
Seorang jurnalis menunjuk display jadwal penerbangan Lion Air yang dibatalkan tujuan Surabaya dan Jakarta di Public Area Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan, Jalan Marsma R Iswahyudi, Balikpapan, Kamis (19/2). ). Puluhan penumpang sangat kecewa karena penerbangan ke sejumlah daerah di Indonesia tertunda berjam-jam bahkan harus dibatalkan.
BUKAN SEKADAR MASALAH TEKNIS
Insiden penundaan dan pembatalan Lion Air ternyata membuka dugaan-dugaan yang lebih lanjut. Maskapai Low Cost Carrier (LCC) Indonesia yang sempat digadang-gadang paling sukses itu terindikasi mempunyai segudang masalah. Mulai dari beban utang, track record yang buruk, hingga perlakuan ke pegawai yang tak selayaknya. Tapi, kasus yang dialami oleh Lion Air bukan menjadi yang pertama.
Meski menegaskan bahwa penundaan saat ini merupakan kesalahan teknis, tak bisa dipungkiri bahwa citra Lion Air bakal terus menurun. Pasalnya, perusahaan yang dibentuk 1999 itu sudah mengalami beberapa permasalahan. Pada 2013, terdapat kejadian tertundanya 55 penerbangan yang ada karena ada permasalahan dengan pegawai ground handling di Bali.
Selain permasalahan delay, maskapai milik Rusdi Kirana itu pun sudah mengalami puluhan permasalahan teknis. Kebanyakan kasus kecelakaan tersebut adalah tergelincirnya pesawat saat memasuki landasan. Tahun lalu pun, pesawat Lion Air sempat mengalami kecelakaan saat mendarat Bandara Ngurah Rai dan menyebabkan dua penumpang terluka.
Namun, baru satu kecelakaan dari maskapai tersebut yang menyebabkan korban tewas. Yakni, insiden tergelincirnya di Bandara Adisumarmo, Solo, yang menewaskan 26 orang penumpang. Karena track record tersebut, Skytrax, lembaga pemeringkat industri penerbangan, memberikan berikan Lion Air rating dua bintang. Dalam laporan tersebut, Skytrax memberikan penilaian paling rendah dalam penanganan penundaan dan pembatalan terbang dengan 1,5 bintang dari skala lima.
Penilaian tersebut juga didukung oleh FlightStats, lembaga informasi soal kinerja OTP maskapai. Dari 20 rute paling aktif selama satu tahun terakhir, OTP Lion Air dinilai hanya mencapai 69 persen. Hal tersebut dengan rata-rata delay 30 menit di setiap penerbangan.
Sebenarnya, terdapat beberapa maskapai yang mengalami kasus yang serupa baik di luar maupun dalam negeri. Contoh saja, BUMN Penerbangan Merpati. Dengan on time performance (OTP) sebesar 70,46 persen, Merpati sering mendapatkan keluhan. Belum lagi, hutang yang menggunung Rp 15 T membuat perusahaan tak bisa memperhatikan kesejahteraan pegawai.
Pada puncaknya, sekitar kelompok pilot Merpati pun sempat beberapa melakukan aksi mogok, hal tersebut akhirnya menjadi alasan Merpati membatalkan penerbangannya. Saat ini, Merpati pun menjadi mayat hidup yang tak bisa beroperasi. “Kami minta ke kementerian perhubungan untuk memperpanjang izin penerbangan. Sebab, saat ini kami sedag konsentrasi untuk membayar gaji karyawan,” terang Menteri BUMN Rini Soemarno beberapa waktu lalu.
Bukan hanya merpati, kejadian serupa pun pernah menimpa ke Spirit Airlines. Maskapai yang mengubah konsep menjadi LCC pada 2010 itu sempat mengalami insiden besar terkait pembicaraan gaji pilot. Pada 12 Januari 2010 pun, maskapai tersebut terpaksa membatalkan penerbangan semua jurusan karena mogok kerja. (Teddy Akbar/bil/jpnn/rbb)