30.6 C
Medan
Thursday, May 23, 2024

Tolak Kenaikan UMK 2020 Sebesar 8,51 Persen, PPMI: Biaya Hidup Makin Tinggi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Suara penolakan terhadap kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) Medan 2020 sebesar 8,51 persen atau dari Rp2,9 juta menjadi Rp3,2 juta kembali disuarakan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Kota Medan. Mereka menilai, kenaikan itu sangat tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang kian hari kian melambung tinggin

“UMK yang hanya naik 8,51 persen, merupakan kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap buruh dan masyarakat kecil seperti kami,” kata Ketua PPMI Kota Medan, Awaluddin Pane kepada Sumut Pos, Jumat (22/11).

Disebut Awaluddin, banyak faktor yang membuat kenaikan itu tidak dapat diterima. “Kebutuhan hidup makin mahal dengan naiknya harga bahan-bahan pokok. Lalu, harga tarif listrik juga ikut naik. Yang lebih tidak masuk akalnya lagi, harga iuran BPJS kesehatan malah naik 100 persen. Bagaimana mungkin gaji yang naiknya hanya 8,51 persen cukup untuk memenuhi kenaikan itu semua,” ujar Awal.

Tak hanya itu, terangnya, perhitungan kenaikan UMK yang dihitung pemerintah merupakan upah yang mungkin layak untuk hidup seorang buruh, tetapi bukan untuk hidup layak hidup keluarga buruh. “Kalaupun itu layak, itu hanya layak untuk mereka yang belum berkeluarga atau untuk biaya hidup satu orang. Nah, para buruh inikan justru kebanyakan yang sudah berkeluarga, punya anak istri yang juga butuh biaya hidup. Jelas tidak mungkin cukup upah itu untuk hidup si buruh, berikut anak dan istrinya. Belum lagi ditambah dengan biaya pendidikan bila anak si buruh sudah sekolah,” jelasnya.

Untuk itu, senada dengan FSPMI, Awal menyebutkan bahwa nilai kenaikan UMK yang sepantasnya, setidaknya ada kisaran 15 persen atau lebih. “Paling tidak 15 persen atau bahkan lebih. Lalu, kami juga jelas menolak kenaikan iuran BPJS serta sistem Outsourching yang hanya berpihak kepada pengusaha dan merugikan para buruh,” tegasnya.

Diakui Awal, pihaknya juga berencana akan melakukan aksi yang sama dengan yang dilakukan FSPMI pada Kamis (21/11) yang lalu. “Kami sudah berkoordinasi dengan sejumlah aliansi yang lain, kita memang akan melakukan aksi yang sama, nasib para buruh harus sejahtera,” tandasnya.

Dewan Sarankan Besarannya Sama Seperti UMP

Sementara, hingga Kamis (21/11) lalu, Gubsu Edy Rahmayadi hanya menetapkan dan menyetujui UMK 2020 untuk 22 kabupaten/kota se-Sumut. Dengan begitu, masih ada 8 kabupaten/kota lagi yang belum ditetapkan UMK-nya. Untuk itu, Ketua Komisi E DPRD Sumatera Utara, Dimas Tri Adji mendesak masing-masing Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) delapan kabupaten/kota itu untuk segera menyerahkan usulannya ke Gubsu untuk ditetapkan. Pasalnya, apabila hingga waktu implementasi UMK per 1 Januari mendatang belum ditetapkan, maka besaran UMK minimal mesti sama dengan UMP.

“Kabupaten/kota bukan hanya perlu untuk mengikuti aturan ini, tetapi wajib,” ujar Dimas Tri Adji menjawab Sumut Pos, Jumat (22/11).

Mekanisme seperti itu, kata dia, sudah berjalan sesuai aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Kemudian Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum dan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.

“Apalagi memang setelah ada PP 78/2015 penetapan UMK menjadi wewenang pemerintah, dan Dewan Pengupahan adalah pemberi saran yang harus dijadikan prioritas acuan penetapan tersebut,” katanya.

Namun lebih daripada itu, menurut Dimas, pada prinsipnya rekomendasi terhadap penetapan upah buruh oleh pemerintah meski mempertimbangkan aspek hidup layak atau mencukupi. Sehingga buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup dan rumah tangganya.

