25.6 C
Medan
Sunday, May 19, 2024

Industri Sawit Tetap Tolak Bea Keluar CPO

Jakarta- Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) bersama stakeholder industri minyak sawit mentah (CPO) tetap menolak kebijakan bea keluar (BK) CPO, dan meminta pemerintah untuk meninjau kembali serta merevisi kebijakan tersebut.

“Sebenarnya tidak ada perubahan signifikan dalam skema dan tarif BK sekarang dengan sebelumnya. Bahkan pada kenyataannya tarif BK sekarang sebenarnya lebih tinggi pada tingkat harga di bawah US$1100 terutama pada tingkat harga US$950-US$1100,” ujar Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan, di Jakarta, Selasa (6/9).

Menurut Fadhil, diperkirakan harga CPO dalam tahun ini dan mendatang akan berada pada kisaran tersebut US$1.000-US$1.100. Dengan demikian pernyataan pemerintah bahwa tarif BK yang berlaku sekarang lebih lebih rendah, adalah menyesatkan dan tidak sesuai dengan kenyataan.

“Pada kenyataannya petani dan produsen CPO dikenakan BK yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Hal ini semakin membuktikan bahwa BK sebenarnya adalah instrumen penerimaan negara,” tandas Fadhil.
Seperti diketahui, pada 15 Agustus 2011 lalu, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK 011/2011 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar (BK) sebagai perubahan atas Permenkeu No. 67/PMK.011/2010.

Dalam PMK yang baru itu batas minimum pengenaan BK untuk CPO sebesar US$750 per ton, sedangkan pada PMK yang lama adalah US$700. Demikian pula batas atas dari BK untuk CPO pada PMK yang baru ditetapkan 22,5% atau turun dari ketentuan pada PMK yang lama sebesar 25% pada tingkat harga US$1250. Untuk produk hilir refine bleach deodorize, bila semula dikenakan tarif BK sebesar maksimum 25%, sekarang maksimum 10%.
Fadhil juga mengkritik argument lain dari pemerintah yang menyatakan bahwa penerapan BK adalah untuk mendorong pengembangan industri hilir CPO, sehingga tarif BK untuk produk hilir ditetapkan lebih rendah daripada CPO.
“Pertanyaannya adalah, mengapa produk hilir masih tetap dikenakan BK? Bukankah ini justru bertentangan dengan upaya mendorong pengembangan industri hilir itu sendiri?” ujar Fadhil.
Jika pemerintah serius, menurut Fahdil, maka seharusnya produk hilir CPO tidak dikenakan BK. Bahkan pemerintah seharusnya memberikan insentif pajak maupun non-pajak untuk pengembangan industri hilir CPO. “Justru adanya perbedaan tarif BK yang cukup signifikan antara CPO dan produk turunannya hanya memberikan insentif lebih lebar bagi adanya smuggling ekspor CPO,” tandasnya.
Di samping itu tidak ada bukti sampai sekarang ini bahwa BK bermanfaat mendorong pengembangan industri pengolahan CPO di dalam negeri. Data semester I 2010 menunjukkan, ekspor produk turunan CPO secara persentase lebih rendah dibandingkan ekspor pada semester I 2011. Padahal tarif BK pada semester I 2011 lebih tinggi dari pada semester I 2010.
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Umum Gapki Joko Supriyono menjelaskan, secara konsepsional dan pada kenyataannya pengenaan BK untuk CPO dan produk turunannya telah membawa dampak negatif bagi pengembangan industri CPO secara keseluruhan. Biaya ekonomi pengenaan BK jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh sehingga ekonomi dirugikan secara keseluruhan.
Menurut Joko, BK telah menambah beban dan menimbulkan high cost economy. Kenyataan menunjukkan, BK tidak berdampak mengurangi pungutan di berbagai daerah. “Justru sebaliknya BK mendorong pemerintah daerah menetapkan berbagai pungutan terhadap CPO, karena BK tidak dapat dikembalikan ke daerah maupun digunakan untuk pengembangan industri CPO secara keseluruhan,” urai Joko.
Akibatnya, lanjut Joko, daya saing industri CPO Indonesia mengalami penurunan terhadap industri CPO negara lain dan juga terhadap minyak nabati lainnya. Pangsa pasar CPO Indonesia menjadi tidak optimal dan diambil oleh negara lain. Pada saat yang sama, skema BK yang progresif justru mendorong spekulasi dan ketidakpastian dalam ekspor CPO Indonesia. (net/jpnn)
Pada gilirannya hal ini membawa dampak menjurunnya posisi tawar para eksportir CPO Indonesia dalam menetapkan harga. Padahal, meskipun Indonesia penghasil dan eksportir sawit terbesar di dunia, namun Indonesia bukan sebagai pihak penentu harga,” jelasnya.
Selain itu, kebijakan BK juga memberikan proteksi yang tidak proposional terhadap industri hilir CPO yang tidak efisien dan berdaya saing. Industri yang tidak efisien akan selalu tergantung pada proteksi atau subsidi sehingga sulit untuk berkembang.
“Di sisi lain, pengenaan BK menyebabkan harga TBS di tingkat petani lebih rendah dibandingkan jika tidak ada BK. Akibatnya petani tidak memiliki insentif untuk melakukan investasi bagi peremajaan dan pemeliharaan kebun secara optimal,” ujar Joko. (net/jpnn)

Jakarta- Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) bersama stakeholder industri minyak sawit mentah (CPO) tetap menolak kebijakan bea keluar (BK) CPO, dan meminta pemerintah untuk meninjau kembali serta merevisi kebijakan tersebut.

