26 C
Medan
Friday, December 6, 2024
spot_img

Industri Sawit Lirik ASEAN

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Ketua Umum Gabungan Pelaku Usaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, mengatakan, produsen sawit di Indonesia mulai melakukan perluasan diversifikasi pasar ke ASEAN. Hal ini seiring mulai melemahnya permintaan dari pasar utama seperti Uni Eropa.

“Kita selama ini sudah melakukan diversifikasi, seperti di regional Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Filipina yang juga ditekuni,” kata Joko dalam konferensi pers virtual, Rabu (12/8).

Joko mengatakan, Vietnam menjadi salah satu pasar baru yang punya potensi besar dan dilirik para pengusaha. Pasalnya dengan jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan ekonomi Vietnam hingga kini masih tumbuh positif.  Sejauh ini, ekspor produk sawit ke Vietnam sudah menyentuh angka 400 ribu ton.

“Vietnam menarik dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhannya juga sangat menonjol ini yang sedang kita bahas ke Dubes RI di Vietnam,” kata Joko.

Menurut dia, dengan terbukanya pasar-pasar baru produk kelapa sawit, bakal memperluas diversifikasi pasar ekspor sawit. Di mana, 70 persen produksi minyak sawit Indonesia menempati pangsa pasar global sedangkan sisanya di dalam negeri.

Diversifikasi pasar juga sekaligus merespons kampanye negatif yang dilakukan Uni Eropa hingga langkah pelarangan yang kini tengah dalam proses penyelesaian di World Trade Organization (WTO). “Kita harus siap hadapi ancaman, itu makanan sehari-hari jadi tidak perlu kaget. Kita harus yakinkan bahwa sawit berkelanjutan dengan kompetisi semaksimal mungkin,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, para produsen biofuel kini juga tengah mencari pasar-pasar baru untuk ekspor. Pasalnya, banyak hambatan perdagangan yang dilakukan oleh negara mitra dagang.

Salah satunya, soal tuduhan subsidi dan dumping biodiesel dari Indonesia oleh Pemerintah Amerika Serikat. Ia mengatakan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan telah mengajukan gugatan kepada pengadilan di New York.

Selain itu, kebijakan Renewable Energy Directive II oleh Uni Eropa yang akhirnya melarang penggunaan minyak sawit, termasuk dari Indonesia. Paulus mengatakan, pemerintah telah mengajukan gugatan ke WTO dan telah mendapatkan nomor perkara. Pada 29 Juli 2020, kata dia, pemerintah telah meminta WTO untuk membentuk panel kehakiman.

Kasus selanjutnya, tuduhan subsidi biofuel dari Uni Eropa kepada Indonesia. Ia menjelaskan, pihaknya telah mengadakan konsultasi dengan pihak Uni Eropa. Namun, sikap Uni Eropa tetap tidak berubah dan alasan-alasan rasional yang disampaikan tidak diterima.

“Itu juga akan ke WTO. Tapi oleh pemerintah karena kalau ranah WTO itu langsung oleh pemerintah,” kata dia. (rol/ram)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO- Ketua Umum Gabungan Pelaku Usaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, mengatakan, produsen sawit di Indonesia mulai melakukan perluasan diversifikasi pasar ke ASEAN. Hal ini seiring mulai melemahnya permintaan dari pasar utama seperti Uni Eropa.

“Kita selama ini sudah melakukan diversifikasi, seperti di regional Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Filipina yang juga ditekuni,” kata Joko dalam konferensi pers virtual, Rabu (12/8).

Joko mengatakan, Vietnam menjadi salah satu pasar baru yang punya potensi besar dan dilirik para pengusaha. Pasalnya dengan jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan ekonomi Vietnam hingga kini masih tumbuh positif.  Sejauh ini, ekspor produk sawit ke Vietnam sudah menyentuh angka 400 ribu ton.

“Vietnam menarik dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhannya juga sangat menonjol ini yang sedang kita bahas ke Dubes RI di Vietnam,” kata Joko.

Menurut dia, dengan terbukanya pasar-pasar baru produk kelapa sawit, bakal memperluas diversifikasi pasar ekspor sawit. Di mana, 70 persen produksi minyak sawit Indonesia menempati pangsa pasar global sedangkan sisanya di dalam negeri.

Diversifikasi pasar juga sekaligus merespons kampanye negatif yang dilakukan Uni Eropa hingga langkah pelarangan yang kini tengah dalam proses penyelesaian di World Trade Organization (WTO). “Kita harus siap hadapi ancaman, itu makanan sehari-hari jadi tidak perlu kaget. Kita harus yakinkan bahwa sawit berkelanjutan dengan kompetisi semaksimal mungkin,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, para produsen biofuel kini juga tengah mencari pasar-pasar baru untuk ekspor. Pasalnya, banyak hambatan perdagangan yang dilakukan oleh negara mitra dagang.

Salah satunya, soal tuduhan subsidi dan dumping biodiesel dari Indonesia oleh Pemerintah Amerika Serikat. Ia mengatakan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan telah mengajukan gugatan kepada pengadilan di New York.

Selain itu, kebijakan Renewable Energy Directive II oleh Uni Eropa yang akhirnya melarang penggunaan minyak sawit, termasuk dari Indonesia. Paulus mengatakan, pemerintah telah mengajukan gugatan ke WTO dan telah mendapatkan nomor perkara. Pada 29 Juli 2020, kata dia, pemerintah telah meminta WTO untuk membentuk panel kehakiman.

Kasus selanjutnya, tuduhan subsidi biofuel dari Uni Eropa kepada Indonesia. Ia menjelaskan, pihaknya telah mengadakan konsultasi dengan pihak Uni Eropa. Namun, sikap Uni Eropa tetap tidak berubah dan alasan-alasan rasional yang disampaikan tidak diterima.

“Itu juga akan ke WTO. Tapi oleh pemerintah karena kalau ranah WTO itu langsung oleh pemerintah,” kata dia. (rol/ram)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/