“Dominasi dan posisi tawar buruh harus lebih baik dan kuat di dalam Dewan Pengupahan ini. Yang penting kualifikasinya sesuai agar apa-apa yang menjadi rekomendasi kepada pemerintah dapat lebih mengakomodir kebutuhan hidup buruh,” ujar politisi NasDem tersebut.

Sebelumnya Depeda Sumut sudah merekomendasikan bahwa penetapan UMK mesti memedomani ketentuan yang ada. Begitu juga bagi kabupaten/kota yang tidak mengusul UMK ke provinsi, meskipun tidak wajib, harus pula membayar UMK di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) senilai Rp 2.499 juta. Seperti diketahui, dari 33 kabupaten/kota, hanya tiga daerah di Sumut yang tidak memiliki Depeda. Otomatis, ketiga daerah itu dalam menetapkan UMK harus sama nilainya dengan UMP.

Gubsu Edy Rahmayadi telah menetapkan dan menyetujui UMK 2020 pada daerah di Sumut. UMK itu akan berlaku per 1 Januari 2020. “Pak gubernur sudah menetapkan UMK 2020 di 22 kabupaten/kota,” ujar Kepala Dinas Ketenagakerjaan Sumut, Harianto Butarbutar menjawab wartawan, Kamis (21/11).

UMK 2020 di 22 kabupaten kota/itu naik 8,51% dari UMK 2019. Kenaikan 8,51% itu berdasarkan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat.

Harianto mengatakan akan ada lagi usulan UMK yang akan ditetapkan oleh gubernur selain 22 kabupaten/kota tersebut. “Yang lainnya lagi diproses penandatanganan,” sebutnya.

Sebelum ditetapkan gubernur, lanjutnya, UMK 2020 di 22 kabupaten/kota itu sudah melalui pembahasan di Depeda Sumut. Adapun UMK Medan yang tertinggi dibanding daerah lain, yakni Rp 3,222 juta, disusul Deliserdang Rp 3,188 juta, Karo Rp 3,070 juta, Tapanuli Selatan Rp 2,903 juta dan Labuhan Batu Rp 2,895 juta. (map/prn)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Suara penolakan terhadap kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) Medan 2020 sebesar 8,51 persen atau dari Rp2,9 juta menjadi Rp3,2 juta kembali disuarakan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Kota Medan. Mereka menilai, kenaikan itu sangat tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang kian hari kian melambung tinggin

“UMK yang hanya naik 8,51 persen, merupakan kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap buruh dan masyarakat kecil seperti kami,” kata Ketua PPMI Kota Medan, Awaluddin Pane kepada Sumut Pos, Jumat (22/11).

Disebut Awaluddin, banyak faktor yang membuat kenaikan itu tidak dapat diterima. “Kebutuhan hidup makin mahal dengan naiknya harga bahan-bahan pokok. Lalu, harga tarif listrik juga ikut naik. Yang lebih tidak masuk akalnya lagi, harga iuran BPJS kesehatan malah naik 100 persen. Bagaimana mungkin gaji yang naiknya hanya 8,51 persen cukup untuk memenuhi kenaikan itu semua,” ujar Awal.

Tak hanya itu, terangnya, perhitungan kenaikan UMK yang dihitung pemerintah merupakan upah yang mungkin layak untuk hidup seorang buruh, tetapi bukan untuk hidup layak hidup keluarga buruh. “Kalaupun itu layak, itu hanya layak untuk mereka yang belum berkeluarga atau untuk biaya hidup satu orang. Nah, para buruh inikan justru kebanyakan yang sudah berkeluarga, punya anak istri yang juga butuh biaya hidup. Jelas tidak mungkin cukup upah itu untuk hidup si buruh, berikut anak dan istrinya. Belum lagi ditambah dengan biaya pendidikan bila anak si buruh sudah sekolah,” jelasnya.

Untuk itu, senada dengan FSPMI, Awal menyebutkan bahwa nilai kenaikan UMK yang sepantasnya, setidaknya ada kisaran 15 persen atau lebih. “Paling tidak 15 persen atau bahkan lebih. Lalu, kami juga jelas menolak kenaikan iuran BPJS serta sistem Outsourching yang hanya berpihak kepada pengusaha dan merugikan para buruh,” tegasnya.

