27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Baru 21,8 Persen Masyarakat Melek Keuangan

Melek keuangan
Melek keuangan

SUMUTPOS.CO – Literasi atau pengetahuan dan keyakinan masyarakat terhadap industri jasa keuangan di tanah air tercatat masih sangat rendah. Mayoritas atau tepatnya 78,16 persen masyarakat di tanah air belum terlibat aktif dalam menggunakan produk dan jasa keuangan.

Angka tersebut merujuk hasil Survei Nasional Literasi Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang digelar pada semester pertama 2013 ini. Survei ini melibatkan 8 ribu responden di 20 provinsi di Indonesia. Dalam survei tersebut, terlihat bahwa hanya 21,84 persen dari total responden yang termasuk dalam klasifikasi well literate. Yakni masyarakat yang memahami produk jasa keunagan, termasuk fitur dan manfaat risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan, akses dan informasi, serta intermediasi lembaga jasa keuangan memang kurang optimal. Salah satu penyebabnya adalah kondisi geografis wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau. Masalah geografis ini menyebabkan infrastruktur layanan jasa keuangan menjadi tidak merata. Begitu pula akses informasi untuk wilayah tertentu menjadi sangat mahal dan biaya layanan jasa keuangan menjadi relatif lebih tinggi.

“Karena itu lewat Strategi Nasional Literasi Keuangan, kami mendorong perluasan akses dan inklusi keuangan,” ungkapnya dalam pencanangan Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia, di Jakarta Convention Center, kemarin (19/11). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghadiri perhelatan tersebut.

Akibat dari minimnya literasi keuangan tersebut, hingga kini kedudukan masyarakat yang membutuhkan jasa keuangan pun dinilai belum seimbang. Contohnya, banyak kasus penipuan yang berkedok investasi yang banyak “merugikan konsumen industri keuangan. “Sehingga untuk mencapai keseimbangan itu perlu ditegakkan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Edukasi kami genjot terus,” paparnya.

Secara rinci, survei tersebut menunjukkan bahwa indeks literasi masyarakat tertinggi masih pada produk dan jasa perbankan. Penduduk yang tergolong melek keuangan pada industri perbankan mencapai 21,80 persen. Sementara indeks utilitas jasa dan produk perbankan, telah mencapai 57,28 persen. Sebaliknya yang paling rendah adalah tingkat literasi pada produk dan jasa pasar modal. Dengan tingkat literasi sebesar 3,79 persen, indeks utilitas dalam golongan ini hanya 0,11 persen.

“Misalnya di perbankan, dari 100 orang hanya 22 orang saja yang mengetahui produk dan jasa perbankan. Sementara dari utilitasnya, dari setiap penduduk, sebanyak 57 orang memanfaatkan produk dan jasa perbankan,” terangnya.

Anggota Dewan Komisioner OJK Firdaus Djaelani mengatakan, bukan hal mudah untuk menggenjot tingkat literasi Indonesia hingga menyamai negara maju lainnya Singapura yang mencapai 98 persen. Tingkat melek keuangan Indonesia saja masih di bawah negara sekawasan lainnya seperti Filipina (27 persen), Malaysia (66 persen), dan Thailand (73 persen).

Kendati demikian, Firdaus optimistis dalam waktu lima tahun Indonesia dapat mengejar ketertinggalan tersebut. ” Karena itu kami gerakkan edukasi dan perlindungan konsumen. Bukan berarti meminta perusahaan jasa keuangan untuk terus-terusan genjot penjualan,” terangnya.

Presiden SBY merespons positif pencanangan program untuk lima tahun ke depan itu. Menurutnya, program ini sangat efektif untuk mengerek tingkat kesejahteraan masyarakat. “Selama ini industri jasa keuangan belum dinikmati secara merata. Hanya dinikmati itu-itu saja. Selain itu, kurangnya edukasi juga memicu adanya praktek penipuan dalam industri jasa keuangan,” terangnya. (gal/sof/jpnn)

Melek keuangan
Melek keuangan

SUMUTPOS.CO – Literasi atau pengetahuan dan keyakinan masyarakat terhadap industri jasa keuangan di tanah air tercatat masih sangat rendah. Mayoritas atau tepatnya 78,16 persen masyarakat di tanah air belum terlibat aktif dalam menggunakan produk dan jasa keuangan.

