29.1 C
Medan
Tuesday, June 18, 2024

Dugaan Impor Emas Fiktif di Bandara Soetta, Perusahaan Importir Sumut Diimbau Tak Khawatir

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Perusahaan importir di Sumatera Utara (Sumut) diimbau tak khawatir, terkait kasus dugaan impor emas fiktif di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Jakarta, Senin (14/6) lalu. Hal ini disebabkan, penetapan HS untuk emas batangan sudah tepat, yakni HS 7108.12.10.

TUNJUKKAN: Penjual menunjukkan batangan emas Antam di toko emas Jalan Pringgan Medan, belum lama ini.

“Dengan deskripsi barang emas bukan tempahan atau dalam bentuk setengah jadi atau dalam bentuk bubuk, dalam bentuk gumpalan, ingot atau batang,” ungkap Anggota Komisi B DPRD Sumut, Sugianto Makmur kepada wartawan di Kota Medan, Selasa (15/6).

Wakil rakyat yang membidangi perdagangan, perekonomian, dan distribusi produk pertambangan ini, menjelaskan, justru masalah kemudian terjadi, bila yang diimpor perhiasan tapi memakai HS batang emas, yang penetapan bea masuknya lebih rendah, sehingga menimbulkan kerugian negara.

Lebih lanjut Sugianto mengatakan, pemakaian HS 7113 dan 7114 adalah untuk barang perhiasan, barang hasil tempahan pandai emas dan perak, serta barang lainnya, terlebih lagi dalam BTKI (Buku Tarif Kepabeanan Indonesia) pada catatan untuk Bagian XIV dan Bab 71, di No 9a, dijelaskan, barang perhiasan berarti setiap barang kecil untuk perhiasan (misalnya cincin, gelang, kalung, bros, anting-anting, rantai arlojo, leontin, dan sebagainya).

“Dan di 9b, barang perhiasan berarti barang untuk keperluan pribadi dari jenis yang biasa dibawa dalam saku, tas tangan atau yang ada pada orang (misalnya kotak rokok atau cerutu, kotak bedak). Ini artinya, di dalam Catatan Bab, sudah jelas dideskripsikan, maka tidak perlu memaksakan HS emas batangan menjadi HS perhiasan,” tutur politisi PDI Perjuangan daerah pemilihan Binjai-Langkat itu.

Sementara di catatan No 10, untuk pos HS 7114, lanjut Sugianto, istilah barang hasil tempahan pandai emas atau pandai perak meliputi barang tersebut, sebagai ornamen, perangkat makan, perangkat hias, keperluan perokok dan barang lain, untuk keperluan rumah tangga, kantor atau keagamaan.

“Jadi, selagi yang diimpor adalah emas batangan bukan perhiasan, maka sebenarnya tidak perlu takut. Dan juga ada fasilitas pembebasan bea masuk bila memakai form pembebasan untuk meringankan importir dari membayar bea masuk,” tegasnya.

Pria yang juga ahli pabean ini, meminta supaya PFPD di Sumut sebagai pemutus dokumen, dapat bekerja profesional. Bukan hanya untuk produk emas dan perhiasan, tapi juga untuk semua produk ekspor dan impor supaya dwelling time yang singkat bisa dicapai.

Sedangkan mengenai dugaan adanya impor fiktif emas sebagai praktik pencucian emas hasil tambang liar, menurutnya meski mungkin terjadi, tapi perlu bukti. Di Sumut, imbuh Sugianto, banyak tambang liar yang hasil emasnya memang tidak pernah dilaporkan dan tidak pernah dipajak. Alangkah bijaknya, bila tambang liar bisa ditampung dan diatur dalam suatu payung hukum, sehingga kerusakan lingkungan bisa diminimalisir dan pajak bisa dipungut.

“Secara keseluruhan, diharapkan perdagangan secara umum semakin efektif dan efisien, supaya menarik bagi investor. Terutama biaya di gerbang keluar masuk barang, yakni pelabuhan laut dan pelabuhan air. Kita semua harus bekerja keras untuk mewujudkan sistem perdagangan yang sehat dan efisien,” kata Sugianto lagi.

Seperti diketahui, impor emas oleh 8 perusahaan lewat Bandara Soetta, senilai Rp47,1 triliun, menjadi sorotan. Pasalnya, dari laporan Direktur Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, importasi emas itu, dikenakan bea masuk 0 persen, harusnya dikenakan bea masuk 5 persen.

Anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan mengungkap dugaan penggelapan emas yang dilakukan oleh petinggi Bea Cukai di Bandara Soetta. Dia meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mengusut kasus itu. “Ini terkait impor emas senilai Rp47,1 triliun. Saya ulangi Pak, Rp47,1 triliun. Kita enggak perlu urusin pajak masyarakat Pak. Ada indikasi ini perbuatan manipulasi, pemalsuan, menginformasikan hal yang tidak benar, sehingga produk tidak dikenai bea impor, produk tidak dikenai pajak penghasilan impor. Potensi kerugian negaranya Rp2,9 triliun. Ini bukan uang kecil di saat lagi susah Pak,” tegasnya, saat rapat kerja bersama Jaksa Agung di Gedung DPR, Jakarta, Senin (14/6) lalu.

Politikus PDI Perjuangan itu, lantas meminta Jaksa Agung untuk juga memeriksa perusahan yang terlibat. Dia menyebut ada 8 perusahaan.

