27 C
Medan
Thursday, July 4, 2024

Juli Menurun, Agustus Naik Nilai Ekspor Kelapa Sawit

MEDAN- Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, nilai ekspor Sumut selama bulan Juli 2011 mengalami penurunan dari US$1,047 juta menjadi US$934,49 juta. Yang berarti salah satu komoditas terpenting dari nilai ekspor Sumut, Sawit juga menurun.

Berbagai faktor yang mendukung berkurangnya ekspor sawit ini diindikasi karena kurangnya permintaan masyarakat Internasional juga hal lain. Banyak faktornya, bisa karena lebaran, musim panen Eropa atau lainnya,” ujar Kepala BPS Sumut Suharno.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Medan Taswin Kiflan mengatakan, penurunan nilai ekspor sawit itu biasa terjadi, mengingat permintaan masyarakat Internasional akan sawit Indonesia.
Menurutnya, salah satu faktornya akibat di Eropa mengalami musim panen sehingga permintaan sawit terutama CPO  menurun. “Bulan ini musim panen di Eropa dan negara lainnya, jadi alternatif mereka bisa berupa minyak matahari, jagung, kedelai dan lainnya,” ujar Taswin.

Kebutuhan akan minyak goreng tidak terlalu menjadi prioritas bagi masyarakat Internasional, mengingat kebutuhan akan minyak dapat digantikan dengan berbagai minyak, seperti minyak bunga matahari, minyak dari jagung, minyak kedelai dan minyak rexini.

Selain musim panen di Eropa, lanjutnya, salah satu faktor lainnya adalah bea keluar yang diberlakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Peraturan Bea Keluar ini akan berlaku mengingat harga yang berlaku di pasar, harga CPO berlaku berdasarkan harga yang ditetapkan di Rotterdamn. “Kalau harga dibawah US$600 per metrix ton, maka bea keluar o persen. Tetapi bila harga di atas US$1000 metrix ton dapat bisa mencapai 20 hingga 25 persen,” tambah Taswin.

Menurut Taswin, bea keluar ini membuat para petani kurang bergairah untuk bekerja. Sebab, bea keluar ini akan dimasukkan dalam harga pokok petani dan harga pokok pengusaha. Sehingga, tidak ada hasil yang mereka dapatkan, walau harga sawit di Internasional tinggi. “Harga sawit tinggi, harga bea keluar tinggi. Tapi kalau rendah harganya rendah pula beanya. Jadi tetap tidak ada untung,” papar Taswin.

Walau sudah membayar bea keluar kepada pemerintah, tetapi para petani tidak mendapatkan timbal balik dari hasilnya. “Tiga tahun belakang ini pemerintah telah mendapatkan 40 triliun dari bea. Tapi tak ada timbal balik untuk petani yang diberikan pemerintah,” kata Taswin.

Sementara itu, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Medan Timbas Ginting mengatakan, penurunan nilai ekspor sawit pada Juli 2011 ini tidak memberikan dampak.  “Tidak ada masalah akan penurunan nilai ekspor. Sawit merupakan kebutuhan jadi pasti akan selalu dibutuhkan dan diminta oleh masyarakat,” kata Timbas.
Timbas juga memprediksi bahwa pada Agustus ini nilai ekspor sawit Sumut akan kembali normal karena permintaan akan sawit atau CPO akan kembali meningkat. (mag-9)

MEDAN- Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, nilai ekspor Sumut selama bulan Juli 2011 mengalami penurunan dari US$1,047 juta menjadi US$934,49 juta. Yang berarti salah satu komoditas terpenting dari nilai ekspor Sumut, Sawit juga menurun.

Berbagai faktor yang mendukung berkurangnya ekspor sawit ini diindikasi karena kurangnya permintaan masyarakat Internasional juga hal lain. Banyak faktornya, bisa karena lebaran, musim panen Eropa atau lainnya,” ujar Kepala BPS Sumut Suharno.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Medan Taswin Kiflan mengatakan, penurunan nilai ekspor sawit itu biasa terjadi, mengingat permintaan masyarakat Internasional akan sawit Indonesia.
Menurutnya, salah satu faktornya akibat di Eropa mengalami musim panen sehingga permintaan sawit terutama CPO  menurun. “Bulan ini musim panen di Eropa dan negara lainnya, jadi alternatif mereka bisa berupa minyak matahari, jagung, kedelai dan lainnya,” ujar Taswin.

Kebutuhan akan minyak goreng tidak terlalu menjadi prioritas bagi masyarakat Internasional, mengingat kebutuhan akan minyak dapat digantikan dengan berbagai minyak, seperti minyak bunga matahari, minyak dari jagung, minyak kedelai dan minyak rexini.

Selain musim panen di Eropa, lanjutnya, salah satu faktor lainnya adalah bea keluar yang diberlakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Peraturan Bea Keluar ini akan berlaku mengingat harga yang berlaku di pasar, harga CPO berlaku berdasarkan harga yang ditetapkan di Rotterdamn. “Kalau harga dibawah US$600 per metrix ton, maka bea keluar o persen. Tetapi bila harga di atas US$1000 metrix ton dapat bisa mencapai 20 hingga 25 persen,” tambah Taswin.

Menurut Taswin, bea keluar ini membuat para petani kurang bergairah untuk bekerja. Sebab, bea keluar ini akan dimasukkan dalam harga pokok petani dan harga pokok pengusaha. Sehingga, tidak ada hasil yang mereka dapatkan, walau harga sawit di Internasional tinggi. “Harga sawit tinggi, harga bea keluar tinggi. Tapi kalau rendah harganya rendah pula beanya. Jadi tetap tidak ada untung,” papar Taswin.

Walau sudah membayar bea keluar kepada pemerintah, tetapi para petani tidak mendapatkan timbal balik dari hasilnya. “Tiga tahun belakang ini pemerintah telah mendapatkan 40 triliun dari bea. Tapi tak ada timbal balik untuk petani yang diberikan pemerintah,” kata Taswin.

Sementara itu, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Medan Timbas Ginting mengatakan, penurunan nilai ekspor sawit pada Juli 2011 ini tidak memberikan dampak.  “Tidak ada masalah akan penurunan nilai ekspor. Sawit merupakan kebutuhan jadi pasti akan selalu dibutuhkan dan diminta oleh masyarakat,” kata Timbas.
Timbas juga memprediksi bahwa pada Agustus ini nilai ekspor sawit Sumut akan kembali normal karena permintaan akan sawit atau CPO akan kembali meningkat. (mag-9)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/