26.7 C
Medan
Wednesday, May 1, 2024

TPL Tutup, Bisa Menjadi ‘Bencana Ekonomi’ Bagi Masyarakat

NARASUMBER: Para narasumber pada dialog ‘Menakar Untung-Rugi Berdirinya TPL di Tanah Batak’ yang digelar Eksponen Cipayung Plus, Jumat, 25 Juni 2021, di Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Isu gerakan ‘Tutup TPL’ ini dianggap tidak proporsional karena tidak melihat dampak pada masyarakat, pekerja, dan pemerintah. Bila perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1983 ini ditutup, maka dipastikan 7.000 karyawan akan kehilangan pekerjaan dan masyarakat sekitar tidak akan mendapatkan bantuan.

Menurut mantan Korda GMNI Sumut ini, menyataan sikap untuk mendesak penutupan TPL merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang diatur dalam konstitusi.
Akan tetapi, pernyataan dan aksi tersebut juga harus dibarengi dengan cara pandang yang proporsional terhadap keberadaan perusahaan bubur kertas tersebut di masa pandemi saat ini.
“Kita mendengar, ketika perusahaan-perusahaan besar mulai melakukan pemangkasan jumlah karyawan akibat terkena dampak Covid-19. Namun, dari apa yang disampaikan oleh pihak TPL tadi, hingga saat ini tidak ada merumahkan karyawannya, CSR tetap jalan. Artinya ada juga hal yang harus kita apresiasi dari mereka, jadi harus proporsional kita melihatnya terkhusus mengingat masa pandemi ini,” ujarnya dalam dialog ‘Menakar Untung-Rugi Berdirinya TPL di Tanah Batak’ yang digelar Eksponen Cipayung Plus, Jumat, 25 Juni 2021, di Medan.

Dijelaskannya, segala hal di dunia ini selalu diikuti dengan langkah baik dan buruk. Begitu juga perusahaan, seperti TPL. Tetapi, mewujudkan keinginan segelintir orang dan mengorbankan ribuan orang, itu juga bukan hal yang baik, terutama masa pandemi saat ini.
“Isu yang akan menelantarkan ribuan orang juga bukan hal yang baik untuk diwujudkan,” tambahnya.
Sebelumnya, Direksi TPL, Jandres Silalahi mengungkapkan, selama 30 tahun beroperasi pihak TPL selalu bekerja sesuai dengan paradigma baru yang mereka bangun yakni membangun kesejahteraan bersama.
Selain memastikan lahan konsesi yang corporate kelola dengan sistem ‘tanam-panen’ tanaman Eucalyptus, tidak merambah kepada wilayah lahan lain, dan TPL juga konsisten menyalurkan dana CSR kepada masyarakat.
Kinerja mereka dipantau oleh tim independen sebagaimana tercantum dalam akta 54 dan akta 05 yang berbunyi pelaksanaan paradigma baru TPL diawasi oleh tim independen yang dibentuk dan disetujui oleh Gubernur Sumatera Utara.
“Artinya implementasi dari paradigma baru TPL itu sangat diawasi oleh tim tersebut. Evaluasi atas pengawasan ini akan dilakukan oleh Gubernur melalui Dinas Lingkungan Hidup. Jadi tidak ada kewajiban dari perusahaan yang boleh kami langgar terhadap masyarakat,” sebut Jandres Silalahi.
Dialog ini diikuti oleh kalangan aktivis mahasiswa dan menghadirkan beberapa pembicara termasuk Direksi PT TPL Jandres Silalahi. (ram)

NARASUMBER: Para narasumber pada dialog ‘Menakar Untung-Rugi Berdirinya TPL di Tanah Batak’ yang digelar Eksponen Cipayung Plus, Jumat, 25 Juni 2021, di Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Isu gerakan ‘Tutup TPL’ ini dianggap tidak proporsional karena tidak melihat dampak pada masyarakat, pekerja, dan pemerintah. Bila perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1983 ini ditutup, maka dipastikan 7.000 karyawan akan kehilangan pekerjaan dan masyarakat sekitar tidak akan mendapatkan bantuan.

Menurut mantan Korda GMNI Sumut ini, menyataan sikap untuk mendesak penutupan TPL merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang diatur dalam konstitusi.
Akan tetapi, pernyataan dan aksi tersebut juga harus dibarengi dengan cara pandang yang proporsional terhadap keberadaan perusahaan bubur kertas tersebut di masa pandemi saat ini.
“Kita mendengar, ketika perusahaan-perusahaan besar mulai melakukan pemangkasan jumlah karyawan akibat terkena dampak Covid-19. Namun, dari apa yang disampaikan oleh pihak TPL tadi, hingga saat ini tidak ada merumahkan karyawannya, CSR tetap jalan. Artinya ada juga hal yang harus kita apresiasi dari mereka, jadi harus proporsional kita melihatnya terkhusus mengingat masa pandemi ini,” ujarnya dalam dialog ‘Menakar Untung-Rugi Berdirinya TPL di Tanah Batak’ yang digelar Eksponen Cipayung Plus, Jumat, 25 Juni 2021, di Medan.

Dijelaskannya, segala hal di dunia ini selalu diikuti dengan langkah baik dan buruk. Begitu juga perusahaan, seperti TPL. Tetapi, mewujudkan keinginan segelintir orang dan mengorbankan ribuan orang, itu juga bukan hal yang baik, terutama masa pandemi saat ini.
“Isu yang akan menelantarkan ribuan orang juga bukan hal yang baik untuk diwujudkan,” tambahnya.
Sebelumnya, Direksi TPL, Jandres Silalahi mengungkapkan, selama 30 tahun beroperasi pihak TPL selalu bekerja sesuai dengan paradigma baru yang mereka bangun yakni membangun kesejahteraan bersama.
Selain memastikan lahan konsesi yang corporate kelola dengan sistem ‘tanam-panen’ tanaman Eucalyptus, tidak merambah kepada wilayah lahan lain, dan TPL juga konsisten menyalurkan dana CSR kepada masyarakat.
Kinerja mereka dipantau oleh tim independen sebagaimana tercantum dalam akta 54 dan akta 05 yang berbunyi pelaksanaan paradigma baru TPL diawasi oleh tim independen yang dibentuk dan disetujui oleh Gubernur Sumatera Utara.
“Artinya implementasi dari paradigma baru TPL itu sangat diawasi oleh tim tersebut. Evaluasi atas pengawasan ini akan dilakukan oleh Gubernur melalui Dinas Lingkungan Hidup. Jadi tidak ada kewajiban dari perusahaan yang boleh kami langgar terhadap masyarakat,” sebut Jandres Silalahi.
Dialog ini diikuti oleh kalangan aktivis mahasiswa dan menghadirkan beberapa pembicara termasuk Direksi PT TPL Jandres Silalahi. (ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/