“Sebenarnya tidak ada perubahan signifikan dalam skema dan tarif BK sekarang dengan sebelumnya. Bahkan pada kenyataannya tarif BK sekarang sebenarnya lebih tinggi pada tingkat harga di bawah US$1100 terutama pada tingkat harga US$950-US$1100,” ujar Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan, di Jakarta, Selasa (6/9).

Menurut Fadhil, diperkirakan harga CPO dalam tahun ini dan mendatang akan berada pada kisaran tersebut US$1.000-US$1.100. Dengan demikian pernyataan pemerintah bahwa tarif BK yang berlaku sekarang lebih lebih rendah, adalah menyesatkan dan tidak sesuai dengan kenyataan.

“Pada kenyataannya petani dan produsen CPO dikenakan BK yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Hal ini semakin membuktikan bahwa BK sebenarnya adalah instrumen penerimaan negara,” tandas Fadhil.
Seperti diketahui, pada 15 Agustus 2011 lalu, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK 011/2011 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar (BK) sebagai perubahan atas Permenkeu No. 67/PMK.011/2010.

Dalam PMK yang baru itu batas minimum pengenaan BK untuk CPO sebesar US$750 per ton, sedangkan pada PMK yang lama adalah US$700. Demikian pula batas atas dari BK untuk CPO pada PMK yang baru ditetapkan 22,5% atau turun dari ketentuan pada PMK yang lama sebesar 25% pada tingkat harga US$1250. Untuk produk hilir refine bleach deodorize, bila semula dikenakan tarif BK sebesar maksimum 25%, sekarang maksimum 10%.
Fadhil juga mengkritik argument lain dari pemerintah yang menyatakan bahwa penerapan BK adalah untuk mendorong pengembangan industri hilir CPO, sehingga tarif BK untuk produk hilir ditetapkan lebih rendah daripada CPO.
“Pertanyaannya adalah, mengapa produk hilir masih tetap dikenakan BK? Bukankah ini justru bertentangan dengan upaya mendorong pengembangan industri hilir itu sendiri?” ujar Fadhil.
Jika pemerintah serius, menurut Fahdil, maka seharusnya produk hilir CPO tidak dikenakan BK. Bahkan pemerintah seharusnya memberikan insentif pajak maupun non-pajak untuk pengembangan industri hilir CPO. “Justru adanya perbedaan tarif BK yang cukup signifikan antara CPO dan produk turunannya hanya memberikan insentif lebih lebar bagi adanya smuggling ekspor CPO,” tandasnya.
Di samping itu tidak ada bukti sampai sekarang ini bahwa BK bermanfaat mendorong pengembangan industri pengolahan CPO di dalam negeri. Data semester I 2010 menunjukkan, ekspor produk turunan CPO secara persentase lebih rendah dibandingkan ekspor pada semester I 2011. Padahal tarif BK pada semester I 2011 lebih tinggi dari pada semester I 2010.
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Umum Gapki Joko Supriyono menjelaskan, secara konsepsional dan pada kenyataannya pengenaan BK untuk CPO dan produk turunannya telah membawa dampak negatif bagi pengembangan industri CPO secara keseluruhan. Biaya ekonomi pengenaan BK jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh sehingga ekonomi dirugikan secara keseluruhan.
Menurut Joko, BK telah menambah beban dan menimbulkan high cost economy. Kenyataan menunjukkan, BK tidak berdampak mengurangi pungutan di berbagai daerah. “Justru sebaliknya BK mendorong pemerintah daerah menetapkan berbagai pungutan terhadap CPO, karena BK tidak dapat dikembalikan ke daerah maupun digunakan untuk pengembangan industri CPO secara keseluruhan,” urai Joko.
Akibatnya, lanjut Joko, daya saing industri CPO Indonesia mengalami penurunan terhadap industri CPO negara lain dan juga terhadap minyak nabati lainnya. Pangsa pasar CPO Indonesia menjadi tidak optimal dan diambil oleh negara lain. Pada saat yang sama, skema BK yang progresif justru mendorong spekulasi dan ketidakpastian dalam ekspor CPO Indonesia. (net/jpnn)
Pada gilirannya hal ini membawa dampak menjurunnya posisi tawar para eksportir CPO Indonesia dalam menetapkan harga. Padahal, meskipun Indonesia penghasil dan eksportir sawit terbesar di dunia, namun Indonesia bukan sebagai pihak penentu harga,” jelasnya.
Selain itu, kebijakan BK juga memberikan proteksi yang tidak proposional terhadap industri hilir CPO yang tidak efisien dan berdaya saing. Industri yang tidak efisien akan selalu tergantung pada proteksi atau subsidi sehingga sulit untuk berkembang.
“Di sisi lain, pengenaan BK menyebabkan harga TBS di tingkat petani lebih rendah dibandingkan jika tidak ada BK. Akibatnya petani tidak memiliki insentif untuk melakukan investasi bagi peremajaan dan pemeliharaan kebun secara optimal,” ujar Joko. (net/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/