ketika ekspor sektor pertanian dan industri mencatat kenaikan, ekspor sektor tambang justru anjlok.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, ekspor sektor tambang sepanjang Januari – Maret 2014 tercatat USD 5,89 miliar, turun tajam 24,19 persen jika dibandingkan periode sama 2013 yang mencapai USD 7,77 miliar. “Penyebab utamanya sudah pasti larangan ekspor ore mulai Januari lalu,” ujarnya akhir pekan lalu (2/5).

Sebagaimana diketahui, sesuai amanah Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba), mulai 12 Januari 2014 tidak boleh lagi ada ekspor hasil tambang mentah. Sayangnya, selama masa transisi dari 2009 hingga 2014, tidak ada perusahaan tambang yang membangun smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian.

Karena itu, untuk memaksa perusahaan tambang agar membangun smelter, pemerintah pun menetapkan bea keluar (BK) untuk ekspor hasil tambang dengan kadar tertentu. Tahun ini, tarif BK ditetapkan 25 persen dan bergerak progresif hingga 60 persen pada 2016 mendatang. Akibat tingginya tarif BK tersebut, banyak perusahaan tambang yang mengerem ekspornya.

Menurut Hadi, sejak berlakunya aturan tersebut, banyak perusahaan tambang yang menghentikan ekspornya karena tidak mau terkena bea keluar. Langkah itu juga ditempuh raksasa tambang seperti Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara. “Karena itu turunnya sangat signifikan,” katanya.

Sebagai gambaran, produksi konsentrat Freeport mencapai 2 – 2,5 juta ton per tahun. Sedangkan produksi Newmont mencapai 600.000 – 800.000 ton per tahun. Dari total produksi tersebut, sekitar 30 persen dipasok ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur, dan sisanya diekspor ke Jepang dan Spanyol. Sejak 12 Januari 2014, dua perusahaan yang induknya berada di Amerika Serikat (AS) tersebut menghentikan ekspornya.

Meski demikian, lanjut Hadi, dirinya memproyeksi ekspor tambang akan kembali naik. Sebab, saat ini lima perusahaan sudah mengantongi rekomendasi ekspor mineral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jika nanti perusahaan tersebut sudah mendapat surat persetujuan ekspor (SPE) dari Kementerian Perdagangan, ekspor bisa langsung dilakukan. “Setelah itu ekspor mineral mungkin langsung naik signifikan karena stok sejak Januari akan dilepas (ke pasar),” tuturnya.

Data Kementerian ESDM menyebut, lima perusahaan yang sudah mendapat rekomendasi ekspor adalah PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), PT Lumbung Mineral Sentosa, dan PT Damar Narmada Bakti. (owi/sof)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Aturan larangan ekspor hasil tambang dalam bentuk mentah (ore), benar-benar memukul kinerja ekspor tambang. Ketika ekspor sektor pertanian dan industri mencatat kenaikan, ekspor sektor tambang justru anjlok.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, ekspor sektor tambang sepanjang Januari – Maret 2014 tercatat USD 5,89 miliar, turun tajam 24,19 persen jika dibandingkan periode sama 2013 yang mencapai USD 7,77 miliar. “Penyebab utamanya sudah pasti larangan ekspor ore mulai Januari lalu,” ujarnya akhir pekan lalu (2/5).

Sebagaimana diketahui, sesuai amanah Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba), mulai 12 Januari 2014 tidak boleh lagi ada ekspor hasil tambang mentah. Sayangnya, selama masa transisi dari 2009 hingga 2014, tidak ada perusahaan tambang yang membangun smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian.

Karena itu, untuk memaksa perusahaan tambang agar membangun smelter, pemerintah pun menetapkan bea keluar (BK) untuk ekspor hasil tambang dengan kadar tertentu. Tahun ini, tarif BK ditetapkan 25 persen dan bergerak progresif hingga 60 persen pada 2016 mendatang. Akibat tingginya tarif BK tersebut, banyak perusahaan tambang yang mengerem ekspornya.

Menurut Hadi, sejak berlakunya aturan tersebut, banyak perusahaan tambang yang menghentikan ekspornya karena tidak mau terkena bea keluar. Langkah itu juga ditempuh raksasa tambang seperti Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara. “Karena itu turunnya sangat signifikan,” katanya.

Sebagai gambaran, produksi konsentrat Freeport mencapai 2 – 2,5 juta ton per tahun. Sedangkan produksi Newmont mencapai 600.000 – 800.000 ton per tahun. Dari total produksi tersebut, sekitar 30 persen dipasok ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur, dan sisanya diekspor ke Jepang dan Spanyol. Sejak 12 Januari 2014, dua perusahaan yang induknya berada di Amerika Serikat (AS) tersebut menghentikan ekspornya.

Meski demikian, lanjut Hadi, dirinya memproyeksi ekspor tambang akan kembali naik. Sebab, saat ini lima perusahaan sudah mengantongi rekomendasi ekspor mineral dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jika nanti perusahaan tersebut sudah mendapat surat persetujuan ekspor (SPE) dari Kementerian Perdagangan, ekspor bisa langsung dilakukan. “Setelah itu ekspor mineral mungkin langsung naik signifikan karena stok sejak Januari akan dilepas (ke pasar),” tuturnya.

Data Kementerian ESDM menyebut, lima perusahaan yang sudah mendapat rekomendasi ekspor adalah PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), PT Lumbung Mineral Sentosa, dan PT Damar Narmada Bakti. (owi/sof)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/