Meski hanya ibu rumah tangga, Febryana Panjaitan (49) tetap ingin membantu perekonomian rumah tangga. Apalagi awal pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu suaminya sempat 3 bulan tidak kerja. Bermodal pelatihan dasar-dasar menjahit, wanita itu nekad terima permak-permak baju. Lumayan nambah-nambah uang dapur. Kini, disponsori PT Agincourt Resources, Febry dkk sudah lulus pelatihan tahap ketiga dan berencana membentuk tim konvensi.
——
Sejumlah ibu-ibu terlihat fokus menjahit baju-baju, di lokasi workshop menjahit di Desa Batuhula, Kecamatan Batangtoru, Tapanuli Selatan. Mesin-mesin jahit merek Singer warna putih, terpampang di atas setiap meja. Ibu-ibu itu adalah penjahit binaan PTAR (pengelola Tambang Emas Martabe) bekerjasama dengan Dinasker Tapanuli Selatan.
Febryana Panjaitan, salahsatu dari antara penjahit binaan itu, tampak serius menjahit seragam bermotif batik. Sesekali, ia menjawab pertanyaan dari seorang ibu yang nampaknya murid baru di workshop menjahit tersebut.
Sejak kapan bisa menjahit, bu?
“Dari dulu ingin menjahit, cari yang gratisan. Tapi belum dapat. Bersyukur, April 2020 lalu bisa ikut pelatihan menjahit dari Disnaker,” kata ibu rumah tangga ini, mengawali.
Namun baru paham sedikit tentang dasar-dasar menjahit, pelatihan berikutnya diundur karena pandemi Covid-19. Keterampilan menjahitnya pun tidak berkembang. Sementara itu, pandemi membuat suaminya yang bekerja di Macmahon, menganggur 3 bulan. Wanita lulusan D3 Kesekretariatan Universitas HKBP Nommensen Medan ini pun memutar otak.
“Tiga bulan suami tidak bekerja, yang didapat hanya gaji pokok. Karena situasi tidak pasti, kami bikin ternak lele. Saya juga memberanikan diri menerima permak baju dari hasil pelatihan pertama dasar-dasar menjahit itu. Walau hanya Rp10 ribu-20 ribu sekali permak, tapi kami sangat bersyukur. Setidaknya ada penghasilan tambahan walau sedikit,” katanya dengan nada serius.
Karena saat itu dirinya belum punya mesin jahit sendiri, wanita kelahiran Huta Bayu, 3 Februari 1973 lalu ini meminjam mesin jahit punya tetangga. “Tetangga meminjamkan karena mesin jahitnya tidak terlalu aktif dipakai,” katanya.
Untuk permak baju, pendapatannya relatif kecil. “Kadang hanya Rp25 ribu, karena ngga saban hari orang permak baju. Tapi saya bersyukur karena dapat jahitan permak,” katanya.
Beruntung, suaminya kembali dipanggil bekerja di Macmahon. Dan beruntung lagi, karena pihak Disnaker Tapsel tidak membiarkan ibu-ibu peserta pelatihan pertama tidak berkembang.
“Disnaker mencoba menghubungi PT Agincourt Resources. Diberi jawaban, kami bisa melanjutkan pelatihan kedua,” katanya.
Mengaku tidak menyangka dirinya terpilih ikut pelatihan tahap kedua, Febryana pun kembali ikut pelatihan menjahit dari Disnaker dan PTAR pada November-Desember 2021 lalu selama 24 hari.
Usai mengikuti pelatihan menjahit tahap kedua, keterampilan menjahitnya semakin mumpuni. Ia sudah mampu menjahit seragam sekolah, baju tunik atau gamis, dll. “Awanya hanya dijual ke teman-teman,” katanya.
Belum berani memajang plang tukang jahit di depan rumanya, Febryana mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. “Bersyukur, dari jahitan yang kita jual, hingga kini belum ada yang komplen (hasilnya, Red). Saya kurang tahu mereka suka atau bagaimana, tapi tidak ada yang komplen. Bahkan mereka minta lagi, cuma cari warna yang mereka suka,” jelasnya seraya tersenyum.
Tetangga-tetangga juga makin sering memberi jahitan, padahal di sekitar rumah mereka juga ada tukang jahit. “Kata mereka, jahitan kami lebih rapi. Dan memang kami jahit rapi supaya pemesan datang lagi,” katanya.
Sebelum disponsori oleh PTAR, tantangan para peserta pelatihan menjahit itu adalah tidak punya mesin jahit sendiri. Saat pelatihan dari Disnaker, memang ada pinjaman mesin jahit, tapi dijemput lagi. “Hanya setengah tahun (dipinjamkan ke kami). Setelahnya saya pinjam ke tetangga,” katanya.
Kini, Febryana dkk tidak kesulitan lagi. “Puji Tuhan, dapat mesin jahit dari PTAR. Jadi saya tidak perlu pinjam mesin jahit lagi. Mesin jahit ini bukan hak milik, tapi bisa kami gunakan sehari-hari,” katanya.
Diungkapkannya. sejak pelatihan kedua, dirinya sudah menerima banyak dapat proyek jahitan dari bu Laila dan bu Meri (PTAR). “Sudah ada puluhan. PTAR kasih bahan untuk menjahit. Ngga disuruh cari sendiri, walaupun yang terakhir sebagian kami beli. Mereka (PTAR) ajari kami untuk berpikir,” katanya.
Pihak PTAR juga mengajari mereka cara menghitung berapa harga bahan, berapa yang mau dijual, berapa untung, dan dimasukkan kembali ke kas.
Pendapatan dari menjahit sebagian ditabungnya. Sebagian lagi digunakan untuk membeli apa yang dibutuhkan. “Senang… karena sekarang mau beli peralatan make-up beli sendiri tidak perlu lagi minta suami,” katanya.
Namun meski sudah lumayan trampil menjahit dan sudah memperoleh mesin jahit dari PTAR, ternyata Febryana dkk masih merasa kurang percaya diri menerima jahitan yang lebih rumit.
“Walaupun belum ada pemesan yang komplain, tapi kita tetap merasa ngga puas (dengan keterampilan menjahit),” katanya.
Karena kurang pede, Febryana dan kawan-kawan pun meminta pelatihan untuk tingkat advanced. Kini mereka sedang mengikut pelatihan tingkat terampil selama 14 hari. Tujuannya untuk mendapat sertifikat dari Departemen Pendidikan.
Ia berharap, dengan ikut pelatihan tahap tiga ini, mudah-mudahan mereka semakin berani terima jahitan dengan tingkat kerumitan yang lebih kompleks.
Ia juga mengucapkan terimakasih kepada PTAR, karena tidak membiarkan mereka sendirian. “Kami dibimbing terus. Kadang kami malu sendiri, kok mereka (PTAR) greget gitu, tapi kami gimana. Makanya kami amat sangat berterimakasih ke PTAR karena kami tidak dilepas. Malahan kami dikasih pekerjaan,” katanya.
Saat ini, Febryana dan kawan-kawan sudah membentuk tim workshop menjahit. Di bawah binaan PTAR, Febryana dll diharapkan menjadi tim konveksi. “Kebetulan di antara kami ini ada yang mau bekerjasama. Kami dikasih jahitan. Kemarin dikasih 4, kadang dia kasih saya jahit celana, dia di baju, jadi kerjasama. Ke depannya kami berharap tim ini bisa jadi satu konveksi. Sama-sama bekerja dalam satu tim,” katanya. (mea/rel)