Angka tersebut merujuk hasil Survei Nasional Literasi Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang digelar pada semester pertama 2013 ini. Survei ini melibatkan 8 ribu responden di 20 provinsi di Indonesia. Dalam survei tersebut, terlihat bahwa hanya 21,84 persen dari total responden yang termasuk dalam klasifikasi well literate. Yakni masyarakat yang memahami produk jasa keunagan, termasuk fitur dan manfaat risiko, hak dan kewajiban terkait produk dan jasa keuangan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan, akses dan informasi, serta intermediasi lembaga jasa keuangan memang kurang optimal. Salah satu penyebabnya adalah kondisi geografis wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau. Masalah geografis ini menyebabkan infrastruktur layanan jasa keuangan menjadi tidak merata. Begitu pula akses informasi untuk wilayah tertentu menjadi sangat mahal dan biaya layanan jasa keuangan menjadi relatif lebih tinggi.

“Karena itu lewat Strategi Nasional Literasi Keuangan, kami mendorong perluasan akses dan inklusi keuangan,” ungkapnya dalam pencanangan Cetak Biru Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia, di Jakarta Convention Center, kemarin (19/11). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghadiri perhelatan tersebut.

Akibat dari minimnya literasi keuangan tersebut, hingga kini kedudukan masyarakat yang membutuhkan jasa keuangan pun dinilai belum seimbang. Contohnya, banyak kasus penipuan yang berkedok investasi yang banyak “merugikan konsumen industri keuangan. “Sehingga untuk mencapai keseimbangan itu perlu ditegakkan prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Edukasi kami genjot terus,” paparnya.

Secara rinci, survei tersebut menunjukkan bahwa indeks literasi masyarakat tertinggi masih pada produk dan jasa perbankan. Penduduk yang tergolong melek keuangan pada industri perbankan mencapai 21,80 persen. Sementara indeks utilitas jasa dan produk perbankan, telah mencapai 57,28 persen. Sebaliknya yang paling rendah adalah tingkat literasi pada produk dan jasa pasar modal. Dengan tingkat literasi sebesar 3,79 persen, indeks utilitas dalam golongan ini hanya 0,11 persen.

“Misalnya di perbankan, dari 100 orang hanya 22 orang saja yang mengetahui produk dan jasa perbankan. Sementara dari utilitasnya, dari setiap penduduk, sebanyak 57 orang memanfaatkan produk dan jasa perbankan,” terangnya.

Anggota Dewan Komisioner OJK Firdaus Djaelani mengatakan, bukan hal mudah untuk menggenjot tingkat literasi Indonesia hingga menyamai negara maju lainnya Singapura yang mencapai 98 persen. Tingkat melek keuangan Indonesia saja masih di bawah negara sekawasan lainnya seperti Filipina (27 persen), Malaysia (66 persen), dan Thailand (73 persen).

Kendati demikian, Firdaus optimistis dalam waktu lima tahun Indonesia dapat mengejar ketertinggalan tersebut. ” Karena itu kami gerakkan edukasi dan perlindungan konsumen. Bukan berarti meminta perusahaan jasa keuangan untuk terus-terusan genjot penjualan,” terangnya.

Presiden SBY merespons positif pencanangan program untuk lima tahun ke depan itu. Menurutnya, program ini sangat efektif untuk mengerek tingkat kesejahteraan masyarakat. “Selama ini industri jasa keuangan belum dinikmati secara merata. Hanya dinikmati itu-itu saja. Selain itu, kurangnya edukasi juga memicu adanya praktek penipuan dalam industri jasa keuangan,” terangnya. (gal/sof/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/