26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Defisit Gas Tembus 4 Juta MMSCFD Pada 2023

Gas-domestik
Gas-domestik

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kemandirian energi Indonesia masih menjadi pertanyaan besar. Hal tersebut seiring kinerja produksi energi yang terus disalip oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat. Bukan hanya minyak, pemerintah pun sudah memperkirakan terjadinya defisit produksi gas pada beberapa tahun mendatang. Hal tersebut membuka kemungkinan adanya impor gas mulai 2024 nanti.

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Naryanto Wagimin mengatakan, total sumber daya gas di Indonesia mencapai 150,39 triliun standar kaki kubik (TSCF). Itu terdiri dari 101,54 TSCF cadangan terbukti dan 48,85 TSCF cadangan potensial. Namun, produksi gas di Indonesia diprediksi bakal mengalami penurunan.

‘Kalau dari sisi suplai gas Indonesia, sepertinya akan terjadi defisit. Sebab, proyek-proyek blok gas banyak yang delay. Kalau sudah seperti itu, Indonesia harus mengimpor gas untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri,’ terangnya kepada Jawa Pos kemarin (13/10).

Dia merinci, saat ini terdapat lima proyek blok migas yang bakal menjadi tulang punggung pasokan gas nasional. Antara lain, Blok Muara Bakau oleh ENI yang ditargetkan onstream pada 2017, proyek IDD oleh Chevronpada” 2018; proyek Masela oleh Inpex pada 2020; dan proyek Tangguh train 3 pada 2020. ‘Lalu ada proyek Natuna D-Aplha yang rencananya onstream 10 tahun setelah proyek dimulai,’ ujarnya.

Sedangkan, lanjut dia, konsumsi gas Indonesia diprediksi mulai naik pada 2017. Dengan kondisi tersebut, kesenjangan antara pasokan dan permintaan bakal semakin besar.Pada 2024, kesenjangan tersebut bakal menembus angka 4 juta mmscfd. ‘Kalau sudah seperti itu, impor gas dalam bentuk LNG (liquified natural gas) sudah tak bisa dihindarkan lagi. Kecuali, ditemukan cadangan gas baru yang” besar,’ imbuhnya.

Soal potensi gas jenis Coal Bed Methane (CBM) dan shale gas, dia mengaku hal tersebut merupakan solusi jangka panjang. Memang, potensi sumber daya dua jenis gas tersebut cukup besar. Total sumber daya CBM diperkirakan mencapai 453,3 TSCF. Di sisi lain,” potensi shale gas mencapai 574 TSCF. ‘Saat ini kan baru tahap penelitian. Perlu waktu 10 tahun lagi untuk bisa dimanfaatkan,’ terangnya.

Dalam jangka pendek, satu-satunya solusi yang disiapkan oleh pemerintah adalah mengubah alokasi gas dengan memprioritaskan kebutuhan domestik. Salah satunya, dengan tak melanjutkan kontrak ekspor gas yang bakal berakhir sebelum 2023. ‘Kalau ada kontrak gas yang terminasi, kami akan usahakan untuk kebutuhan domestik. Misalnya, kontrak Blok Arun ke Jepang. Itu akan habis dalam waktu dekat,’ jelasnya.

Sementara itu, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Ibrahim Hasyim mengatakan, impor gas bukanlah langkah yang buruk bagi Indonesia. Menurutnya, hal tersebut sudah lumrah dilakukan oleh negara. Misalnya, Jepang yang berencana mendirikan hub gas untuk menyerap pasokan gas dari beberapa negara pemasok.

‘Selama impor gas lebih murah daripada impor BBM, langkah itu pasti baik untuk Indonesia. Asal, impor tidak disertai kebijakan subsidi yang bisa membebani negara. Toh tanpa disubsidi harganya masih terjangkau,’ ungkapnya. (bil)

Gas-domestik
Gas-domestik

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kemandirian energi Indonesia masih menjadi pertanyaan besar. Hal tersebut seiring kinerja produksi energi yang terus disalip oleh pertumbuhan konsumsi masyarakat. Bukan hanya minyak, pemerintah pun sudah memperkirakan terjadinya defisit produksi gas pada beberapa tahun mendatang. Hal tersebut membuka kemungkinan adanya impor gas mulai 2024 nanti.

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Naryanto Wagimin mengatakan, total sumber daya gas di Indonesia mencapai 150,39 triliun standar kaki kubik (TSCF). Itu terdiri dari 101,54 TSCF cadangan terbukti dan 48,85 TSCF cadangan potensial. Namun, produksi gas di Indonesia diprediksi bakal mengalami penurunan.

‘Kalau dari sisi suplai gas Indonesia, sepertinya akan terjadi defisit. Sebab, proyek-proyek blok gas banyak yang delay. Kalau sudah seperti itu, Indonesia harus mengimpor gas untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri,’ terangnya kepada Jawa Pos kemarin (13/10).

Dia merinci, saat ini terdapat lima proyek blok migas yang bakal menjadi tulang punggung pasokan gas nasional. Antara lain, Blok Muara Bakau oleh ENI yang ditargetkan onstream pada 2017, proyek IDD oleh Chevronpada” 2018; proyek Masela oleh Inpex pada 2020; dan proyek Tangguh train 3 pada 2020. ‘Lalu ada proyek Natuna D-Aplha yang rencananya onstream 10 tahun setelah proyek dimulai,’ ujarnya.

Sedangkan, lanjut dia, konsumsi gas Indonesia diprediksi mulai naik pada 2017. Dengan kondisi tersebut, kesenjangan antara pasokan dan permintaan bakal semakin besar.Pada 2024, kesenjangan tersebut bakal menembus angka 4 juta mmscfd. ‘Kalau sudah seperti itu, impor gas dalam bentuk LNG (liquified natural gas) sudah tak bisa dihindarkan lagi. Kecuali, ditemukan cadangan gas baru yang” besar,’ imbuhnya.

Soal potensi gas jenis Coal Bed Methane (CBM) dan shale gas, dia mengaku hal tersebut merupakan solusi jangka panjang. Memang, potensi sumber daya dua jenis gas tersebut cukup besar. Total sumber daya CBM diperkirakan mencapai 453,3 TSCF. Di sisi lain,” potensi shale gas mencapai 574 TSCF. ‘Saat ini kan baru tahap penelitian. Perlu waktu 10 tahun lagi untuk bisa dimanfaatkan,’ terangnya.

Dalam jangka pendek, satu-satunya solusi yang disiapkan oleh pemerintah adalah mengubah alokasi gas dengan memprioritaskan kebutuhan domestik. Salah satunya, dengan tak melanjutkan kontrak ekspor gas yang bakal berakhir sebelum 2023. ‘Kalau ada kontrak gas yang terminasi, kami akan usahakan untuk kebutuhan domestik. Misalnya, kontrak Blok Arun ke Jepang. Itu akan habis dalam waktu dekat,’ jelasnya.

Sementara itu, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Ibrahim Hasyim mengatakan, impor gas bukanlah langkah yang buruk bagi Indonesia. Menurutnya, hal tersebut sudah lumrah dilakukan oleh negara. Misalnya, Jepang yang berencana mendirikan hub gas untuk menyerap pasokan gas dari beberapa negara pemasok.

‘Selama impor gas lebih murah daripada impor BBM, langkah itu pasti baik untuk Indonesia. Asal, impor tidak disertai kebijakan subsidi yang bisa membebani negara. Toh tanpa disubsidi harganya masih terjangkau,’ ungkapnya. (bil)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/