“Ini dilakukan agar KPPU tidak berjalan sendiri dalam proses penanganannya. Apalagi di dalamnya ada aspek-aspek kerugian negara yang bisa dilimpahkan perkaranya kepada instansi lain sebagai penegakan hukum,” cetus Abdul Hakim.
Dalam tahap terakhir ini, sebut dia, KPPU lebih fokus agar orang tidak mempunyai persepsi bahwa persekongkolan tender itu hanya menjadi tugas pengawasan KPPU. Sebab, aspek kesalahan prosedur yang menjadi ranah KPPU.
“Kasus e-KTP yang lagi marak sebenarnya pada tahun 2014-2015 telah diputus bersalah oleh KPPU, karena di dalamnya ada persekongkolan penentuan pemenang tender. Tapi pelaku usaha yang diputus bersalah itu mengajukan keberatan ke pengadilan negeri sehingga keputusan KPPU dikalahkan. Selanjutnya KPPU mengajukan kasasi dan juga kalah di Mahkamah Agung,” ujarnya.
Masih kata Abdul, saat itu KPPU melihat ada bukti-bukti sehingga majelis komisi menyerahkan keputusan ini kepada KPK. Hasilnya KPK mendapat alat bukti lebih banyak lagi guna melengkapi keputusan KPPU sehingga aspek pidana kerugian negara dalam kasus e-KTP tersebut berjalan.
“Inilah menjadi bukti bahwa pengadaan barang dan jasa banyak irisan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Artinya, mau tidak mau kita harus bersinergi dalam proses penanganannya,” ujar Abdul Hakim. (ris/ila)