27.8 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Masyarakat Kembali ke Premium

Pertalite hadir di medan, September ini.
Pertalite si SPBU.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Program Pertamina yang ingin mengalihkan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi yaitu Premium ke BBM Nonsubsidi, Pertalite dipastikan gagal karena adanya kenaikan harga pada 5 Januari 2017 yang lalu. Perbedaan harga sekitar Rp600 per liter akan membuat masyarakat yang sudah menggunakan Pertalite akan kembali ke Premium.

Ekonom dari Univeritas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN Sumut), Gunawan Benjamin menyatakan bahwa permintaan akan Premium akan meningkat setelah masyarakat seutuhnya sudah mengetahui perbedaan harga tersebut.

“Hitungan matematika nya yang paling mudah itu adalah masyarakat yang menggunakan Pertalite akan kembali ke Premium karena harganya yang lebih murah. Dan kalau ini terjadi program Pertamina agar masyarakat menggunakan bahan bakar nonsubsidi yang ramah lingkungan menjadi sia-sia,” ujarnya.

Dijelaskannya, peralihan penggunaan BBM ini di kalangan masyarakat bukan hanya karena perbedaan harga, tetapi karena dipastikan semua harga kebutuhan akan mengalami kenaikan dampak dari kenaikan harga BBM ini.

Saat pertama kali diluncurkan di tengah masyarakat pada Juli 2015 yang lalu, Pertalite dibandrol dengan harga sebesar Rp8.400 perliter.  Sedangkan untuk Premium dibandrol dengan harga Rp7.400. Perbedaan sebesar Rp1.000 perliter ini ternyata tidak memberikan dampak pada masyarakat. Terbukti, penjualanannya meningkat sangat tinggi.

Sedangkan untuk saat ini, belakangan ini harga pangan seperti cabai dan sayuran mulai mengalami kenaikan. Bahkan, sebelum Pertamina mengumumkan tentang kenaikan harga BBM. Selain itu, harga untuk tariff listrik dan air juga mengalami kenaikan.

“Jadi, cara untuk survive dengan gaji yang ada adalah mencari kebutuhan sekunder, yaitu harga yang lebih murah. Dan dari produk kebutuhan ini, hanya BBM yang memungkinkan untuk dirubah,” tambahnya.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo menganalisa, dampaknya terhadapinflasi Januari ini tidak besar, walaupun pangsa pasar BBM jenis tersebut 57 persen. “Kalau itu naik sekitar 4 persen maka dampak inflasinya sekitar 0,008 persen atau dibulatkan sekitar 0,01 persen,” kata Sasmito, Kamis (5/1).

Selain BBM, bulan Januari ini inflasi juga berpeluang ditekan oleh kenaikan tarif listrik. Mulai 1 Januari 2017 lalu, pemerintah sudah menerapkan penyesuaian tarif listrik tahap pertama bagi 18,9 juta pelanggan 900 Volt Ampere (VA) sesuai dengan rencana pencabutan subsidi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.

Kenaikannya berdasarkan Permen ESDM 28/2016, tarif listrik rumah tangga (R-1) 900 VA yang sebelumnya Rp 605/kWh naik menjadi Rp 791/kWh di 1 Januari 2017. Kemudian pada 1 Maret 2017 tarif naik lagi dari Rp 791/kWh menjadi Rp 1.034/kWh. Lalu di 1 Mei 2017 berubah dari Rp 1.034/kWh menjadi Rp 1.352/kWh.

Meski demikian, Sasmito juga yakin bahwa kenaikan tarif listrik tidak akan berpengaruh besar pada inflasi Januari 2017. Bahkan ia memprediksi listrik akan negatif inflasinya atau deflasi di Januari 2017 yang disebabkan oleh turunnya tarif prabayar pelanggan 1.300 VA ke atas sebesar -8,20 persen sementara pascabayar naik hanya 0,75%. “Walau sangat tipis, di bawah -0.01 persen,” katanya.

Sebelumnya Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto mengatakan, kenaikantarif listrik tersebut belum akan memberikan pengaruh terhadap inflasi di Januari 2017 lantaran mayoritas masyarakat Indonesia masih menggunakan listrik pascabayar.

“Kemungkinan akan ada pengaruhnya pada bulan Maret atau April 2017 tetapi tidak terlalu besar. Harapan kami masih sekitar 0,05 persen,” ujarnya.

Ia merinci, jumlah masyarakat yang menggunakan listrik pasca bayar sebanyak 71 persen, sedangkan jumlah penduduk yang menggunakan listrik prabayar (token) sebanyak 29 persen.

Lebih lanjut, Sasmito mengatakan bahwa andil tarif listrik biasanya 2,5 persen sampai 2,8 persen di bawah beras. Oleh karena itu pada Januari 2017, di saat listrik ada kenaikan tarif, ia berharap kondisi inflasi bisa didorong dengan turunnya harga cabai merah dan cabai rawit. “Saya kira akan moderat, tidak akan terlalu tinggi, tetapi tidak sampai inflasi0,4 persen juga,” ujarnya.  (ris/ram)

 

Pertalite hadir di medan, September ini.
Pertalite si SPBU.

