28.9 C
Medan
Tuesday, May 21, 2024

Bukan Perang Mata Uang

Perang mata uang-ilustrasi
Perang mata uang-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan bahwa keputusan pemerintah Tiongkok untuk melemahkan Yuan bukanlah langkah currency war.

“Jangan pakai istilah itu (currency war). Tiongkok melakukan depresiasi sebesar 1,9 persen. Saya selalu bilang seluruh currency di dunia melemah terhadap dollar AS. Ada dua currency yang tidak melemah terhadap dollar AS yakni swiss franc dan poundsterling,” urainya.

Sedangkan, Yuan yang notabene hanya mengalami sedikit pelemahan tersebut telah membuat barang produksi dari Tiongkok yang akan digunakan untuk ekspor menjadi mahal harganya dan kalah dengan pesaingnya. Hal tersebut akhirnya memaksa pemerintah Tiongkok untuk melemahkan Yuan.

“Yuan hanya melemah sedikit sekitar 2,5 persen dan terkontrol. Saingan dagang Tiongkok seperti Korea dan Jepang melemahnya lebih dalam. Jepang dalam 2,5 tahun melemah lebih dari 25 persen, dan Korea tahun ini sudah melemah 6 persen bahkan lebih. Mata uang di Eropa melemah 9 persen hingga 12 persen,” jelas Mirza.

Kondisi tersebut diperparah oleh pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang kini sedang dalam tahap pemulihan.

Mirza menekankan bahwa untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, tidak perlu ikut-ikutan melemahkan mata uang rupiah seperti yang dilakukan pemerintah Tiongkok. Sebab, apabila dilihat sejak 2013, rupiah sudah melemah sekitar 30 persen.

“Rupiah sebagai mata uang sudah undervalue di bawah 100. Jadi kebijakan depresiasi tidak perlu diikuti oleh Indonesia,” tutur Mirza.

Dia juga meyakinkan bahwa kondisi pelemahan mata uang saat ini bukan merupakan perang mata uang. Sebab, perang mata uang hanya dipakai para spekulan untuk melakukan spekulasi.

“Tidak perlu khawatir ada pelemahan mata uang ini. Kami akan selalu menjaga stabilitas nilai rupiah di pasar keuangan,” katanya. (dee/ken/dim/wir/ gen)

Perang mata uang-ilustrasi
Perang mata uang-ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan bahwa keputusan pemerintah Tiongkok untuk melemahkan Yuan bukanlah langkah currency war.

“Jangan pakai istilah itu (currency war). Tiongkok melakukan depresiasi sebesar 1,9 persen. Saya selalu bilang seluruh currency di dunia melemah terhadap dollar AS. Ada dua currency yang tidak melemah terhadap dollar AS yakni swiss franc dan poundsterling,” urainya.

Sedangkan, Yuan yang notabene hanya mengalami sedikit pelemahan tersebut telah membuat barang produksi dari Tiongkok yang akan digunakan untuk ekspor menjadi mahal harganya dan kalah dengan pesaingnya. Hal tersebut akhirnya memaksa pemerintah Tiongkok untuk melemahkan Yuan.

“Yuan hanya melemah sedikit sekitar 2,5 persen dan terkontrol. Saingan dagang Tiongkok seperti Korea dan Jepang melemahnya lebih dalam. Jepang dalam 2,5 tahun melemah lebih dari 25 persen, dan Korea tahun ini sudah melemah 6 persen bahkan lebih. Mata uang di Eropa melemah 9 persen hingga 12 persen,” jelas Mirza.

Kondisi tersebut diperparah oleh pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang kini sedang dalam tahap pemulihan.

Mirza menekankan bahwa untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, tidak perlu ikut-ikutan melemahkan mata uang rupiah seperti yang dilakukan pemerintah Tiongkok. Sebab, apabila dilihat sejak 2013, rupiah sudah melemah sekitar 30 persen.

“Rupiah sebagai mata uang sudah undervalue di bawah 100. Jadi kebijakan depresiasi tidak perlu diikuti oleh Indonesia,” tutur Mirza.

Dia juga meyakinkan bahwa kondisi pelemahan mata uang saat ini bukan merupakan perang mata uang. Sebab, perang mata uang hanya dipakai para spekulan untuk melakukan spekulasi.

“Tidak perlu khawatir ada pelemahan mata uang ini. Kami akan selalu menjaga stabilitas nilai rupiah di pasar keuangan,” katanya. (dee/ken/dim/wir/ gen)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/