“Saya minta juga periksa PT Aneka Tambang, dirutnya diperiksa, vice presidennya diperiksa. Kenapa? Setiap ada perdebatan di bea cukai itu Aneka Tambang mengatakan, ini memang seperti itu, sehingga biaya masuknya bisa 0 persen. Padahal emas itu sudah siap jual. Ini maling kasat mata. Saya akan berikan nanti dokumen penyelewengan impor emas batangan di bea cukai,” pungkas Arteria. (prn/saz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Perusahaan importir di Sumatera Utara (Sumut) diimbau tak khawatir, terkait kasus dugaan impor emas fiktif di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Jakarta, Senin (14/6) lalu. Hal ini disebabkan, penetapan HS untuk emas batangan sudah tepat, yakni HS 7108.12.10.

TUNJUKKAN: Penjual menunjukkan batangan emas Antam di toko emas Jalan Pringgan Medan, belum lama ini.

“Dengan deskripsi barang emas bukan tempahan atau dalam bentuk setengah jadi atau dalam bentuk bubuk, dalam bentuk gumpalan, ingot atau batang,” ungkap Anggota Komisi B DPRD Sumut, Sugianto Makmur kepada wartawan di Kota Medan, Selasa (15/6).

Wakil rakyat yang membidangi perdagangan, perekonomian, dan distribusi produk pertambangan ini, menjelaskan, justru masalah kemudian terjadi, bila yang diimpor perhiasan tapi memakai HS batang emas, yang penetapan bea masuknya lebih rendah, sehingga menimbulkan kerugian negara.

Lebih lanjut Sugianto mengatakan, pemakaian HS 7113 dan 7114 adalah untuk barang perhiasan, barang hasil tempahan pandai emas dan perak, serta barang lainnya, terlebih lagi dalam BTKI (Buku Tarif Kepabeanan Indonesia) pada catatan untuk Bagian XIV dan Bab 71, di No 9a, dijelaskan, barang perhiasan berarti setiap barang kecil untuk perhiasan (misalnya cincin, gelang, kalung, bros, anting-anting, rantai arlojo, leontin, dan sebagainya).

“Dan di 9b, barang perhiasan berarti barang untuk keperluan pribadi dari jenis yang biasa dibawa dalam saku, tas tangan atau yang ada pada orang (misalnya kotak rokok atau cerutu, kotak bedak). Ini artinya, di dalam Catatan Bab, sudah jelas dideskripsikan, maka tidak perlu memaksakan HS emas batangan menjadi HS perhiasan,” tutur politisi PDI Perjuangan daerah pemilihan Binjai-Langkat itu.

Sementara di catatan No 10, untuk pos HS 7114, lanjut Sugianto, istilah barang hasil tempahan pandai emas atau pandai perak meliputi barang tersebut, sebagai ornamen, perangkat makan, perangkat hias, keperluan perokok dan barang lain, untuk keperluan rumah tangga, kantor atau keagamaan.

“Jadi, selagi yang diimpor adalah emas batangan bukan perhiasan, maka sebenarnya tidak perlu takut. Dan juga ada fasilitas pembebasan bea masuk bila memakai form pembebasan untuk meringankan importir dari membayar bea masuk,” tegasnya.

Pria yang juga ahli pabean ini, meminta supaya PFPD di Sumut sebagai pemutus dokumen, dapat bekerja profesional. Bukan hanya untuk produk emas dan perhiasan, tapi juga untuk semua produk ekspor dan impor supaya dwelling time yang singkat bisa dicapai.

Sedangkan mengenai dugaan adanya impor fiktif emas sebagai praktik pencucian emas hasil tambang liar, menurutnya meski mungkin terjadi, tapi perlu bukti. Di Sumut, imbuh Sugianto, banyak tambang liar yang hasil emasnya memang tidak pernah dilaporkan dan tidak pernah dipajak. Alangkah bijaknya, bila tambang liar bisa ditampung dan diatur dalam suatu payung hukum, sehingga kerusakan lingkungan bisa diminimalisir dan pajak bisa dipungut.

“Secara keseluruhan, diharapkan perdagangan secara umum semakin efektif dan efisien, supaya menarik bagi investor. Terutama biaya di gerbang keluar masuk barang, yakni pelabuhan laut dan pelabuhan air. Kita semua harus bekerja keras untuk mewujudkan sistem perdagangan yang sehat dan efisien,” kata Sugianto lagi.

Seperti diketahui, impor emas oleh 8 perusahaan lewat Bandara Soetta, senilai Rp47,1 triliun, menjadi sorotan. Pasalnya, dari laporan Direktur Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, importasi emas itu, dikenakan bea masuk 0 persen, harusnya dikenakan bea masuk 5 persen.

Anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan mengungkap dugaan penggelapan emas yang dilakukan oleh petinggi Bea Cukai di Bandara Soetta. Dia meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk mengusut kasus itu. “Ini terkait impor emas senilai Rp47,1 triliun. Saya ulangi Pak, Rp47,1 triliun. Kita enggak perlu urusin pajak masyarakat Pak. Ada indikasi ini perbuatan manipulasi, pemalsuan, menginformasikan hal yang tidak benar, sehingga produk tidak dikenai bea impor, produk tidak dikenai pajak penghasilan impor. Potensi kerugian negaranya Rp2,9 triliun. Ini bukan uang kecil di saat lagi susah Pak,” tegasnya, saat rapat kerja bersama Jaksa Agung di Gedung DPR, Jakarta, Senin (14/6) lalu.

Politikus PDI Perjuangan itu, lantas meminta Jaksa Agung untuk juga memeriksa perusahan yang terlibat. Dia menyebut ada 8 perusahaan.

“Saya minta juga periksa PT Aneka Tambang, dirutnya diperiksa, vice presidennya diperiksa. Kenapa? Setiap ada perdebatan di bea cukai itu Aneka Tambang mengatakan, ini memang seperti itu, sehingga biaya masuknya bisa 0 persen. Padahal emas itu sudah siap jual. Ini maling kasat mata. Saya akan berikan nanti dokumen penyelewengan impor emas batangan di bea cukai,” pungkas Arteria. (prn/saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/