Diakui Awal, pihaknya juga berencana akan melakukan aksi yang sama dengan yang dilakukan FSPMI pada Kamis (21/11) yang lalu. “Kami sudah berkoordinasi dengan sejumlah aliansi yang lain, kita memang akan melakukan aksi yang sama, nasib para buruh harus sejahtera,” tandasnya.

Dewan Sarankan Besarannya Sama Seperti UMP

Sementara, hingga Kamis (21/11) lalu, Gubsu Edy Rahmayadi hanya menetapkan dan menyetujui UMK 2020 untuk 22 kabupaten/kota se-Sumut. Dengan begitu, masih ada 8 kabupaten/kota lagi yang belum ditetapkan UMK-nya. Untuk itu, Ketua Komisi E DPRD Sumatera Utara, Dimas Tri Adji mendesak masing-masing Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) delapan kabupaten/kota itu untuk segera menyerahkan usulannya ke Gubsu untuk ditetapkan. Pasalnya, apabila hingga waktu implementasi UMK per 1 Januari mendatang belum ditetapkan, maka besaran UMK minimal mesti sama dengan UMP.

“Kabupaten/kota bukan hanya perlu untuk mengikuti aturan ini, tetapi wajib,” ujar Dimas Tri Adji menjawab Sumut Pos, Jumat (22/11).

Mekanisme seperti itu, kata dia, sudah berjalan sesuai aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Kemudian Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum dan Permenaker Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak.

“Apalagi memang setelah ada PP 78/2015 penetapan UMK menjadi wewenang pemerintah, dan Dewan Pengupahan adalah pemberi saran yang harus dijadikan prioritas acuan penetapan tersebut,” katanya.

Namun lebih daripada itu, menurut Dimas, pada prinsipnya rekomendasi terhadap penetapan upah buruh oleh pemerintah meski mempertimbangkan aspek hidup layak atau mencukupi. Sehingga buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup dan rumah tangganya.

“Dominasi dan posisi tawar buruh harus lebih baik dan kuat di dalam Dewan Pengupahan ini. Yang penting kualifikasinya sesuai agar apa-apa yang menjadi rekomendasi kepada pemerintah dapat lebih mengakomodir kebutuhan hidup buruh,” ujar politisi NasDem tersebut.

Sebelumnya Depeda Sumut sudah merekomendasikan bahwa penetapan UMK mesti memedomani ketentuan yang ada. Begitu juga bagi kabupaten/kota yang tidak mengusul UMK ke provinsi, meskipun tidak wajib, harus pula membayar UMK di atas Upah Minimum Provinsi (UMP) senilai Rp 2.499 juta. Seperti diketahui, dari 33 kabupaten/kota, hanya tiga daerah di Sumut yang tidak memiliki Depeda. Otomatis, ketiga daerah itu dalam menetapkan UMK harus sama nilainya dengan UMP.

Gubsu Edy Rahmayadi telah menetapkan dan menyetujui UMK 2020 pada daerah di Sumut. UMK itu akan berlaku per 1 Januari 2020. “Pak gubernur sudah menetapkan UMK 2020 di 22 kabupaten/kota,” ujar Kepala Dinas Ketenagakerjaan Sumut, Harianto Butarbutar menjawab wartawan, Kamis (21/11).

UMK 2020 di 22 kabupaten kota/itu naik 8,51% dari UMK 2019. Kenaikan 8,51% itu berdasarkan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat.

Harianto mengatakan akan ada lagi usulan UMK yang akan ditetapkan oleh gubernur selain 22 kabupaten/kota tersebut. “Yang lainnya lagi diproses penandatanganan,” sebutnya.

Sebelum ditetapkan gubernur, lanjutnya, UMK 2020 di 22 kabupaten/kota itu sudah melalui pembahasan di Depeda Sumut. Adapun UMK Medan yang tertinggi dibanding daerah lain, yakni Rp 3,222 juta, disusul Deliserdang Rp 3,188 juta, Karo Rp 3,070 juta, Tapanuli Selatan Rp 2,903 juta dan Labuhan Batu Rp 2,895 juta. (map/prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/