MEDAN, SUMUTPOS.CO  – Program Pertamina yang ingin mengalihkan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi yaitu Premium ke BBM Nonsubsidi, Pertalite dipastikan gagal karena adanya kenaikan harga pada 5 Januari 2017 yang lalu. Perbedaan harga sekitar Rp600 per liter akan membuat masyarakat yang sudah menggunakan Pertalite akan kembali ke Premium.

Ekonom dari Univeritas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN Sumut), Gunawan Benjamin menyatakan bahwa permintaan akan Premium akan meningkat setelah masyarakat seutuhnya sudah mengetahui perbedaan harga tersebut.

“Hitungan matematika nya yang paling mudah itu adalah masyarakat yang menggunakan Pertalite akan kembali ke Premium karena harganya yang lebih murah. Dan kalau ini terjadi program Pertamina agar masyarakat menggunakan bahan bakar nonsubsidi yang ramah lingkungan menjadi sia-sia,” ujarnya.

Dijelaskannya, peralihan penggunaan BBM ini di kalangan masyarakat bukan hanya karena perbedaan harga, tetapi karena dipastikan semua harga kebutuhan akan mengalami kenaikan dampak dari kenaikan harga BBM ini.

Saat pertama kali diluncurkan di tengah masyarakat pada Juli 2015 yang lalu, Pertalite dibandrol dengan harga sebesar Rp8.400 perliter.  Sedangkan untuk Premium dibandrol dengan harga Rp7.400. Perbedaan sebesar Rp1.000 perliter ini ternyata tidak memberikan dampak pada masyarakat. Terbukti, penjualanannya meningkat sangat tinggi.

Sedangkan untuk saat ini, belakangan ini harga pangan seperti cabai dan sayuran mulai mengalami kenaikan. Bahkan, sebelum Pertamina mengumumkan tentang kenaikan harga BBM. Selain itu, harga untuk tariff listrik dan air juga mengalami kenaikan.

“Jadi, cara untuk survive dengan gaji yang ada adalah mencari kebutuhan sekunder, yaitu harga yang lebih murah. Dan dari produk kebutuhan ini, hanya BBM yang memungkinkan untuk dirubah,” tambahnya.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo menganalisa, dampaknya terhadapinflasi Januari ini tidak besar, walaupun pangsa pasar BBM jenis tersebut 57 persen. “Kalau itu naik sekitar 4 persen maka dampak inflasinya sekitar 0,008 persen atau dibulatkan sekitar 0,01 persen,” kata Sasmito, Kamis (5/1).

Selain BBM, bulan Januari ini inflasi juga berpeluang ditekan oleh kenaikan tarif listrik. Mulai 1 Januari 2017 lalu, pemerintah sudah menerapkan penyesuaian tarif listrik tahap pertama bagi 18,9 juta pelanggan 900 Volt Ampere (VA) sesuai dengan rencana pencabutan subsidi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.

Kenaikannya berdasarkan Permen ESDM 28/2016, tarif listrik rumah tangga (R-1) 900 VA yang sebelumnya Rp 605/kWh naik menjadi Rp 791/kWh di 1 Januari 2017. Kemudian pada 1 Maret 2017 tarif naik lagi dari Rp 791/kWh menjadi Rp 1.034/kWh. Lalu di 1 Mei 2017 berubah dari Rp 1.034/kWh menjadi Rp 1.352/kWh.

Meski demikian, Sasmito juga yakin bahwa kenaikan tarif listrik tidak akan berpengaruh besar pada inflasi Januari 2017. Bahkan ia memprediksi listrik akan negatif inflasinya atau deflasi di Januari 2017 yang disebabkan oleh turunnya tarif prabayar pelanggan 1.300 VA ke atas sebesar -8,20 persen sementara pascabayar naik hanya 0,75%. “Walau sangat tipis, di bawah -0.01 persen,” katanya.

Sebelumnya Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto mengatakan, kenaikantarif listrik tersebut belum akan memberikan pengaruh terhadap inflasi di Januari 2017 lantaran mayoritas masyarakat Indonesia masih menggunakan listrik pascabayar.

“Kemungkinan akan ada pengaruhnya pada bulan Maret atau April 2017 tetapi tidak terlalu besar. Harapan kami masih sekitar 0,05 persen,” ujarnya.

Ia merinci, jumlah masyarakat yang menggunakan listrik pasca bayar sebanyak 71 persen, sedangkan jumlah penduduk yang menggunakan listrik prabayar (token) sebanyak 29 persen.

Lebih lanjut, Sasmito mengatakan bahwa andil tarif listrik biasanya 2,5 persen sampai 2,8 persen di bawah beras. Oleh karena itu pada Januari 2017, di saat listrik ada kenaikan tarif, ia berharap kondisi inflasi bisa didorong dengan turunnya harga cabai merah dan cabai rawit. “Saya kira akan moderat, tidak akan terlalu tinggi, tetapi tidak sampai inflasi0,4 persen juga,” ujarnya.  (ris/ram)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/